Saturday 12 November 2016

MALINGpun hormat pada Al-Qur’an



Keberadaan Al’Qur’an di bhumi Nusantara ini, tepatnya entah kapan, tapi yang jelas sudah berbilang abad lamanya. Dapat dipahami bahwa demikian akrabnya Al-Qur’an dengan penduduk negeri ini, anak-anak sejak usia sangat dini sudah dikenalkan dengan aksara Al-Qur’an, diajarkan oleh guru ngaji mulai dengan alif - ba – ta, untuk anak-anak yang Ortunya muslim tentunya. Selanjutnya ngaji (belajar membaca Al-Qur’an) merupakan ekstra kurikuler yang harus diikuti oleh anak-anak sampai setelah duduk di bangku “es er” (SD sekarang). Di kampung kelahiranku khusus anak lelaki (waktu itu 60 tahunan yang lalu), belum di khitan jika belum hatam membaca Al-Qur’an.
Belajar membaca Al-Qur’an kala itu tidak semudah sekarang, masih harus dibaca ayat demi ayat. Mula mula zus 30, surat-surat pendek dan kemudian baru mulai membaca zus satu dan seterusnya, dikaji ayat demi ayat sampai lancar membacanya, dituntun guru ngaji. Pengkajian ayat demi ayat ini istilah kampungku “menderas”. Di sisi anak yang menderas duduk  sang guru ngaji, tersedia sebilah rotan yang dibelah empat, siap diraih sang guru untuk dipukulkan ke lantai bahkan ke tubuh muridnya bila berkali-kali “bebal” (tak dapat membaca dengan baik) pada hal sudah berulang diajarkan.
Setelah selesai mengaji sore itu, atau malam itu, anak-anak pengajian menutup kitab Al-Qur’an dan membawanya ke rak yang disediakan ditempat ngaji atau di Langgar/Surau (masjid kecil) atau mungkin juga dirumah tuan guru ngaji. Kitab dibawa dengan penuh hormat, sebelum diletakkan di tempatnya Al-Qur’an lebih dahulu dijunjung di atas kepala kemudian di cium. Begitu etika penghormatan yang diajarkan sejak dini. Tak heran penduduk seantero negeri juga menyimpan Al-Qur’an dirumahnya ditempat yang terhormat, biasanya diletakkan di tempat yang tinggi di atas penempatan buku-buku lainnya.
Karena pembelajaran dan penghormatan seperti di atas sudah membudaya dikalangan masyarakat khususnya yang beragama Islam, barang kali itulah sebabnya kelak setelah anak-anak itu menjadi dewasa, penghormatan kepada Al-Qur’an itu tetap merasuk sampai ke tulang sumsumnya barang kali. Sebagaimana dimaklumi bahwa guratan tangan masing-masing anak manusia tidaklah sama. kelak anak-anak itu tumbuh berkembang dengan nasibnya masing-masing. Diantaranya ada yang meraih sukses menjadi orang kaya ternama, atau pejabat atau pengusaha sukses. Namun tidak pula dapat diherankan ada pula yang hidupnya susah, makan pagi mengenangkan petang, ada juga yang terpaksa menjadi maling misalnya. Tetapi jadi apapun kelak anak-anak itu, mereka sudah dibekali membaca Al-Qur’an, sudah diajari etika penghormatan kepada Al-Qur’an.
Dua orang yang rupanya sudah lama merajut hidup menjadi maling (bahasa setempat pencuri), suatu malam menyatroni sebuah rumah di kampung jiran. Rumah di kampung kami waktu itu, boleh dikata belum ada yang terbuat dari semen (rumah batu bahasa setempat), semua rumah dari bahan kayu. Rumah orang berduit terbuat dari kayu Belian (kayu besi), beratap Sirap. Sedang rumah orang yang kurang mampu biasanya kerangkanya dari kayu Belian tapi dindingnya “Kajang” atapnya “daun nipah”. Sasaran maling tentu rumah orang berduit, setidaknya barang yang dimaling jika dijual dapat untuk membeli beras. Sebuah rumah yang sudah disurvey di kampung jiran (bukan kampung si maling sendiri), akan disatroni malam nanti.
Rumah satu dengan rumah lainnya tidak dempet seperti di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, tetapi berjauhan. Setiap kamar dan ruangan melekat jendela-jendela. Maling sudah hapal dan punya keakhlian membuka kunci jendela, pakai slot atau pakai apapun, apalagi rumah yang akan disatroni sudah disurvey memakai kunci apa jendelanya.
Kegelapan malampun tiba, maklum dikampungku 60 an tahun yang lalu belum masuk PLN, mengendap ngendaplah dua orang ini disamping sebuah rumah panggung. Rumah panggung cukup tinggi, sebagai ilustrasi bahwa kolong rumahnya dengan leluasa masuk hewan Sapi, bahkan ada yang membuat kandang sapi di bawah rumah. Untuk dapat meraih jendela, salah satu maling lebih dulu duduk berjongkok, kemudian maling yang satunya menginjakkan kakinya ke kedua belah bahu maling yang jongkok, barulah perlahan-lahan maling yang jongkok berdiri, sambil tangan maling yang satunya memegang bangunan rumah. Setelah sampai dijendela, mulailah dilaksanakan membuka jendela. sementara maling yang ditanah menunggu kode dari bunyi kain sarung yang ditarik, untuk memberi isyarat berhasil, untuk memberi isyarat akan turun, untuk memberi isyarat dalam bahaya dan lain sebagainya, merekalah yang mengatur sandi tersebut.
Belum berapa lama maling yang bertugas masuk rumah melewati jendela, terdengar kode agar menyiapkan pundak untuk mendarat kembali. Dengan penuh heran maling yang nunggu di tanah bertanya dalam hati, ndak ada kode bahaya, tapi tiba tiba minta turun. Sudahlah diikuti saja, langsung berdiri di tempat naik tadi, dan kaki partnerpun mendarat dibahu dan perlahan-lahan diturunkan. Heran tak ada satu bendapun yang dibawa teman dari rumah satronan. Dengan berbisik pelan maling operasional mengajak “cepat-cepat kita hengkang, nanti saya ceritakan”.
Sampai ditempat aman, berceritalah maling ini kepada temannya. Bahwa “jendela yang dimasuki itu rupanya ada meja, di atas meja tersebut terdapat  sebuah Al-Qur’an yang terletak di atas meja, agaknya baru selesai dibaca. Hampir saja aku menginjak Al-Qur’an itu ketika mau melangkahi meja. Pikiranku jadi ragu untuk meneruskan masuk ke ruangan dalam rumah. Dadaku bergemuruh, jantungku terasa berdegub kuat dan tubuhku gemetar, jangan-jangan aku telah terlajur melakangkahi Al-Qur-an.  Karena itulah nampaknya usaha kita malam ini kalau diteruskan akan membawa melapateka buat kita”, kata maling itu kepada temannya. Meskipun dia kini berprofessi sebagai maling, namun penghormatan terhadap Al-Qur’an yang sudah tertanam sejak kecil  dan kekhawatiran kewalat akan al-Qur’an membuat si maling mengurungkan niatnya untuk mencuri setidaknya pada malam itu, diingatkan oleh kitab Suci Al-Qur’an.
Baik kita renungkan, penghormatan terhadap Al-Qur’an begitu besar oleh penduduk negeri ini, terutama bagi yang memeluk agama Islam, apa lagi yang menjalankan seluruh ibadah dalam agama Islam. Bagi yang Islamnya belum dapat ibadah dengan intensifpun, akan menaruh hormat kepada Al-Qur’an, akan merasa terpanggil untuk setidaknya ber do’a agar kemuliaan Al-Qur’an tetap terjaga.  Allah memang ada menjamin akan memelihara Al-Qur’an itu sampai hari kiamat. Tapi tidak ada jaminan bahwa Al-Qur’an akan terjaga terus di bhumi Nusantara ini, kalau ummatnya tidak berperan aktif menjaganya, dengan mengamalkan kandungan Al-Qur’an itu. Di dunia ini sudah dapat kita saksikan suatu negeri yang tadinya sangat Qur’ani, menjadi negeri yang tidak Qu’ani lagi bahkan penduduk yang meng-imani Al-Qur’an menjadi termarginalkan.  
Untuk mengawal Al-Qur’an mungkin salah satunya adalah membuktikan, bahwa pengamal-pengamal Al-Qur’an mempunyai akhlak mulia yang patut diteladani, sehingga Insya Allah orang yang belum kenal Al-Qur’an akan tertarik mengenalnya dengan cara yang benar, bukan sebaliknya mengambilnya sepenggal-sepenggal tanpa menyakininya malah mungkin menistakannya. Wajar jika ada pihak yang diduga menistakan Al-Qur’an, penduduk negeri yang sejak kecil menghomati Al-Qur’an akan terpanggil untuk membela Al-Qur’an, setidaknya mengkonfirmasi, apakah benar Al-Qur’an sudah dinistakan?. Kalau benar Al-Qur’an telah dinista, peng-iman Al’Qur’an akan membela Al-Qur’an, walau tidak mampu dengan tenaga, walau tidak mampu dengan ucapan, minimal dengan do’a, semoga Allah S.W.T. membukakan pintu hati penegak hukum menegakkan kebenar ditempat yang benar. Amien yaa rabbal ‘alamin.

No comments:

Post a Comment