Friday 18 November 2016

Ngoco to Lee



Anak, adalah idaman setiap orang yang menikah, sampai ada “kata berlanjut” yang biasa diucapkan orang “mandi sampai basah, belayar sampai ke pulau, menikah sampai punya anak”. Ada pasangan yang menikah sudah belasan tahun, belum juga dikarunia anak. Usahapun dilakukan, pokoknya asal mendengar ada dokter yang canggih tentang dapat mebuat kesuburan pasangan suami isteri, kemanupun jauh didatangi, berapapun mahal dikumpulkan duit. Apalagi dokter, sampai “orang pintar” yang kadang ndak masuk nalarpun dicoba dengan alasan ihtiar.
Ketika masih muda dulu, kami pernah tinggal di suatu daerah, punya dua orang tetangga yang belasan tahun menikah belum dapat keturunan. Kurang lebih tahun ke dua belas menikah, akhirnya masih-masing kedua pasangan ini, bagaikan janjian sama sama mendapat tanda akan hadir kedunia penurus keturunan mereka. Sekali lagi bagaikan janjian tetangga sekomplek kami itu yang berada di blok di depan blok rumah kami dan juga yang dibelakang blok rumah kami itu sama-sama mendapatkan anak lelaki.
Begitu sayangnya kedua orang tua mereka kepada anak idaman itu, semua mainan, semua keiinginan si anak dipenuhi sebisa mungkin.  Sampai mereka mulai masuk TK, belum ada lagi tanda adiknya akan nongol, al hasil sampai kami pindah tugas diperoleh kabar bahwa kedua pasangan ini hanya punya anak satu satunya dan kini mereka sudah tumbuh menjadi orang dewasa dan punya anak pula.
Sama-sama anak dielukan dan dimanja semasa kecil, ternyata pertumbuhan kedua anak manusia ini berbeda sedemikian rupa, bagaikan siang dan malam. Kami ketahui kisah nyata ini, setelah 31 tahun kami kunjung silaturahim ke kompleks yang pernah kami tinggal disana selama 5 tahunan.
Kini anak yg satunya menjadi anak yang sangat berbakti kepada ibunya, ayahanda telah pulang kerahmatullah ketika dia masih kelas dua es em a. Ibunyalah yang meneruskan membimbingnya dan membiayai hidup sampai selesai kuliah. Begitu hebat perjuangan sang ibu menyekolahkan anak semata wayang itu, dengan berusaha menjual makanan di kantin kantor almarhum suaminya. Alhamdulillah perjuangan ibu ini tidak sia-sia, bahkan sianak walaupun sudah beristeri dan beranak empat, namun kasih sayangnya kepada ibunya demikian tinggi, ibunyapun sudah dibawa menunaikan ibadah haji. Kebetulan kehidupannyapun lumayan, lebih baik kalaulah dibanding dengan kesusksesan ortunya dulu di  bidang pekerjaan.
Beda dengan anak yang satunya lagi, kini dianya hidup tinggal sebatang kara, masih tinggal di kompleks kami dulu. Kehidupannya agak kurang beruntung tak jelas apa usahanya. Rupanya ibundanya belum lama meninggal dunia,  si ibu mengakhiri hidupnya secara tragis bunuh diri. Ibu ini memilih jalan ini konon alasannya tak tahan menahan tekanan hidup, lantaran si anak selalu merongrong. Semenjak ditinggal almarhum suami, si ibu terpaksa ngutang sana-ngutang sini demi memenuhi keinginan si anak yang sudah terlanjur dipenuhi sejak kecil apa maunya. Rupanya tak tahan dililit hutang sudah melilit pinggang, pilihannya jatuh ke mengakhiri hidup dangan menggantung diri dengan tambang.
Memang terdapat perbedaan kedua anak ini semasa ditinggal ayah mereka, yang satu hidup dengan penuh prihatin, menurut apa yang diarahkan si ibu, sementara anak yang satunya sepeninggal Bapaknya tetap saja, tak tau bagaimana caranya si ibu harus dapat mengadakan apa yang diminta.
Setelah kami pindah ke kota lain, ketemu lagi dengan anak yang masih sedang bertumbuh, sudah duduk di kelas satu es em pe,  punya ayah bekerja sebagai pegawai rendahan di sebuah perusahaan. Anak ini punya saudara 3 orang. Suatu hari si anak berdialog dengan Bapaknya: “Bapak; saya minta uang, nanti setelah pulang sekolah, mau langsung ke kolam renang, abis berenang mampir makan ke Mac D, ama teman-teman, juga mau mampir ke mall beli tas”. Si Bapak menjawab:  “Ngoco to lee, koe iku anak e sopo”. Agaknya si anak tersadar bahwa si Bapak tak mungkin ngasi uang sesuai kebutuhan, kolam renang, sekaligus makan di Mac D dan juga beli tas. Ketika teman-temannya mampir menjemputnya si anak memilih untuk tidak ikut. Kasihan memang dengan ini anak, tapi dirinya mulai belajar bahwa hidup ini tidak sama, tiap anak sama duduk di bangku es em pe,  tapi dirinya anak siapa harus disadari, kerena setiap Bapak (Ortu) tidak sama kemampuannya.
Begitu juga anak tetangga kami 31 tahun yang lalu dikisahkan di atas itu, yang satunya berhasil ibunya menanamkan palsafah “Ngoco to lee kue iku anak e sopo”. Sedang yang satunya tidak peduli, sampai akhirnya ujung kehidupan ibunya tragis dan dirinyapun sekarang belum nampak tanda-tanda kehidupan membaik.
Begitulah kehidupan manusia dalam mendapat amanah mempunyai anak. Anak itu seperti pernah saya tulis juga di blog, berpotensi sebagai inventasi, berpotensi sebagai membuat kita lalai mengingat Allah, berpotensi sebagai musuh, berpotensi sebagai cobaan  dan berpotensi pembela kehidupan akhirat. Dari kelima potensi ini, terlihat dua berpotensi baik dan dua berpotensi kurang baik serta satu berpontensi 50%-50% yaitu potensi cobaan. Kalau cobaan itu dapat kita atasi maka akan menjadi kebaikan dan sebaliknya jika cobaan itu tidak dapat diatasi akan mencelakakan.
Agar menjadikan anak berpotensi kebaikan, dapat dilakukan dua ihtiar. Saya katakan ihtiar, karena walau sudah di ihtiarkanpun belum tentu berhasil, semua tergantung penyertaan Yang Maha Kuasa, Allah S.W.T.
Ihtiarnya adalah:
Yang pertama;  ikuti anjuran Nabi Muhammad agar anak diajarkan sholat sejak berusia 7 tahun, kalau sudah sampai 10 tahun bila perlu diingtakan dengan agak keras. Sebab anak yang sholat dan mengenal Allah, selalu dekat dengan Allah, diharapkan akan mengerti keadaaan orang tua, tau bersyukur, tidak tegaan merongrong orang tuanya.
Yang kedua;  senantiasa menyerahkan kepada Allah dengan do’a. “Rabbana hablana min ajwajina wajuriatina kurata a’yunin waj’alna lil mutaqina imama”. Kita eberdo’a kepada Allah agar anak keturunan kita menjadi orang yang taqwa, berperilaku yang enak dipandang mata dan menjadi pemimpin orang-orang yang beriman dan bertaqwa.
Dengan demikian mudah-mudahan anak keturunan kita tidak menjadi anak yang seperti di isyaratkan oleh Allah dalam surat At-Taghabun ayat 14 “ya ayuhallazi na amanu inna min ajwajikum wa awladikum ‘aduwan lakum fahzaruhum” (sesungguhnya di antara istreri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu).
Semoga anak-anak keturunan kita menjadi anak-anak  yang saleh dan salehah. Amien ya rabbal ‘alamin. Barakallahu fikum.

No comments:

Post a Comment