Friday, 4 July 2025
MARAH merasa tidak ADIL
No: 1.332.01.07-2025
Disuguhkan: M. Syarif Arbi.
Sepertinya sesabar apapun setiap orang pernah marah, hanya saja ekspresi marahnya saja yang berbeda. Mungkin orang yang sabar; marahnya hanya ditunjukkan dengan perubahan wajah, lantas kemarahannya tidak dilahirkan, tersimpan di dalam hati. Dalam pada itu ada orang yang begitu marah, meletup-letup, habis marah selesai, dirinyapun puas, tinggallah orang yang menerima marahnya kadang menyimpan di dalam hati. Bagi orang taqwa terdapat peringatan Allah agar dapat “menahan Amarah”
“………………. وَالۡكٰظِمِيۡنَ الۡغَيۡظَ …….”
……… orang yang menahan kemarahan ………….” (QS Ali Imran 134)
Menahan bukanlah berarti tidak boleh, tergantung sebabnya. Sangat beragam penyebab marah, tergantung pada kepribadian, pengalaman, situasi, lingkungan, budaya. Boleh juga diinventarisir penyebab seseorang menjadi marah. Setidaknya ada 10 penyebab orang menjadi marah yaitu:
1. Ketidak adilan., 2. Dilecehkan,, 3. Frustasi,. 4. Dikhianati., 5. Kesalahpahaman., 6. Ketidaksabaran., 7. Merasa tidak didengarkan., 8. Kelelahan fisik atau mental., 9. Lingkungan yang tidak nyaman., 10. Pengalaman Masa lalu.
Keterbatasan ruang tulis, tidak semua penyebab yang sepuluh itu dapat dipaparkan di nomor ini, diambil saja salah satu penyebab marah yaitu: Ketidakadilan. Sedangkan Ketidakadilan dapat pula dibagi menjadi: Ketidakadilan Sosial, Ketidakadilan Ekonomi, Ketidakadilan Hukum, Ketidakadilan Gender, Ketidakadilan Politik dan Ketidakadilan Rasial atau Etnis. Menyingkat tulisan, pada artikel ini hanya ditulis Ketidakadilan Sosial.
Ketidakadilan Sosial, terjadi ketika distribusi sumber daya, peluang, dan hak tidak merata dalam masyarakat. Misalnya: Diskriminasi terhadap kelompok minoritas, Ketimpangan pendidikan antara daerah kota dan desa, Pelayanan kesehatan yang tidak merata.
Seorang penduduk disuatu desa ngomel2 panjang lebar di sebuah rumah makan, begitu dia tau aku bersama anakku dari Jakarta, maklum disebuah desa kecil, pendatang seperti kami dengan mudah diketahui.
Belasan tahun lalu aku mengantar anakku tugas dokter PTT di sebuah desa terpencil. Omelan bapak yang kebetulan sama2 makan di rumah makan itu tentang layanan kesehatan. Dikatakannya bahwa di Jakarta, bila ada orang sakit pelayanannya begitu baik, diantar mobil ambulan langsung ke depan pintu rumah sakit dan dengan segera mendapat layanan petugas kesehatan.
Rupanya bapak ini sering nonton tayangan di TV, lalu dia bandingkan dengan bagaimana pelayanan Kesehatan di desanya. Disebutkan dalam marahnya bahwa Ibu2 kebelet akan melahirkan dibawa menggunakan sampan, kadang harus “merojol” dalam perahu sebelum sampai ke Bidan di Kecamatan. Lanjut omelannya; belum lagi ada orang sakit yang harus dimasukkan di karung goni, kemudian dipikul dengan gandar bambu yang ditusukkan ke karung goni ini menuju ke PUSKESMAS. “Pada hal Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. tambah bapak tersebut dengan penuh semangat.
Begitulah salah satu contoh pelampiasan kemarahan, salah seorang penduduk desa yang merasa belum diperlakukan adil. Dianya rupanya sering melihat di tayangan TV, dan itu terjadinya di kota besar seumpama Jakarta. Bapak itu agaknya menyaksikan sinetron di TV, dia tidak melihat kenyataan sebenarnya, banyak juga orang di Jakarta yang sakit mendadak, harus sabar menunggu pesanan taxi, atau kadang naik Bajay menuju ke UGD.
Walaupun harus diakui bahwa di kota2 besar pelayanan kesehatan relative lebih baik ketimbang di desa terpencil. Begitu luasnya wilayah negeri ini, sehingga masih luaamaa sekali baru dapat didistribusikan sumber daya, fasilitas dan peluang ke seluruh penjuru tanah air, apalagi desa-2 terpencil.
Kami yang mendengar omelan itu tak sanggup berkomentar apapun. Tidak pula kami jelaskan keadaan yang sebenarnya terjadi di Jakarta. Kami sadar, kami sebagai orang baru di desa itu, reaksi kami; hanya sesekali manganggukkan kepala saja. Besar kemungkinan, bapak yang marah2 itu sudah mengetahui bahwa anak saya adalah dokter PTT di desa mereka, dokter baru di Puskesmas Kecamatan. Ybs merasa kami adalah alamat yang tepat untuk menumpahkan amarahnya atas ketidakadilan yang dirasakannya. Boleh jadi dianya pernah menyaksikan atau mengalami sanak saudaranya yang dibawa sampan untuk melahirkan atau dibawa dengan karung goni seperti diceritakan di atas.
Berbekal dengan sikap harus diambil terhadap orang sedang marah, kami memilih, menunjukkan empati, dengan tanpa menyela apa yang dia sampaikan. Sehabis bapak itu menyampai uneg2nya kami alihkan pembicaraan, dengan mengajak berkenalan, menanyakan alamat tempat tinggal ybs. dan pembicaraan ringan lainnya. Suasana selanjutnya menjadi dingin, bahkan ybs mempersilahkan berkunjung ke rumahnya yang rupanya tak terlalu jauh dari rumah makan tersebut.
Memang manusia bila mengalami/melihat ketidakadilan, adalah wajar kecewa, bagi yang sanggup melampiaskan kekecewaan itu terekspresi menjadi “marah”. Masalahnya agar isi marah itu efektif, untuk merubah keadaan ketidakadilan itu, alamat marah ditujukan haruslah tepat. Bapak dalam cerita ini, tak tau kemana marahnya paling tepat dialamatkan, yang ditemuinya adalah seorang dokter baru yang akan tugas di desanya, ketemu di rumah makan.
Semoga keadilan sosial di negeri ini semakin hari semakin baik, sehingga terwujud “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
آمِيّنْ... آمِيّنْ... يَا رَبِّ الْعٰلَمِيْن , وَسَلَـٰمٌ عَلَى ٱلْمُرْسَلِين , اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْن
Jakarta, 4 Juli 2025, 8 Muharram 1447H.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment