Monday 3 February 2014

PERAWATAN CALEG GAGAL




Sebuah rumah sakit di Bandung, menyiapkan sejumlah 30an kamar untuk merawat terdampak caleg. Periode pemilu lalu rupanya telah juga disiapkan, ternyata memang persiapan itu bermanfaat, benar juga seusai pengumuman caleg periode lalu ada caleg yang gagal,  goyang jiwanya. Betapa tidak menggoncang jiwa, ketika men-caleg udah abis-abisan, sawah terjual, rumah tergadai simpanan terkuras, buat modal. Taunya harapan menjadi orang berpenghasilan tinggi dan terhormat tak menjadi kenyataan.
Sepertinya kenyataan penghasilan tinggi dan hidup mewah bagi legislatif, kedepan sudah harus dipikirkan untuk dikoreksi, menjadi lebih wajar. Misalnya seorang anggota legislatif distandarkan berpenghasilan gaji yang setara/setinggi-tingginya sama dengan pegawai pemerintah golongan pegawai karier tertinggi. Bila standar penghasilan sedemikian, diharapkan tidak memicu nafsu orang menggebu untuk menjadi anggota legislatif. 
Kalau sudah dikondisikan demikian  orang men-caleg betul-betul hanya karena pengabdian untuk memperjuangkan nasib rakyat, bukan untuk mencari kesenangan hidup. Sebab dengan gaji seperti pegawai pemerintah biasa, maka sejak semula mereka para caleg sudah dapat membayangkan bahwa dengan penghasilannya nanti tidak dapat bermewah-mewah. Bakal timbul semboyan seperti orang tua kita dulu “Kalau mau hidup mewah jangan berjuang untuk rakyat” tapi jadilah pengusaha. “Berjuang untuk rakyat adalah pengabdian”.
Fungsi legislatif dibatasi hanya untuk membuat undang-undang dan ketentuan peraturan dan mengawasi pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang dibuatnya. Wewenang untuk ikut  mengangkat pejabat negara, wewenang untuk ikut menentukan anggaran, sebaiknya tidak lagi dimiliki legislatif. Wewenang ikut menentukan pejabat negara, ikut menentukan anggaran, wewenang inilah agaknya berpotensi “di ketiaknya” ada  celah kong kalikong.
Demi mengejar penghasilan yang menggiurkan itulah banyak orang yang berusaha habis-habisan tadi dengan harapan kelak setelah “jadi” beberapa bulan sampai setahun modal sudah kembali. Kalau sudah begini, bukan lagi rakyat yang diperjuangkan, tapi rakyat hanya digunakan sebagai pengantar untuk menuju kursi legislatif.
Usaha sebagian caleg ini, kadang menggelikan hati dan tumben-tumben kata orang Jakarta. Misalnya setelah mencaleg, tadinya bukan main tidak perdulinya dengan tetangga,  kini jadi mau duduk masuk ke rumah tetangga yang miskin sampai nlosor duduk ditikarpun menjadi sudi. Tadinya jarang ikut shalat berjamaah di masjid, kini menjadi rajin shalat berjamaah, duduk di shaf depan. Tadinya tak pernah muncul jika ada tetangga yang meninggal dunia, kini selalu datang walau tak diundang resmi, hanya diumumkan saja melalui pengeras suara masjid, sudah datang paling awal ke pertemuan takziah warga kemalangan dan minta pula untuk ikut memberikan sambutan. Isinya sambutan tentu tersisip pesan pilihlah saya. Model caleg seperti ini apakah nanti akan memperjuangkan nasib rakyat, atau rakyat dimintanya untuk memperjuangkan dirinya.
Kini kewenangan disebut di atas (menentukan pejabat Negara dan Anggaran) sudah terlanjur melekat di legislatif.  Untuk menanggalkannya, harus melalui keputusan mereka, legislatif dan tentu saja tidak dapat diharapkan mereka akan rela menanggalkan kewenangan strategis itu.
Tentu para pakar ekonomi, hukum dan sosial dapat memikirkan cara yang terbaik menentukan kepada instansi yang tepat untuk fungsi anggaran dan fungsi pengujian pejabat negara. Juga para negarawanlah yang dapat memikirkan bagaimana cara menanggalkan wewenang strategis itu, kalau legislatifnya sendiri tentu akan keberatan menanggalkan wewenang tersebut, justru di wewenang itulah mungkin kunci peluang bernegosiasi.
Sebagai orang awam saya sampaikan, mungkin perlu dipikirkan bahwa kekuasaan kehakiman tertinggi, juga harus dipilih rakyat dan merekalah nantinya diberikan amanah untuk menguji “kelayakan dan kepatutan” calon yang diajukan Presiden seseorang untuk diangkat menjadi pejabat penting negara seperti KPK, BPK, jabatan Kapolri, Panglima TNI, dan jabatan mengurus BUMN dan lain-lain. Sedangkan fungsi anggaran serahkan ke masing-masing kementerian diawasi nanti oleh BPK. Duta besar tidak perlu melalui DPR, langsung hak presiden.
Sejalan dengan dikuranginya kewenangan itu maka penghasilan DPR pun  tidak perlu sebesar sekarang. Fasilitas istimewa mereka tidak perlu menyedot anggaran negara begitu besar seperti sekarang. Pensiun untuk seseorang setelah menjadi anggota DPR ditiadakan. Dengan demikian semoga seseorang bila berniat menjadi anggota DPR, :”nawaitunya” adalah bukan mencari hidup, bukan lagi memperbaiki kehidupan diri dan keluarga, tetapi menyiapkan diri mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat. Mengumpulkan pundi pahala untuk dibawa ke alam baka. Kalau keadaan ini tercipta kita yakin orang tidak lagi berebut jadi anggota legislatif. Orang yang mencaleg betul-betul orang yang sudah tidak terlalu memikirkan kepentingan harta, tidak terlalu bergayut pada kepentingan dunia, dalam benaknya bagaimana berbuat untuk rakyat sebagai bekal menuju akhirat.
Agaknya rumah sakit perawatan caleg gagal ini, juga harus dipersiapkan setiap daerah pemilihan. Belajar masa lalu, ada caleg yang gagal kemudian stress. Si caleg minta diklentek karpet yang sudah disumbangkannya ke sebuah masjid.  Hal itu karena setelah penghitungan suara disekitar masjid yang dikiranya lumbung suaranya tidak memilih dirinya. Tidak sedikit caleg stress seperti divisualisasikan dalam senetron, seorang pelakon mendandani dirinya dengan pakaian seorang kepala daerah tapi pembicaraannya tidak terkontrol. Kisah sinetron ini mungkin terinspirasi kenyataan banyak orang menjadi stress jika harapannya untuk menduduki jabatan tertentu tidak menjadi kenyataan.
Tidak salah, bila seseorang menampilkan diri untuk dipilih jadi pemimpin, tetapi betul-betul motivasinya, niatnya untuk melakukan perbaikan, untuk memperjuangkan kemaslahatan ummat. Motivasi dan niat bukan sekedar diucapkan untuk memancing simpati pemilih, tetapi benar-benar akan dilaksanakan kelak, setelah terpilih. Bukan sebaliknya sejak awal niatnya memodali pencalonan diri sudah terbayang keuntungan yang akan diperoleh. Inilah biang korupsi, yang kini menjadi-jadi di setiap lini.
Bagi pemilih, sebenarnya sudah dapat menilai sejak awal, siapakah calon wakil mereka yang diprediksi akan menjadi wakil yang baik mungkin patut jadi acuan adalah:
Akhlaq, terindikasi dalam pergaulan bermasyarakat, berperilaku yang menyenangkan. Misalpun dianya adalah orang kaya, tidak sombong. Umpamanyapun dianya biasa-biasa saja dan mungkin tidak begitu berpunya tapi kehidupan mereka tidak menjadi beban masyarakat.
Beriman dan bertaqwa. Karena iman saja tidak cukup, jika tidak taqwa. Taqwa bukan hanya slogan, tetapi secara lahiriah terlihat yang bersangkutan taat melaksanakan perintah agamanya.
Punya kemampuan pribadi yang mumpuni, dalam artian biarpun tidak berpendidikan tinggi, tapi punya wawasan yang luas. Terindikasi bila yang bersangkutan mengemukakan pendapat atau berpendapat tentang sesuatu masalah, cukup dapat dipahami dan masuk akal. Sementara itu bila dalam pergaulan tidak hendak menang sendiri, mau menerima pendapat orang lain.
Kehidupan rumah tangga mereka, dinilai baik, terindikasi dari anak istri dan keluarga mereka, tidak ada yang terlibat kriminal, tidak ada yang terlibat suka meracuni diri dengan minuman keras dan apa lagi narkoba.
Kalau sudah terpenuhi syarat di atas, maka serahkan pilihan anda kepada yang menciptakan alam ini. Semoga kedepan mereka para wakil rakyat mau memperbaiki sendiri system yang ada sekarang. Sebab perbaikan yang paling cepat dapat dilakukan adalah dari dalam diri sendiri ketimbang dari luar. Semoga kedepan tidak lagi wakil rakyat kita dibiayai rakyat untuk rekreasi keluar negeri. Merekapun sadar sendiri bahwa dengan teknologi sekarang ini banyak data sudah dapat diperoleh dari dalam kamar tak perlu kunjungi “negeri orang”, mendatangi lokasi sumber data  dengan dalih “belajar dengan membanding”.


No comments:

Post a Comment