Sunday 29 April 2012

DEBAT KANDIDAT MENYOAL BANJIR

Orang Indonesia yang tidak pernah tinggal di Jakarta, apalagi belum pernah ke Jakarta, ibu kota negara yang sering disebut kota metropolitan itu, adalah serba mengerikan walau disisi lain menggiurkan. Ketika saya masih dinas di Jawa Timur,  ada sebagian teman-teman seangkatan saya sampai ngomong kalau misalnya dimutasi kemana saja boleh, asalkan jangan ke Jakarta. Dalam pada itu Jakarta punya daya tarik tersendiri bagi  setiap anak negeri ini ingin mengunjunginya. Tidak jarang ingin mengadu untung menjajal nasib, sebab banyak orang yang merantau ke Jakarta terdengar sukses.
Keluarga di daerah sering merasa was-was, bila menonton televisi ada tawuran antar penduduk, atau dimusim hujan, banjir dan lihat jalan macet. Bila banjir, sering juga ada keluarga dari daerah nelpon, menanyakan apa rumah kami kebanjiran. Orang di daerah mengira bahwa seluruh Jakarta itu banjir bila turun hujan. Kenyataannya tidak semua wilayah Jakarta itu rawan banjir. Sama halnya tidak semua wilayah Jakarta itu jalannya macet seperti yang di TV. Kebetulan kami mendiami daerah yang tidak selalu banjir di musim hujan. Daerah kami di Jakarta pusat baru akan banjir bila pintu air Manggarai dibuka. Kalau pintu air Manggarai dibuka maka istana negara juga akan kekelep air. Pokoknya dapat dikatakan bahwa kalau Istana kebanjiran barulah daerah kami juga kebanjiran.
Itulah mungkin sebabnya barangkali, maka di suatu kawasan di Jakarta yang sering kebanjiran, ketika digelar pemilihan Ketua Rukun Warga baru, diadakan debat kandiddat dengan isu mengatasi banjir. Niru-niru pemilihan gubernur; sebelum pencoblosan untuk memilih salah satu RW terpilih dari 3 orang calon dilakukan debat kandidat dimediasi oleh panitia pemilihan RW.
Menyoal isu yang dilemparkan di forum debat ada empat masalah yang selama ini menjadi persoalan dari periode ke periode ketua RW di wilayah itu tidak dapat menyelesaikan dengan baik. Pertama masalah banjir yang sering merendam kampung. Kedua masalah semerawutnya lalu lintas dan yang ketiga adalah kemiskinan sehingga banyak rumah-rumah kumuh. Keempat adalah pencurian kendaraan bermotor.
Sesaat debat kandidat Ketua RW dimulai, Moderator mengangkat isu  Pertama yaitu Banjir.
Masing-masing calon diberi kesempatan 15 menit mengemukakan pandangan mereka, untuk selanjutnya calon lain diberikan kesempatan mendebat sambil mengemukan pendapatnya yang terbaik menanggapi isu yang dipaparkan.
Calon A memaparkan untuk mengatasi banjir intinya adalah:
Wilayah RW kita yang hanya ada 21 RT ini diurug, supaya lebih tinggi sekurangnya 175 cm dari yang sekarang, karena dari tahun ke tahun bila hujan turun air tergenang sebatas pinggang orang dewasa.  Dengan yakin sang calon kemukakan bahwa “penduduk kita rata-rata tingginya 170 cm. Maka nanti tidak akan ada lagi yang menderita kebanjiran”. Pemaparan didukung oleh data jumlah penduduk dan statistik populasi ukuran tinggi masing-masing penduduk dewasa mulai dari 150 cm sampai 172 cm. Cukup memukau penjelasan beliau karena dilengkapi slide yang diproyeksikan dengan LCD di layar, terdapat photo-photo RW ketika banjir 3 tahun terakhir, walau disajikan hanya dalam durasi hanya 15 menit. Kemudian riuh tepuk tangan seluruh warga yang hadir.
Giliran calon B. Kepada calon ini disamping dipersilahkan oleh moderator memaparkan solusi beliau terhadap isu; juga sekaligus diberi kesempatan menanggapi pemaparan oleh calon sebelumnya,  oleh karena itu waktu tersedia 20 menit.
Calon B megemukakan solusi mengatasi banjir adalah dengan setiap hari Sabtu warga dikerahkan untuk kerja bhakti membersihkan saluran air di RT masing-masing. Mengawasi dengan ketat pembuangan sampah jangan sampai ada warga yang membuang sampah ke dalam got. Menurut calon ini banjir lebih disebabkan tersendatnya pembuangan air ke kali yang melintasi wilayah RW lantaran banyak sampah menyumbat got-got yang ada. Presentasi dilengkapi foto got seantero RW di musim kemarau dan dimusim hujan ditayangkan dilayar yang tersedia. Dimana tampak sumbatan sampai yang mengganggu jalannya air. Menanggapi pemaparan calon A calon B mendebat, kalau RW kita di urug tentu RW tetangga tidak akan terima, karena banjir akan pindah ke RW-RW tetangga. Itu namanya bukan mengatasi masalah, cetus beliau dengan lantang, tetapi memindahkan masalah. Tak ayal disambut tepuk tangan meriah dari team sukses calon B. Sementara team sukses calon A terlihat senyum geram.
Kini giliran calon C dapat kesempatan 25 menit yaitu untuk memaparkan solusi terhadap isu banjir 15 menit,  masing-masing 5 menit mendebat pemaparan calon A dan calon B. Calon C maju dengan sangat percaya diri, berpenampilan berkumis tipis dan berjenggot lebat. Dengan lantang dia katakan bahwa jika dianya terpilih jadi ketua RW. Maka RW ini tidak akan kebanjiran lagi. Lebih jauh dikemukakan bahwa banjir harus dilihat dari akar masalahnya. Dilontarkannya pertanyaan kepada hadirin. Apa sebenarnya yang membuat banjir, banyak jawaban dari sudut tempat duduk para hadirin. Antara lain ada yang menjawab karena luapan air dari kali, karena kiriman dari hulu sungai, karena pendangkalan sungai sebab got tersumbat lantaran drainase yang tidak baik, seperti argumentasi calon B. Semuanya itu dibenarkan oleh sang calon, untuk menarik simpati tentunya, tetapi saya perlu luruskan lanjut beliau: “akar masalahnya adalah curah hujan”. “Pernahkan RW kita kebanjiran dimusim kemarau? tanya beliau”. Walau hadirin senyap tidak ada yang menjawab, beliau melanjutkan. Dimusim kemarau bahkan seluruh kali kering kerontang, tidak akan ada banjir. Oleh karena itu solusi yang paling pas untuk mengatasi banjir yang saya tawarkan ini  “MMP” kemudian dijelaskan“murah, mudah dan praktis”, tidak merepotkan. Tidak terlalu merepotkan warga dengan kerja bhakti seperti apa yang dikemukakan calon B dan  tidak perlu mengeluarkan biaya yang tinggi seperti dikemukakan calon A dengan mengurug tanah dan mengundang perseteruan dengan RW lain.  Suasanya menjadi hening dan si calon ketua RW yang mendapat giliran bicara ketiga malam itu, sengaja menghentikan pembicaraannya agak beberapa saat, membuat hadirin terpana menunggu apa solusi yang “murah, mudah dan praktis” tersebut. Selanjutnya ia melanjutkan pembicaraannya. Karena akar masalahnya adalah “air” dan air bersumber dari curah hujan yang tinggi maka solusi yang paling tepat mengatasi banjir adalah mengendalikan hujan. Air hujan bagaimanapun banyaknya kalau langsung dapat dihalau ke laut maka tidak mungkin akan membuat daratan bakal banjir. Bagaimana cara saudara-saudaraku warga RW?............. Caranya tidak perlu berbiaya yang mahal cukup menggaji sejumlah paling banyak 7 orang “Pawang Hujan” yang gajinya jauh lebih rendah dari berapa kubik tanah untuk mengurug wilayah RW dan tidak mengganggu kesibukan warga yang lain harus menyisihkan waktu guna kerja bhakti secara berkala seperti solusi yang ditawarkan calon lain.
Omongan ini segera dibuktikan beliau dengan memanggil dua orang pawang hujan ke atas panggung. Pawang pertama memperagakan kesaktiannya bagaimana menenteng sebuah tempayan (sejenis bejana) transparan termuat air sekira 20 liter dengan posisi terbalik, terlihat air di dalam bejana tidak tumpah sedang mulutnya hanya ditutup dengan sehelai kertas. Disambut tepuk tangan berdiri meriah dari salah satu sudut arena debat kandidat. Rupanya sambutan standing applauds  itu dari para pendukung calon C. 
Pawang kedua membawa semprotan yang biasa dipergunakan ibu-ibu merapikan setrikaan. Begitu air disemprotkan jatuhan air tidak jatuh ke tempat seharusnya jatuh, walau di bawahnya digelar kertas, sebab dihembus dengan kipas angin. Hujan tidak akan turun di wilayah RW kita, biar turun di tempat lain dan kalaupun juga turun di RW kita jatuhkan airnya ketempat lain, dengan kekuatan “perpawangan yang ada”. Bukankah RW kita hanya beberapa kilometer dengan laut, biarkan air jatuh ke laut. Demikian komentar calon ini selanjutnya atas aksi sang pawang.
Hadirinpun agak terkesima menyaksikan pertunjukan yang tak dinyana itu, walau sebagian ada yang geleng kepala, karena pastilah air nggak tumpah sebab tekanan udara dari bawah, begitu pula pawang kedua karena tiupan angin. Sebagian tidak juga berani komentar sebab ada juga yang sudah dapat “perskot” pendahuluan sebelum hari “H”. Oleh karena itu memlilih diam.
Calon A punya waktu masing-masing  10 menit untuk mendebat kandidat lainnya. Calon A menganggap bahwa kegiatan yang diusulkan oleh calon B sudah rutine dilakukan di RW selama ini, tapi banjir tetap saja melanda RW. Sedangkan solusi calon C menurut A adalah tidak realitas, diera modern ini sudah tidak lagi mujarab penyelesaian dengan cara magis.
Calon B, punya waktu 5 menit mengomentarai Calon C, di penghujung debat kandidat. Calon B mendebat bahwa solusi yang ditawarkan oleh calon C hanya cocok di zaman “Kuda Gigit Besi” maksudnya zaman dimana kota Jakarta masih belum ada mobil dan motor, angkutan masih pakai delman ditarik kuda. Solusi demikian menurut calon B adalah sebagai khayalan yang hanya cocok untuk tayangan hiburan di TV pada acara “master of magition”. Di era teknologi dan informasi ini setiap problem tidak akan dapat lagi diselesaikan dengan cara majik. Tak lupa ia meyakinkan bahwa solusi yang ditawarkannyalah yang paling tepat.
Sementara tetua kampung yang ikut juga hadir dalam acara debat kandidat malam itu, hanya bergumam: “Siapapun menjadi ketua RW di RW kita ini tetap akan banjir tiap taun, saya sudah umur 80 tahun, dulu disini rawa, tigapuluh tahun belakangan ini jadi pemukiman mulanya diurug dengan sampah. Yah boleh dikata ini  RW sampah. Ngomong kosong, siapapun  jadi ketua RW tidak  akan dapat mengatasi banjir.
Debat kandidat malam itu ditutup karena waktu sudah cukup larut, sebab sebelumnya ada acara serimonial, dengan sambutan Bapak Camat dan Bapak Lurah serta ketua panitia. Debat kandidat akan dilanjutkan Sabtu malam Minggu yang akan datang dengan topik lainnya yaitu isu macet, isu gubug kumuh dan isu curanmor.

No comments:

Post a Comment