Monday 23 April 2012

KIBANG AYOK

Di era sekarang untuk melakukan penjagaan gedung misalnya, tersedia petugas yang mengkhususkan diri untuk berjaga selama 24 jam lazim disebut SATPAM. Begitu pula bila ada lahan perkebunan dan pertambakan untuk keamanan perkebunan, pertambakan agar hasilnya tidak dipanen orang lain, disiapkan penjaga berupa Satpam. Mereka  juga berpatroli siang dan malam utamanya di saat krusial, ketika musin panen.
Berbeda keadaannya dengan sekitar lima dekade yang silam, masa itu belum dikenal Satpam. Para pemilik kebun menempatkan penunggu di kebunnya dengan sesuatu yang tidak berwujud, kekuatan supra natural, diantaranya dengan apa yang dikenal dengan “Kibang”.
Saya jadi ingin memperkenalkan kembali “Kibang”, karena belakangan ini, rakyat di daerah-daerah perkebunan sering dihadapkan atau dibenturkan oleh pemilik kebun dengan Satpam. Banyak peristiwa antara lain di Lampung, di Riau dan Kalimantan rakyat menjadi korban Satpam perkebunan “menjalankan tugas”, tidak sedikit pula Satpam perkebunan yang menjadi bulan-bulanan rakyat.
Persolannya bermula dari suatu kebijakan penguasa yang mengatasnamakan investasi memberikan lahan-lahan milik rakyat yang telah dikuasai secara turun-temurun itu, kepada pengusaha. Itu buntut dari Penguasa berpartnership dengan Pengusaha. Penguasa memihak kepada pengusaha, sekali lagi atas nama kemajuan perekonomian bangsa dengan membuka luas lahan-lahan perkebunan memasukkan investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Memang Penguasa dengan Pengusaha beda tipis dari ejaan.
Hak atas lahan secara turun temurun rakyat tersebut memang tidak punya bukti administrasi, jauhkan lagi berupa sertifikat, keterangan secarik kertaspun rakyat tidak punya. Tapi sejak turun temurun itulah lahan tempat mereka berladang huma. Di tanah hutan itulah mereka mencari rotan dan damar, tempat berkeliaran hewan buruan mereka. Dihutan itulah terdapat pohon-pohon besar tempat lebah bersarang memproduksi madu, dimana satu sarang dapat menghasilkan duaratus-tigaratus liter madu, saking besarnya koloni lebah liar dihutan belantara kita itu. Kini tinggal kenangan semua sudah menjadi perkebunan Sawit milik pengusaha.
Ketika kebun sawit mulai dibangun, banyak kebun rakyat diantaranya kebun karet yang diambil paksa oleh pengusaha dengan berbekal surat izin dari penguasa bahwa pengusaha mengklaim wilayah tersebut punya mereka. Rakyat  terpaksa menyerahkan tanah yang telah mereka tanami karet atau tanaman lainnya itu karena memang mereka kalah secara “administrasi”, tidak punya secarik kertaspun sebagai bukti.
Begitulah keadaan di pedalaman, sangat tertinggal akan pengakuan sesuatu hak di atas kertas. Patok batas antara milik si Anu dengan si Ani hanya ditandai dengan batang-batang pohon. Sedangkan usia seseorangpun baru-baru ini saja tercatat tanggal kelahiran, lima dekade lalu orang di pedalaman masih menandai kelahiran dengan pohon yang ditanam, atau peristiwa-peristiwa alam.  Misalnya ketika anaknya menanyakan usianya, jawabnya “waktu kau lahir nenekmu menanam pohon Durian disamping rumah kita”. Contoh lain, almarhumah seorang nenek menceritakan bawa ketika Lampung pecah, beliau sudah dapat membawa air “selabu”. Lampung pecah maksudnya gunung Krakatau meletus.  Sedang air “selabu” secara singkat dapat dijelaskan: Di desa si nenek zaman dulu belum dikenal ember plastik atau ember dari kaleng. Wadah air dibuat dari sejenis labu yang kulitnya keras setelah tua, isi dalamnya dikuras di dekat tangkainya ke bawah sedikit bebera sentimeter dibuat lobang sekira tangan dapat menentengnya. Lobang berfungsi setelah jadi wadah air, sebagai jalan masuk keluar air dan dari lobang itu pula isi labu dikuras. Maksud si nenek ketika gunung Krakatau meletus usianya sekira empat lima tahun, sudah mampu membawa air “selabu” dari sungai yang tak jauh dari rumah beliau. Tinggal diurut kembali kapan gunung Krakatau meletus dan kurangilah sekitar 4 atau 5 tahun, itulah kira-kira tanggal/tahun kelahiran nenek.
Era reformasi membuat rakyat sebagian daerah berani mengemukakan pendapat mengunjukkan perasaan, itulah sebabnya baru belakangan ini terdengar, rakyat menggugat kembali tanah nenek moyang mereka. Di orde lampau suara terbungkam, rakyat dengan terpaksa mengalah, kini ada sebagian penduduk pedalaman yang dulunya tanah mereka  diambil oleh pengusaha atas nama investasi tersebut. Berhadapanlah mereka dengan keamanan perkebunan dan kadang meluas berhadapan dengan aparat keamanan negara.
Peristiwa demi peristiwa bentrokan antara pengusaha versus rakyat yang sekarang terjadi dan peristiwa pra kebun sawit, dimana rakyat yang sebagian punya kebun harus menyerahkan lahan mereka ke pengusaha. Ini mengingatkan saya dengan kedikdayaan nenek moyang zaman dahulu. Mereka mempercayakan penjagaan kebun mereka dengan kekuatan tidak berwujud seperti saya kemukakan di atas,  yaitu dengan KIBANG.
“Kibang” ada yang digantungkan di areal pekarangan perkebunan ada yang ditanam di dalam tanah di perkebunan. Diantara sekian banyak jenis kibang tersebut ada yang disebut “Kibang Ayok”. Cara kerjanya; apabila orang masuk kebun tersebut dan mengambil buah atau memanfaatkan hasil kebun tanpa izin pemilik, maka orang yang bersangkutan tidak dapat keluar dari wilayah perkebunan itu. Dia tidak berhasil menemukan jalan pulang, keadaan orang  itu akan berjalan maju mundur, maju mundur terus menerus. Jika sampai beberapa lama si pemilik kebun tidak meninjau kebunnya, ada harapan yang bersangkutan mati kelaparan atau kecapean karena  terus menerus maju mundur (ter ayok-ayok bahasa daerahnya) itu sebabnya namanya “Kibang Ayok”. Begitu ketemu pemilik kebun, setelah meminta maaf dan minta dihalalkan mengambil buah atau pengambil hasil kebun (misalnya menyadap karet), langsung orang yang masuk kebun dan mengambil tanpa izin itu sembuh dan dapat pulang.
Itulah sebabnya sampai sekarang masih membekas di budaya setempat, jika masuk kebun-kebun  bukan miliknya, kalau ketemu buah, tidak ada yang berani sembarang memetik, walau “kibang ayok” kini sudah tidak ada lagi. Kecuali ketika masuk kebun sudah permisi dulu dengan pemilik dan secara jelas menyebut kalau ada buah minta izin memetik. Sampai ketika kebun sawit belum ada, jika di hutan belantara terdapat sarang lebah diatas sebatang pohon yang tinggi, sementara di batang pohon itu sudah ada tanda silang, atau tanda apa saja yang mengidenditifikasikan bahwa sudah ada orang lain yang menemukan lebih dahulu, maka orang yang datang belakangan tidak akan mengganggu sarang lebah tersebut, hak memanen sudah ada ditangan yang memberi tanda. Begitulah kesepakatan tak tertulis di paguyuban masyarakat desa yang orisinal. Budaya ini terkikis setelah banyaknya pendatang dari daerah lain, yang kadang diantaranya ada punya budaya main serobot.
Timbul pertanyaan kenapa mereka mengalah dengan pengusaha yang mengambil lahan mereka, kenapa tidak dipertahankan dengan “Kibang ayok”. Pertanyaan itu pernah kutanyakan kepada pemuka masyarakat di pedalaman daerah kelahiranku yang dulunya punya piranti disebut “Kibang ayok” tersebut. Masalahnya adalah generasi angkatan orang tua kami, jawab mereka, sudah tidak percaya lagi dengan kekuatan supra natural itu, sehingga tidak minta diturunkan  dari angkatan di atas mereka. Ilmu kanuragan sudah tidak lagi diwarisi, karena lebih yakin dengan yang kasat mata. Rupanya yang menjadi soal adalah kemampuan seperti itu tidak bisa diturunkan begitu saja, kalau pihak yang ingin mewarisi tidak meminta, tidak seperti warisan harta berwujud benda. Semboyan mereka bahwa air di sungai itu tidak akan naik ke rumah bila tidak di ambil. Begitulah diibaratkan kemampuan seperti itu tidak bisa diberikan tetapi harus diminta. Sementara angkatan baru tidak meminta dari angkatan sebelumnya. Kalau diberikan tidak diminta ilmu tersebut tidak “mandi” (istilah bahasa Jawa = mujarab).
Kebetulan pada saat sudah tak punya lagi “Kibang ayok”  lahan merekapun dirampas dengan cara yang lembut dan/atau  bahkan bila perlu dengan intimidasi oleh pengusaha. Kini “Kibang ayok” tinggal kenangan, tinggal menjadi kisah obrolan ketika ketemu-ketemu warga membahas betapa; dulu lahan di sana pernah saya berladang lahan disitu pernah saya tanam karet.  Rakyat tempat asal yang lahir di desa mereka sendiri, sekarang sudah menjadi tamu dan bahkan tidak sedikit menjadi kuli di kampung sendiri.  Sambil menyaksikan mewahnya dan megahnya kantor perkebunan yang dijaga ketat oleh Satpam.  Masih untung kalau diantara Satpam dan buruh perkebunan merekrut rakyat setempat, kalau tidak benar-benar penduduk asli termarginalkan.
Ooh andaikan kita masih mewarisi “Kibang ayok” lahan kita tidak akan diambil oleh penguasa, kata sebagian penghuni asli desa yang kebetulan tidak dapat ikut menikmati nilai ekonomi setelah mengucurnya minyak dari atas pohon itu.
Tidak pula dapat dinafikan ada juga segelintir penduduk asli yang ikut merasakan manisnya kehidupan lantaran perkebunan Sawit. Bahkan ada yang punya mobil sampai berbilang empat lima unit model terbaru. Tentu saja mobil double gardan karena jalannya tidak siap untuk dilalui sejenis mobil sedan mewah. Andaikan tersedia jalan untuk mobil sedan mewah, sebagian mereka sanggup memilikinya, karena ada yang punya truck pengangkut Tandan Buah Segar Sawit puluhan unit sampai ratusan unit.

No comments:

Post a Comment