Monday 24 February 2014

KUNCI SUKSES BERAMAL



Proses kehidupan manusia normal semua sama, bermula dari pertemuan antara kedua orang tua, dikandung Ibu, lahir sebagai bayi, tumbuh menjadi anak-anak kemudian dewasa dan selanjutnya akan mengulangi lagi kehidupan orang tua dulu yaitu berpasangan dan melahirkan generasi baru.
Ditengah proses kehidupan itu, terdapat kematian yang tidak dapat terelakkan, siapapun dia, pasti akan mengalami apa yang dinamakan mati itu. Kalau hidup, melalui proses ketemunya dua orang yang berlainan jenis. Sedangkan proses kematian disebabkan dua aspek yaitu: yang pertama “batas usia” yang kedua “ajal”. Antara batas usia dan ajal terkait erat, karena “sebelum ajal berpantang mati”. Berapapun usia orang  kalau sudah ajalnya akan mati, berapa lamapun hidup seseorang pasti akan ketemu ajalnya bila sudah sampai batas usianya.
Al-Qur’an memberitahukan banyak tentang hal kematian dan kehidupan manusia di dunia ini diantaranya seperti yang tersurat dalam ayat 2 surat Al-Mulk:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”
Dari ayat ini, dipahami bahwa tujuan Allah menciptakan mati dan hidup adalah untuk menguji manusia, siapa diantara manusia itu yang paling baik amalnya.
Kita sudah mengerti, walau kadang sesekali terlupa bahwa mati itu adalah pasti akan kita temui. Agama mengajarkan bahwa setelah mati akan dimintai pertanggung jawaban selama hidup. Yang dipertangung jawabkan adalah amal. Beruntunglah bagi mereka yang banyak melakukan amal kebaikan. Sedangkan amal kebaikannya itu diterima oleh Allah yang menciptakan mati dan hidup tersebut.   Berkaitan dengan amal,  adapula orang yang merugi atas amalnya setelah memasuki kematian yaitu:
1.     Orang yang masa hidupnya tidak baik amalnya
2.     Orang yang semasa hidupnya banyak berbuat amal kebaikan tetapi amal tersebut batal atau  dibatalkannya sendiri.
Untuk point pertama, sudah jelas bahwa yang bersangkutan sudah memang tidak mengharapkan kebahagiaan di akhirat. Sengaja berlaku seenaknya, berbuat maksiat dan pelanggaran ketentuan agama dan hukum. Walau selama hayat masih dikandung badan, tidak tertutup kemungkinan orang ini mendapatkan rahmat Allah, bila diakhir hidupnya bertobat diiringi perbuatan baik.
Kelompok kedua yang merugi di akhirat kelak, adalah orang semasa hidupnya banyak berbuat kebajikan, tetapi perbuatan baiknya itu, batal atau dibatalkan sendiri oleh yang bersangkutan. Dilambangkan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah 264:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian”.
Kemudian dilanjutkan bahwa perumpamaan amal kebaikan orang yang tersebut di atas adalah seperti lumpur menempel di batu tersiram hujan lebat. Jadi apa yang diamalkannya habis tak bersisa sedikitpun.
“Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan”
Untuk menghindari kerugian beramal tersebut, maka kunci kesuksesan  beramal adalah:
1.     Niat Ikhlas hanya untuk Allah, beramal semata-mata untuk mendapatkan keredhaan Allah. Tidak bermaksud lain, seperti untuk mendapat penghargaan dari manusia, penghargaan dari atasan atau bawahan. Kemudian kebaikan itu tidak diiringi mengungkit-ngungkitnya. “Seperti kalau bukan karena saya………….”. Rangkaian kebaikan dapat saja misalnya, ikut berperan besar dalam membangun sarana ibadah, katakanlah masjid. Akan batal amal tersebut, bila setelah berjalan sekian lama masjid terbangun, timbul perasaan ingin mendapat pujian dari manusia, timbul keinginan untuk mendapatkan penghargaan dari masyarakat, lantas ngomong “Masjid itu, tidak akan jadi seperti itu kalau bukan lantaran saya  atau kadang diamalan kebaikan lain, lebih indah lagi ditambah dengan kata “Alhamdulillah bulan Ramadhan lalu saya telah menyantuni sekian anak yatim”. Paling menyakitkan lagi, misalnya pernah membantu seseorang, sehingga orang tersebut sukses. Setelah orang itu sukses, diomongkan bahwa kesuksesan orang itu adalah lantaran dia. Mungkin juga benar, tapi hal ini telah membatalkan kebaikan, seperti lumpur di atas batu tertimpa hujan lebat.
2.     MERASA DIAWASI ALLAH. Setiap diri dalam berbuat amal apapun selalu merasa Allah mengawasi gerak geriknya. Apabila disuatu ketika dihadapkan kesuatu kesempatan berbuat tidak senonoh, atau korup, langsung ingat bahwa Allah dekat dan selalu mengawasi, maka tentu saja perbuatan jahat dan korup tersebut akan diurungkan untuk dilaksanakan. Semboyan ini, slogan ini gampang sekali untuk dinasihatkan kepada orang. Para ustadz selalu mengingatkan dalam setiap majelis ta’lim, ceramah dan khutbah Jum’at. Tetapi tidak gampang untuk dilaksanakan, termasuk ustadz yang gencar menyampaikan nasihat itu sendiri. Kalau begitu bagaimana caranya agar setiap insan selalu merasa diawasi oleh Allah. Menurut hemat saya harus terlaksana paling kurang dua hal penting:
a.     Setiap diri harus taat melaksanakan sekurangnya perintah shalat, karena dengan demikian dirinya selalu berzikir (ingat Allah) sekurangnya dalam shalat 5 waktu. Manakala ditempat pekerjaan ketika mulai pagi menjelang zuhur ada kesempatan berbuat amal buruk. Diri ingat bahwa ketika shalat subuh berdialog dengan Allah. Begitu selanjutnya diperbaharui lagi mengingat Allah ketika Zuhur dan kembali berkegiatan lagi dan jika bertemu lagi dengan kesempatan beramal buruk, ingat baru saja shalat zuhur dan seterusnya, begitu pula berbisnis apapun,  sampai ashar dan magrib, merasa tidak lepas dari pengawasan Allah.
b.     System dalam masyarakat. Mungkin pembaca bertanya, aah itu para koruptor kan shalatnya taat, tiap waktu tak pernah tinggal. Para koruptor kadang haji lebih sekali, umrah saban tahun. Tapi kenapa masih saja korupsi…………..? Ini pertanda bahwa diri sendiri saja sudah tidak kuat melawan bujuk rayu syaitan. Oleh karena itu perlu ada system yang diterapkan agar pengawasan Allah itu dapat diwakili oleh manusia terutama yang punya otoritas, sebagai khalifah Allah dimuka bumi ini. Sebagai contoh di Makkah dan Madinah, misalnya; Ketika azan sudah berkumandang, setiap kegiatan bisnis dihentikan. Pedagang tidak mau lagi menerima pembayaran dari pembelinya, walau sudah putus harga, dagangan diselimuti hanya dengan kain tanpa menutup toko, pedagang pergi shalat. Apa sebab demikian, antara lain ada aturan, system yang baku di kedua kota tersebut. Bila seorang pedagang kedapatan menerima transaksi ketika azan sudah dikumandangkan, akan dianggap melanggar hukum dan dikenakan denda yang tidak sedikit. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Begitu pula hendaknya di dalam tatanan kemasyarakatan hendaklah ada system sedemikian rupa sehingga setiap orang bertransaksi apapun, mengurus surat menyurat atau perizinan, mengikuti tender, melaksanakan pembangunan gedung. Pokoknya dalam interaksi apapun ada suatu system sehingga setiap orang merasa diawasi Allah baik oleh dirinya sendiri, maupun oleh system. Pernah kualami ketika membayar rekening langganan rumah tangga disuatu perusahaan (tidak etis disebut). Tertera dalam tagihan Rp 37.645,-- (tiga puluh tujuh ribu enam ratus empat puluh lima rupiah). Untuk memudahkan transaksi karena recehan sampai dua angka didepan koma sudah sulit mendapatkannya. Sedari rumah sudah disiapkan uang pecahan 20ribu selembar, 10ribu selembar, 5 ribu selembar, 2ribu selembar, koin 500 sekeping, koin 200 sekeping. Total menjadi Rp 37.700. seharusnya sudah lebih Rp 55,- Tapi karena pecahan tersebut sudah agak sulit ok.lah. Apa yang terjadi para pembaca. Penerima (kebetulan Ibu-ibu sudah lumayan hampir pensiun beberapa tahun lagi dan berjilbab) mengatakan kurang Pak!!! seharusnya 38 ribu. Akhirnya saya ingatkan yang bersangkutan, bahwa agar sholat dhuha kita diterima Allah, jangan banyak-banyak ngambil lebihan. Tadi sudah lebih 55 rp. Rupanya itu ibu kasir tetap bertahan minta uang pecahan 50 ribu kebetulan saya bawa dan kemudian mengembalikan Rp 22.350. Malah hampir pas, mungkin karena diingatkan pengawasan Allah tadi. Ibu itu tidak mau menerima uang pas tadi, tentulah gengsi sebab sudah menolak. Nggak apalah saya merasa sudah membantu ibu tadi mengingatkan bahwa sekecil apapun penerimaan dengan cara yang tidak halal itu adalah haram. Ini system secara lebih luas mungkin perlu dibudayakan. Supaya sarana pengingat Allah itu bukan saja melekat pada diri, tetapi juga harus dibantu pihak lain, dibantu system yang tidak mudah untuk orang berbuat curang.
3.     ADIL. Kunci ketiga agar sukses beramal ini perlu ditanamkan “ADIL” pada diri setiap orang yang melakukan amal kebaikan. Sebab ketidak adilan akan mencurangi orang lain. Orang yang tercurangi itu, kelak pada pengadilan yang maha adil, akan diberi kesempatan oleh Allah menuntut keadilan yang tidak didapatnya di dunia. Kita yang pernah mencurangi orang yang tercurangi itu, akan diminta untuk membayar dengan amal baik kita. Semakin banyak kecurangan kita maka semakin banyak faktor pengurang dari amal baik yang pernah dilakukan dan akhirnya bukan mustahil menjadi defisit.
4.     Mohan maaf bila melakukan kesalahan sesama. Hal ini perlu dilakukan agar mengamankan amal kebaikan yang sudah kita tabung untuk akhirat, agar tidak terkuras oleh orang-orang yang secara sengaja maupun tidak sengaja terlanjur kita dzalimi. Maklum kita manusia ini kesadaran dan kedewasaan kita berbanding lurus dengan usia dan pengalaman serta pendidikan kita. Diusia muda kadang orang gampang sekali terbakar emosi, orang dengan mudah menyakiti orang lain tetapi sejalan dengan usia mulai lanjut, sejalan dengan pengalaman, sejalan dengan penambahan ilmu maka mungkin disadari bahwa diri ini pernah mendzalimi orang dulu, maka usahakanlah untuk memohon maaf kepada yang bersangkutan. Untuk menghindari nanti di yaumil hisab amal kebaikan kita dipindahkan kepada orang yang terdzalimi tersebut.
5.     Lupakan kebaikan, ingat dosa. Sesungguhnya jika dibandingkan antara kebaikan yang telah kita lakukan, dengan nikmat Allah, adalah bukan apa-apa, bukan bandingannya. Begitu juga dengan dosa yang pernah dilakukan, barang kali belum imbang dengan kebaikan yang kita perbuat. Kecuali amal keburukan kita, dosa kita telah dihapus bukukan oleh Allah. Oleh karena itu agar kita tidak condong untuk mengingat kebaikan kita, kemudian secara tidak sengaja membatalkannya dengan menyebutnya. Adalah upaya yang baik, bila kebaikan yang pernah kita lakukan dilupakan saja. Sesekali saja mengingatnya, itupun jika sangat diperlukan ketika berdo’a kepada Allah, bukan mengingatnya dihadapan manusia. Selanjutnya ingat selalu dosa kita dan karena mengingat selalu dosa itu, maka tak henti hentinya kita mohon ampun kepada Allah. Mudah-mudahan dengan berulang kali meminta ampun atas dosa-dosa itu, Allah menghapus bukukan semua dosa kita. Amien, ya rabbal alamin. Selanjutnya amal kebaikan kita terterima utuh sebagai bekal di kampung akhirat yang kekal tiada bermasa.


No comments:

Post a Comment