Thursday 13 February 2014

IBADAH: “NAWAITU TIGA SUKU” VS “NAWAITU MOBIL”



Judul di atas benaran, ini saya alami ketika masih belum sekolah, sekitar umur lima tahunan (saya ndak ikutan TK di kampungku waktu itu belum ada), tapi sudah mulai “ingat-ingat lalat” (ingatan yang putus putus). Adalah nenekku, almarhummah, seingatku tak pernah tinggal shalat, tak pernah tinggal puasa Ramadhan. Itu sebabnya barang kali beliau pengen agar cucunya dapat melaksanakan puasa, kelak kalau dia besar nanti. Untuk maksud tersebut beliau memotivasiku untuk berpuasa di bulan Ramadah itu, dengan menjanjikan setiap aku sanggup puasa setengah hari akan diberi hadiah “lima ketip” = lima puluh sen.
Puasapun dapat kujalankan dengan baik selama 10 hari. Walau benar-benar menderita, usus rasanya sudah dempet. Hausnya bukan buatan, sampai untuk menyiasatinya kepala dicelupkan ke dalam ember berisi air. Mau minum tidak berani, karena kata nenek Allah melihat, biar kita minumnya sembunyi.
Setelah sukses sepuluh hari, nenek memberikan tantangan lagi, “kalau kamu tahan puasa sampai bedug magrib, hadiahnya nenek tingkatkan jadi “tiga suku”. Tiga suku = seratus lima puluh sen, jadi tiga kali lipat puasa setengah hari. Tantangan nenek itu ke ambil, sebab mulai hari kesepuluh, rasa haus dan lapar sudah tidak begitu mendera lagi.
Syukurlah walau dengan berbagai ikhtiar, termasuk mandi berenang di kali, biar menjadi segar, bermain bersama teman sebaya dan macam-macam kegiatan termasuk mencari buah-buah hutan untuk persiapan berbuka. Seperti buah “Rukam” buah “Cengkodok”, pentil  “Tembabal” dan banyak lagi buah-buah di kampungku yang asik bila di kenang. Untuk hiburan, mencari buah “Gorah”, sebagai ganti kelereng. Pokoknya puasa dengan nawaitu “Tiga suku” itu sampailah ke penghabisan Ramadhan.
Besar sekali jasa nenekku untuk menjadikan aku tahan berpuasa, sampai sekarang masih kuingat. Walau ketika melatih anak-anakku berpuasa, aku dan isttri tidak memotivasi mereka dengan “uang”. Karena kami berpendapat, anak ketika usia dini jangan dibiasakan diberikan uang.
Model  anak-anak kami sangat suka makanan-makanan tertentu sebagai makanan faporit. Masing-masing anak punya kegemaran akan makanan yang relative ada bedanya, walau juga ada persamaannya. Setiap bulan puasa, disiapkan hal-hal ekstra tersebut, apa saja makanan yang mereka sukai diusahakan hadir dimeja makan sebelum buka puasa. Alhamdulillah kini mereka juga tahan menjalankan ibadah puasa.
Tersiar kabar di satu kota di Indonesia, sang walikota memotivasi penduduknya dengan “shalat berjamah berhadiah”. Teringat aku dengan ide nenekku melatih aku berpuasa. Tapi nenekku belum sempat mematenkan idenya itu, karena waktu itu dan mungkin sampai sekarang banyak nenek-nenek melakukan hal yang sama buat cucu mereka.
Lalu terjadilah pro kontra. Aku tetap membela nenekku karena aku “bernawaitu tiga suku”, untuk puasaku, karena waktu itu aku belum baligh, masih balita. Bagaimana kalau orang sudah dewasa nawaitu shalat berjamaahnya adalah mobil?. Oh……… itu para ustazdlah berkompeten membahasnya, bukan domin kita orang awam.
Tapi sepenggal referensi barangkali perlu diingatkan ada hadist Rasulullah dan ayat al.Quran yang cukup relevant dengan “Nawaitu MOBIL” ini.
SYIRIK KECIL
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ الله وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ؟ قَالَ الرِّياَءُ
Sesungguhnya yang paling kutakutkan atas kalian ialah syirik kecil”. Mereka bertanya, “Apakah syirik kecil tersebut wahai Rasulullah?”  Jawab Beliau, “Riya’ ”. (H.R. Ahmad dengan sanad yang shahih)[4].
Ustadz yang ngajar “Ikidah” di mesjid kami mengatakan, salah satu contoh syirik kecil itu “ada orang yang shalat sunat di masjid, demikian tertib, baik shalatnya, tetapi dalam hatinya terlintas;  biar jemaah lain melihat bagaimana baik shalat yang dia lakukan”. Bagaimana kalau shalat nya mengharapkan hadiah. Entahlah mari kita tanya ustadz.
Selanjutnya di dalam surat al-Baqarah 264: 

264. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir[168].
[168]. Mereka ini tidak mendapat manfaat di dunia dari usaha-usaha mereka dan tidak pula mendapat pahala di akhirat

Memang si,  ayat ini mengenai sedekah, tapi agaknya  cocok dianalogkan buat amal yang lain, tidak boleh karena riya yang akibatnya seperti tanah di atas batu licin tertimpa hujan lebat.
Walahu alam bishawab.



No comments:

Post a Comment