Friday 20 April 2012

SEMBADA DAN BERUANG

Sembada, adalah sejenis semut hitam yang besar; hidupnya biasanya di hutan-hutan yang rindang karena banyak pohon dan di tanah tebal dedaunan dari pohon yang gugur. Jenis semut ini lumayan besar, panjangnya sekitar satu centimeter, giginya jelas terlihat tersembul di depan kepalanya di posisi kiri dan kanan, mirip tangan kepiting.
Bukan bentuk tubuh dan giginya yang mengerikan tapi kalau menggigit, terasa gigitannya. Bila di gigit di kaki bisanya terasa sampai ke dada. Itu sebabnya barangkali di daerah hutan di mana komunitas semut itu banyak  berdiam, semut itu dalam logat daerah dinamainya “Sembada” mungkin ada hubungan dengan singkatan bahwa semut ini  “Sempat ia menggigit meski di kaki sakit sampai ke dada”.
Suatu hari musin kemarau,  Sembada remaja dalam tugasnya seharian mencari makan dan membawa misi komunitasnya untuk mencari bahan renovasi sarang, ia sampai di sebuah sungai yang airnya jernih dan mengalir deras, tiba-tiba rasa hausnya menggoda untuk dipenuhi. Perlahan Sembada menuju pinggir sungai, tidak diduga kakinya terpeleset dan terbawa arus, refleks ia masih sempat memegang sehelai daun kecil yang hanyut dibawa arus sungai, dengan susah payah dipegangnya daun kecil dan licin itu untuk naik di atasnya. Sebab kalau terus berpegang ke daun itu sementara badan masih di air, sebentar lagi akan terlihat oleh ikan “Kelik” yang banyak di sungai itu dan langsung ditelan tak berbekas. Akhirnya berhasil juga dia naik di atas daun hanyut, sambil menunggu nasib entah dimana daun itu akan tersangkut.


Rupanya setelah beberapa waktu berselang daun hanyut mengikuti lekuk liku sungai di hutan itu, akhirnya tersangkut di sudut  tanjung, tapi tak cukup buat Sembada untuk naik ke daratan. Disamping tenaga sudah begitu letih dan grogi, juga jika diupayakan merambat disangkutan daun yaitu akar pohon, dikhawatirkan sebelum akar dapat digapai, daun lepas dan dapat dibayangkan “plug” nyemplung ke air dan hanyut dibawa air deras. Seperti kata pepatah: “Buang tangga berayun kaki” artinya kira-kira “mengharap sesuatu yang belum tentu, yang ada sekarang terlepas”. Dalam kepasrahan itu tiba tiba ada seekor Beruang menuju sungai melalui tanjung tempat Sembada dengan daun tumpangan tersangkut diakar itu. Entah melihat atau tidak, si Beruang meraih daun dengan tangannya dengan maksud mengambil air untuk minum dan mencuci muka. Gerakan menciduk air dan mengarahkannya ke muka, sehingga terpelantinglah Sembada ke atas kepala si Beruang dan untuk sementara menempel di bulu Beruang dengan berdiam diri, tidak membuat gerakan yang mengundang perhatian. Selesai memenuhi kebutuhannya, minum dan “tempungas” (cuci muka), beruangpun balik kanan dan berlenggang lenggok menuju ke daratan. Tak lama kemudian bulu Beruang-pun kering begitu juga Sembada yang bergendong di badan Beruang segar kembali dan badannyapun terasa hangat. Hap,  diapun melompat dan langsung mencari arah pulang ke sarangnya untuk berkoordinasi dengan rekan lainnya. Pengalaman hampir seharian itu diceritakannya runtut kepada seluruh kelompoknya.
Betapa kalau tidaklah ada Beruang minum dan cuci muka tidak taulah bagaimana nasib keberuntungan Sembada, mungkin sudah mati beragan (mati pelan-pelan) karena ketakutan dan tidak makan, atau sudah dimangsa ikan. Peristiwa itu sungguh dijadikannya pengalaman yang berharga untuk lebih hati-hati kalau ingin minum ke sungai.
Menjadi cacatan dalam hidupnya, merasa berhutang budi kepada Beruang yang telah menyelamatkannya.  Entah bagaimana cara membalasnya, dia tau bahwa diri ini hanya seekor semut.  Walau dianya semut yang cukup besar, namun tetap saja tidak bandingannya dengan Beruang yang jutaan kali lebih besar dari dirinya.
Tidak menyangka suatu hari entah berapa lama setelah peristiwa itu, di habitat Beruang dan Sembada ada seorang pemburu dengan posisi bersender dibalik pohon dengan mengendap membidikkan senapannya. Agaknya bidikan ditujukan kepada Beruang yang pernah menolong Sembada. Dengan gerak cepat dan cekatan si Sembada menuju ke kaki pemburu, tapi si pemburu pakai sepatu lars, tak dapat digigit. Segera Sembada merambat di tubuh si pemburu menuju ke bagian atas tubuh pemburu yang kini sudah siap. Pemburu memicingkan matanya sebelah untuk memastikan arah tembakan. Untung, kurang lebih setengah detik sebelum pelatuk ditarik, Sembada sempat menggigit sekuat-ukuatnya di belakang daun telinga disisi mata pemburu mengkeker sasaran tembak. Pemburu terlanjur menarik pelatuk senapan tapi karena terasa sengatan dibelakang telinganya arah senapan melenceng ke kanan dan “door” terdengar ledakan, tetapi peluru menjadi salah sasaran. Mendengar bunyi ledakan, Beruangpun dengan cepat melarikan diri di kelebatan hutan. Dan selamatlah si Beruang.
Setelah menggiggit dengan segera Sembada melarikan diri, untung tangan si pemburu tidak sempat memites dirinya karena kebetulan tangan kiri pemburu memegang tengah senapan dan tangan kanan di posisi pelatuk. Seperti diungkap di atas bahwa betapa sakitnya bekas gigitan Sembada, betul-betul mengganggu konsentrasi si pemburu setidaknya kurang lebih setengah jam. Bayangkan bila digigit di kaki reaksi bisanya sampai ke dada, bagaimana kalau di belakang daun telinga mungkin ke atas sampai ke otak dan ke bawah sekurangnya sampai ke perut.
Pikir Sembada kini kesempatan untuk membalas budi sudah dapat dilaksanakan, hutang nyawa sudah dibalas nyawa. Walau sebenarnya Beruang tidak mengetahui bahwa keselamatannya adalah karena Sembada membalas budi, juga diapun tidak pernah tau bahwa telah menanam budi kepada Sembada.
Paling kurang dari kisah ini dapat diketahui bahwa: Orang kecil dan orang lemah, selalu mengingat suatu kebaikan walaupun kebaikan itu kecil sekali dan bahkan oleh orang besar mungkin dianggap biasa-biasa saja. Saya teringat ketika dikantor dulu, seorang wakil pemimpin kantor, belum lama menjabat di cabang kami waktu itu pidahan dari kota lain. Dianya, punya suatu kebiasaan baik. Beliau sanggup mengingat nama orang sampai ke panggilan akrabnya. Misalnya anak buahnya namanya “Mardjuki” dia cari tahu betul dengan sapaan apa si Mardjuki itu biasa disapa kawan-kawannya. Umpama panggilan”Mar” atau “aju” atau “Juki” atau “Ajuk. Panggilan akrab itulah yang ia sapakan kalau bertemu. Seorang tukang sapu di pagi hari begitu bertemu langsung disapa dengan sapaan akrabnya, kemudian diajak berdialog agak sejenak. Bukan main peristiwa itu sudah dicatat sebagai kebaikan yang besar bagi si tukang sapu. Tak kurang diceritakannya ke keluarganya di rumah dengan rasa bangga. Pembalasannya, segala kepentingan bos ini akan diprioritaskan. Benar petunjuk Allah dalam surat Al-Baqarah 263:


Qaulum ma’rufun wamaghfiratun khairummin shadaqatin yatbau’haa adza. Wallahu ghaniyun haliim.
(Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun).
Ketika si Bos dimutasikan dari cabang kami ke cabang lain, oleh kantor cabang kami,  karena satu dan lain alasan tidak mengadakan perpisahan antara beliau dengan seluruh pegawai. Perpisahan hanya diadakan dengan mengundang pejabat dan keluarganya saja. Maklum cabang kami itu lumayan banyak pegawainya jumlah kurang lebih 350 orang. Yang terjadi adalah para pegawai “kecil” di cabang kami itu urunan dana mengadakan upacara perpisahan dan bahkan mengundang para pejabat. Itu rupanya wujud pembalasan pegawai kecil kepada atasan yang baik itu.
Agaknya psychologi rakyat kecil ini terbaca dan dimanfaatkan benar oleh kaum politisi kita. Manakala mendekati pemilihan umum untuk duduk menjadi pejabat publik, menebar kebaikan kepada rakyat kecil. Banyak sumbangan yang mengalir untuk rakyat. Beberapa masa pemilihan umum yang lalu,  rakyat masih terpedaya dengan kebaikan sesaat menjelang pemilihan pejabat publik itu. Moga-moga kedepan rakyat kecil sudah mulai memahami kebaikan ini bukun tulus, hanya sekedar untuk meluluskan maksudnya saja, setelah tercapai maksudnya sampai di atas kebanyakan mereka tidak baik lagi bahkan menghisap darah rakyat dengan korupsi.
Kebiasaan umum kita, justru sering memberi lebih kecil ke orang yang kurang mampu, orang lemah dan  memberi lebih banyak kepada orang kaya dan orang besar (berjabatan tinggi). Contoh konkrit akan memberikan sumbangan yang besar dan berupaya untuk hadir jika seorang atasan atau pejabat tinggi yang mengundang “mantu”. Sebaliknya kadang tidak mau hadir dan titip sumbangan ala kadarnya bila orang miskin atau bawahan yang mengundang mengawinkan anak. Padahal orang kecil sangat mengingat dan menghargai kebaikan orang besar walau dimata orang besar itu sendiri kebaikan itu adalah kecil. Sebaliknya orang besar kurang menghargai bantuan dari orang kecil walau si kecil sudah dengan susah payah melakukan bantuan itu, apalagi memang bantuannya sangat kecil.


No comments:

Post a Comment