Jika
direnung bahwa diri ini tercipta dari persaingan ribuan sel sperma yang
bersaing, berkompetisi, akhirnya bagi kita yang terlahir sebagai anak seorang
(bukan anak kembar), berarti satu sel sprema yang menjadikan diri kita ini
adalah sebagai pemenang. Satu sel sperma yang menjadi kita ini dilindungi oleh
Allah dalam perjuangan pertama menjadi anak manusia. Kalau bukan karena karunia
Allah kita sudah musnah dalam proses persaingan antar jutaan sel sperma
tersebut.
Kitapun
diproses menjadi janin, dalam proses ini belum tentu semua berjalan lancar,
banyak terjadi ibu kita karena sesuatu dan lain sebab, mengeluarkan calon janin
atau janin sebelum waktunya dan belum dapat menjadi anak manusia, kitapun
terlahir disebut keguguran. Kalau bukan karena pemeliharaan Allah tidak ada
calon janin menjadi bayi.
Setelah
berbilang bulan dalam kandungan ibu, tanpa makan, tanpa minum tidak bernafas
dengan cara seperti kita sekarang, kita hidup, begitu hebat hal itu, tapi
jarang kita merenungkan betapa besar perlindungan Yang Maha Kuasa untuk kita.
kitapun dilahirkan ke dunia.
Sekarang
ini dengan kemajuan pelayanan kesehatan, sudang jarang kita dengar utamanya di
kota-kota besar, terdengar ibu meninggal ketika melahirkan anaknya. Ketika
kulahir bilangan 60-70 tahun silam, lahir masih dibantu dukun beranak sering
disebut “mak jujut”. Predikat ini melekat kepada si nenek dukun, karena
kepiawaiannya menarik (menjujut) si bayi dari tempat di mana si bayi
dilahirkan. Bila si bayi terlalu besar misalnya, si bayi melintang misalnya, si
bayi sungsang umpamanya “mak jujut” tidak berdaya. Peristiwa inilah kadang ibu
meninggal dan anaknyapun gagal menghirup udara dunia. Belum ada operasi Caesar
yang sekarang menjadi solusi, kalau terjadi kasus kesulitan melahirkan normal
itu. Betapa bersyukurnya kita yang kini umur sebaya, masih sempat sampai umur
hampir tujuh puluhan ini, bila kita ingat bagaimana kita dilahirkan dulu. Kalau
bukan karena perlindungan Allah niscaya kita tidak sampai seperti sekarang ini.
Kitapun
lahir ke dunia menjadi anak manusia,
kembali lagi kalau bukanlah karena perlindungan Allah kita tak akan menjadi
anak-anak, kuulangi lagi, karena perawatan kesehatan belum seperti sekarang
ini. Penyakit untuk bayi begitu banyak di masa silam , sementara pengobatanpun
masih sangat-sangat sederhana, misalnya diare sering mendera si bayi, belum
lagi gerumut, cacar, campak dan banyak lagi. Seingatku waktu ku masih kecil di kampung
dulu, bila terjadi musim kemarau panjang, terpapar wabah kolera, orang,
anak-anak, bayi hampir tiap hari ada yang meninggal. Ketika itu yang namanya
Muntah Berak, belum ada model infus pengganti cairan tubuh, belum dikenal
oralit. Jadi hanya kita yang diselamatkan Allah saja masih bertahan hidup
sampai sekarang ini.
Renungan
dilanjutkan, ketika kita menjadi anak-anak sebelum sekolah. Tidak seperti
anak-anak sekarang ini ada Baby Sister mendampingi, sehingga kini jarang
anak-anak salah makan sesuatu yang tak boleh dimakan, Tak ada seorang anak
sekarang salah menyedot biji-bijian ke dalam hidungnya. Misalnya si anak
bermain bija Saga, dimasukkannya ke hidungnya, betapa sulitnya mengeluarkannya.
Juga sekarang ini mainan anak bukan lagi dari biji-bijian, bukan lagi dari
bekas potongan kulit jeruk bali, bukan lagi dari kulit luar sabut kelapa. Sudah
banyak mobil-mobilan sudah banyak kereta-keretaan, robot dan banyak lagi mainan
yang di desain cocok sesuai umur si anak. Kembali lagi kalaulah bukan karena
perlindungan Allah kita tak akan sempat menjadi anak sekolah.
Sekolahpun
di mulai setelah tangan kanan dinaikkan ke atas kepala untuk dapat mencapai
telinga kiri. Umur ketika itu sekitar tujuh tahun, kitapun di terima di Sekolah
Rakyat (SR). Ke sekolah berjalan sendiri beriringan dengan teman sebaya,
kalaulah diantar Ortu mungkin hanya di awal-awal saja, tidak ada antar jemput
(ini kisah di kampung). Ortu rata-rata punya momongan banyak, jadi wajar kalau
kurang dapat mengontrol anak-anak mereka. Kesibukan mencari rezeki untuk menghidupi
banyak jawab menjadi tanggungannya membuat kurang kontrol terhadap aktivitas
anaknya sesudah jam-jam sekolah. Anak-anak sesudah jam sekolah bermain, sesama rekan
selingkungannya, dengan permainan-permainan kadang tak kurang membahayakan
keselamatan jiwa. Bermain/berenang disungai ber air deras, memanjat pohon yang
dahannya gampang patah, mencari mainan atau buah-buahan di hutan sekitar
kampung. Kalaulah bukan ada perlindungan Allah mungkin ada diantara kita hanyut
disungai, atau jatuh dari atas pohon atau digigit ular di semak belukar hutan.
Setamat
sekolah, kegiatan selanjutnya meneruskan estafet kehidupan mencari nafkah,
berkeluarga, membina rumah tangga membesarkan, mendidik anak anak, sebagaimana
siklus hidup yang harus dilakukan. Kembali kita renungkan kalaulah bukan karena
karunia Allah mungkin kita yang kini pensiun, tidak dapat menikmati pensiun.
Ada diantara kita yang sama-sama dulu masuk kerja, berhenti ditengah jalan, ada
yang berhenti karena tidak tahan dengan suasana kerja, kemudian memilih
pekerjaan lain. Kadang pilihannya tepat, kadang pula pilihannya keliru dan
berujung ke kehidupan yang kurang nyaman di hari tua. Ada pula yang berhenti di
tengah jalan, disebabkan salah bertindak, salah menyikapi kesempatan tak tahan
godaan berujung di pecat. Ada juga orang yang dipecat itu bernasib baik malah
dapat merintis usaha lebih baik, tapi tak kurang yang hidupnya susah. Sekali
lagi kalaulah bukan karena karunia Allah banyak kita diujung hayat berkehidupan
memprihatinkan.
Setelah
kita tafakur merenungi diri, tiada lain seharusnyalah kita bersyukur kepada
Allah diwujudkan paling tidak dengan empat bentuk syukur:
1. Dengan
lisan dan hati; ucapan yang keluar dari ayunan lidah diikuti oleh hati
berterimakasih kepada Allah, dengan ucapan Alhamdulillah dan zikir yang diajarkan
dan dianjurkan oleh tuntunan Rasulullah. merupakan wujud rasa syukur dan
berterimakasih kepada Allah atas semuanya yang direnungi di atas yang sebagian
mampu direnungkan sejak mulai kejadian kita dari satu sel sperma menjadi janin,
anak manusia sejak bayi, pemuda, dewasa
dan tua.
2. Dengan
raga; melaksanakan ibadah dengan raga yang dikaruniakan Allah, berupa shalat
(ibadah hubungan dengan Allah dikenal dengan hablumminallah). Juga bersyukur
dalam wujud raga membantu sesama meringankan beban orang lain (ibadah hubungan
dengan sesama manusia, ibadah sosial dikenal dengan hablumminannas)
3. Dengan
harta; wujud syukur atas karunia limpahan rezeki yang diperoleh dari Allah
sebagain disalurkan untuk menjalankan perintah Allah berupa zakat dan sada.ah/infak
berderma membantu orang lain dalam kesusahan.
4. Dengan
Akhlak; menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela, meresahkan,
menyusahkan masyarakat. Jika kita menjadi orang bersyukur terjauh dari lisan
kita dari tutur kata kita, dari tulisan kita dan dari ungkapan kita yang
membuat hati orang terluka. Jika kita menjadi orang bersyukur terjauh orang
lain merugi lantaran kelancangan tangan kita. Jika kita orang bersyukur orang
terbebas dari kerugian dikarenakan perbuatan, kebijakan, keputusan kita.
Kalaulah
bukan karena karunia Allah, maka diri ini tidak jadi begini. benar apa yang
diingatkan Al-Qur’an di beberapa surat “walau laa fadhlullahi a’laikum…………….” (“Jika
bukan karena karunia Allah terhadap kalian…………………” ) dalam berbagai konteks.
Demikian
patut kita renungkan keberadaan diri kita ini dari satu sel sperma yang
bertarung dengan juataan sel lainnya dan kita jadi pemenang. Kemudian menjadi
janin, menjadi bayi, anak-anak, pemuda dan kini sudah menjadi manula, semua itu
dapat terjadi sampai kita tua ini hanya karena perlindungan Allah. Semoga
lindungan Allah sampai kita ke/dalam pusara. Aamiin. Barakallu fikum.
No comments:
Post a Comment