Wednesday 2 May 2012

BURUH ZAMAN BELANDA DAN KINI



Selamat hari Buruh buat seluruh buruh di dunia dan Indonesia. Buruh sejahtara bangsa berjaya. Buruh sehat negara kuat. Barang kali itu dua kalimat ungkapan buat buruh Indonesia tanggal 1 Mei merayakan “Hari Buruh”. Sering orang menterjemahkan bahwa yang disebut buruh itu adalah manusia yang bekerja kepada pihak lain, atau sesuatu perusahaan yang dengan pekerjaan itu dianya mendapat upah.
Kalau seorang bekerja diperusahaan miliknya sendiri, itu bukan lagi buruh tapi pengusaha, walau perusahaannya tidak ada tenaga kerja lain selain dirinya. Selain itu meskipun seseorang bekerja dengan pihak lain tetapi pihak lain itu adalah negara, si pekerja merasa lebih keren bukan disebut sebagai buruh, mereka tidak mau dikelompokkan sebagai buruh, tapi lebih merasa terhormat bila disebut pegawai negeri. Begitu juga kalau orang yang bekerja di perusahaan milik negara, juga tidak mau disebut buruh, lebih suka disebut sebagai pegawai BUMN.
Walau bekerja di pabrik, tapi kegiatannya memegang administrasi, bagian keuangan, bagian pembukuan pokoknya urusannya dengan tulis menulis, sedikit sekali menggunakan tenaga phisik lebih banyak otak/berfikir, juga kelompok ini enggan disebut sebagai buruh, lebih suka jika disebut  pegawai.
Jadi yang bersedia disebut buruh adalah orang yang kerja ototnya lebih banyak ketimbang kerja otaknya, barang kali begitu pendapat umum mendifinisikan buruh. Kendati difinisi ini sebenarnya tidak pas, karena sebenarnya orang yang bekerja menerima upah atau penghasilan dari orang lain, dari pihak lain sudah termasuk buruh.
Setiap peingatan hari buruh sedunia tanggal 1 Mei, di Indonesia belakangan ini sering dijadikan momentum untuk melaksanakan demonstrasi menuntut perbaikan nasib buruh. Nasib buruh dari zaman ke zaman tetap saja belum baik.  Mungkin pantas kita lakukan perbandingan buruh di zaman bangsa kita masih di jajah Belanda dengan sudah merdeka dan zaman reformasi.
Tidak banyak data tertulis yang saya miliki untuk memotret profil buruh zaman penjajahan Belanda, tapi ala kadarnya dapat dianalisis dari isi pengumuman pemerintah penjajahan Belanda yang sudah berumur 123 tahun untuk lapangan kerja bagi buruh perkebunan berikut ini:

PENGOEMOEMAN !!!

DAG INLANDER... HAJOO URANG MELAJOE... KOWE MAHU KERDJA???
GOVERNEMENT NEDERLANDSCH INDIE PERLU KOWE OENTOEK DJADI BOEDAK ATAOE TJENTENK DI PERKEBOENAN-PERKEBOENAN ONDERNEMING KEPOENJAAN GOVERNEMENT
NEDERLANDSCH INDIE

DJIKA KOWE POENYA SJARAT DAN NJALI BERIKOET:
1. Kowe poenja tangan koeat dan beroerat
2. Kowe poenja njali gede
3. Kowe poenja moeka kasar
4. Kowe poenja tinggal di wilajah Nederlandsch Indie
5. Kowe boekan kerabat dekat pemberontak-pemberontak ataoepoen maling ataoepoen mereka jang soedah diberantas liwat actie politioneel.
6. Kowe beloem djadi boedak nederlander ataoepoen ondernemer ataoe toean tanah ataoe baron eropah.
7. Kowe maoe bekerdja radjin dan netjes.

KOWE INLANDER PERLOE DATANG KE RAWA SENAJAN DISANA KOWE HAROES DIPILIH LIWAT DJOERI-DJOERI JANG BERTOEGAS:
1. Keliling rawa Senajan 3 kali
2. Angkat badan liwat 30 kali
3. Angkat peroet liwat 30 kali

Kowe mesti ketemoe Mevrouw Shanti, Meneer Tomo en Meneer Atmadjaja
Kowe nanti akan didjadikan tjentenk oentoek di Toba, Buleleng, Borneo, Tanamera Batam, Soerabaja, Djakarta en Riaoeeiland.

Governement Nederlandsch Indie memberi oepah :
1. Makan 3 kali perhari dengan beras poetih dari Bangil
2. Istirahat siang 1 uur.
3. Oepah dipotong padjak Governement 40 percent oentoek wang djago.

Haastig kalaoe kowe mahoe...

Pertanggal 31 Maart 1889
Niet Laat te Zijn Hoor..
Batavia 1889
Onder de naam van Nederlandsch Indie Governor
Generaal
H.M.S Van den Bergh S.J.J de Gooij

Dari pengumuman di atas betapa rendahya bangsa ini di mata orang Belanda ketika itu. Orang Melayu (Indonesia) dianggap sebagai “budak” dan  “Centeng”.  Kondisi waktu itu soal perut adalah sangat utama rupanya. Salah satu daya tarik adalah makan 3 x sehari dengan beras yang waktu itu digolongkan sudah cukup baik adalah dari Bangil. Entah berapa jam waktu kerja yang dibebankan kepada buruh perkebunan waktu itu, tetapi yang jelas adanya waktu istirahat satu jam dengan gaji yang tidak dijelaskan dalam pengumuman. Berapapun jumlah gaji akan dipotong pajak 40%.
Perlakuan sebagian majikan di zaman kinipun tidak jauh berubah dengan zaman lampau itu, di mana buruh dianggap alat, bukan dianggap asset jauhkan lagi dianggap mitra. Soal perut juga adalah alasan utama kebanyakan anak negeri ini menjadi buruh. Dari pada sulit mencari sepiring nasi, dari pada kalau tidak kerja harus makan nasi aking, daripada saban bulan harus antri RASKIN berkutu. Masalah gaji juga sama bahwa posisi tawar buruh zaman kini sama dengan buruh zaman penjajah, ditentukan oleh pemberi kerja. “Kalau mau segitu silahkan kerja disini”, begitu kira-kira pandangan pemberi kerja. Sementara pencari kerja tidak ada pilhan lain, dalam rangka mendapatkan urusan perut. Belum sampai urusan sandang dan papan serta pemeliharaan kesehatan diri dan keluarga. Yang terjadi adalah kemiskinan terstruktur disebabkan salah urus pengaturan pengelolaan kekayaan alam negeri ini.
Bagi buruh masa kini sama saja ketika bekerja di perkebunan milik Belanda, dengan bekerja di perusahaan milik pengusaha swasta sekarang ini, nasib buruh tetap saja seperti yang dulu.  Cita-cita pejuang kemerdekaan bangsa ini setelah merdeka keadaan buruh akan lebih baik, bekerja dengan bangsa sendiri  di negara sendiri akan lebih sejahtera daripada majikannya adalah penjajah, ternyata sampai hari ini belum tercapai, belum kesampaian. Pindah dari penjajah yang satu ke penjajah yang lain. Dulu penjajah adalah Belanda kini penjajah adalah Perusahaan Swasta.
Buruh yang sekarang sedang bekerja memeras keringat membanting tulang di perusahaan yang notabene kebanyakan bukan milik pemerintah, melainkan milik swasta. Kalau dirunut seruntut runtutnya pengusaha swasta itu adalah orang asing jua. Kalaulah ia sudah warga negara Indonesia, mereka bukan penduduk yang nenek moyangnya dulu menderita dijajah Belanda, mereka  bukan yang nenek moyangnya memperjuangan kemerdekaan Republik ini dengan darah dan jiwa.
Si buruh sebenarnya ingin juga keluar dari lilitan perbudakan sistim perburuhan yang ada, dengan ingin berusaha sendiri berwiraswasta. Tapi di negeri ini jika seseorang ingin berusaha sendiri, membuat perusahaan misalnya, belum-belum sudah banyak pernik-pernik yang harus diselesaikan dengan pemerintahan. Izin ini izin itu, usaha belum jalan sudah harus mengeluarkan banyak biaya.  Oleh karena itulah banyak anak muda di awal kehidupan setelah menamatkan pendidikan entah menengah atau pendidikan tinggi, memilih melamar pekerjaan akhirnya jadi buruh, bukan menciptakan lapangan pekerjaan.
Negeri ini adalah negeri yang paling kaya di dunia ini, apa saja ada. Para pejuang pendiri Republik bercita-cita dan bahkan dituangkan di dalam kata “bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalam negeri ini dikelola oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran/kesejahteraan rakyat”. Sebenarnya jika kekayaan nusantara ini benar-benar dikelola oleh negara, rakyat Indonesia sudah lama tidak akan menderita seperti sekarang ini. Misalnya seluruh perkebunan yang besar-besar dikelola oleh perusahaan negara, jangan biarkan dikelola oleh perusahaan swasta, jadi kembali lagi “onderneming” zaman Belanda tapi onderneming milik pemerintah sendiri. Di bidang perikanan, negara membangun kapal-kapal penangkap ikan yang besar dikelola negara untuk mengeluarkan hasil laut supaya tidak dicuri oleh negera lain.  Perusahaan garam dihidupkan kembali dikelola oleh negera, masak garam saja harus impor. Gula harus impor padahal begitu banyak lahan dapat ditanam tebu. Kekayaan tambang di dalam bumi diberikan kewenangan sepenuhnya hanya kepada perusahaan milik negara untuk mengeluarkan hasil tambang. Bila semua itu perusahaan milik negera maka seluruh buruh adalah pekerja pada negara yang tentulah akan lebih mudah untuk membuat ketentuan pengupahan dan kesejahteraan buruh termasuk jaminan hari tua mereka. Kita menaruh heran kenapa justru usaha-usaha vital tersebut malah diberikan wewenang kepada swasta. Bila sudah bicara swasta maka biasanya adalah orang asing, atau paling tidak orang Indonesia yang asalnya orang asing, bukan anak cucu pendiri Republik ini. Sampai saat ini orang Indonesia asal asing masih menganggap bahwa orang Indonesia asli adalah mahluk manusia kelas dua yang tidak pantas diperlakukan sebagai mitra. Pantasnya dihardik dan ditindas. Walau dimulut mereka sering didengar kata-kata manis, terutama dalam acara serimonial dihadapan pejabat negeri. Untuk beberapa dasawarsa lagi mungkin barulah dapat dipercaya jika pembauran sukses dilaksanakan dan dikondisikan oleh negara. Kecuali segelintir mereka yang sudah benar-benar merasa negeri ini tumpah darah mereka. Tapi yang segelintir tersebut sangat sedikit yang memegang peranan di perusahaan swasta yang mempekerjakan buruh.
Kondisi kerja yang kurang nyaman dari berbagai faktor inilah yang membuat orang lebih suka menjadi buruh migran keluar negeri, walau tidak henti-hentinya kita melihat dan mendengar tayangan TV bahwa TKI  yang disiksa, diperkosa dan bahkan terhilang nyawa di negeri orang. Dilecehkan dihina habis-habisan martabat bangsa ini, sampai oleh bangsa serumpunpun kita terhina,  kita harus kalah, walau kita lebih dulu merdeka. Apanya yang salah di negeri kita ini?
Kenapa sama-sama bekerja di perkebunan sawit di negara jiran berlokasi di satu tanah di bumi Borneo, buruh lebih suka kerja di sana kendati kadang bernasib malang. Buruh Indonesia tergiur kerja di negara serumpun itu, karena digaji lebih baik ketimbang perkebunan sawit di belahan Borneo wilayah Indonesia. Kembali pertanyaan kenapa demikian?, padahal hasil sawit sama-sama dipasarkan ke pasar dunia tentu harganyapun adalah berpadanan. Tetapi kenapa tingkat upah dan kesejahteraan buruh  di negeri orang lebih tinggi. Tentu ada yang salah sebab perbandingan sudah dengan parameter yang sama. Sama-sama di Borneo, sama-sama sawit, sama-sama buruh.  Si buruh juga sama-sama skillnya, sebab mereka berasal dari Indonesia.
Selentingan kabar yang belum saya ketahui data kebenarannnya konon bahwa produktifitas kebun sawit di tanah negara tetangga itu lebih tinggi dibanding Sawit di Kalimantan belahan  wilayah Indonesia. Kalaulah benar, timbul pertanyaan lagi, kenapa rendemen sawit di Indonesia itu lebih rendah dari negeri Melayu itu. Padahal berfasilitas yang sama, ditanam di tanah yang sama, diurus oleh buruh yang sama (orang Indonesia), dipupuk dengan pupuk yang sama, diguyur hujan yang sama ditiup angin yang sama. Kenapa rendemen sawit mereka lebih tinggi. Apakah dapat dijawab keberkahan sudah tidak diturunkan Allah di negeri ini, karena pengelola negeri dan rakyatnya tidak beriman dan bertaqwa kepada pencipta alam semesta ini. Wallahu alam bisshawab.




No comments:

Post a Comment