Sunday 25 December 2016

MELURUSKAN NIAT



Lurus, adalah jarak yang terpendek dari satu titik ke titik lain. Jadi kalau kita mohon dalam berdo’a minta jalan yang lurus, tentu maksudnya agar diperoleh jalan yang paling dekat kepada tujuan, karena dibandingkan dengan jalan yang berliku, akan lambat sampai ke tujuan karena jauh, bahkan mungkin saking berlikunya ndak kunjung sampai ke tujuan alias “gagal sampai”. Jalan “yang lurus” yaitu jalan yang terdekat dari tempat berangkat ke tempat tujuan.
Bigitulah kira-kira setiap perbuatan kita, hendaknya diluruskan niat, agar sampai apa yang dimaksud dengan waktu yang singkat karena dengan jarak paling dekat. Giliran Ibadah kepada Allah, tujuannya jelas mengharapkan balasan dari Allah, mengharapkan keridhaan Allah. Jadi garis lurus yang harus di tempuh adalah niatnya hanya mengharapkan keredhaan Allah, mengharapkan apresiasi hanya dari Allah, tidak dari yang lain selain Allah. Jika sedikit saja ada maksud lain selain mengharapkan redha Allah, dari suatu perbuatan ibadah, maka nilai ibadahnya terkikislah sudah, hanya didapat seperti yang diharapkan itu. Ngeri juga yaa, udah capek-capek, kadang bukan tenaga saja tetapi juga dana dikeluarkan tidak sedikit, dari sisi Allah ndak dapat apa-apa, kecuali yang didapat hanya maksud tersisip selain “karena Allah” itu.
Sebagai contoh, tulisan ini dimaksudkan/diniatkan, agar menjadikan pembaca memperbaiki niat dalam ibadah, sehingga Allah menghargai usaha penulis ini, diharapkan mungkin dengan sebab tulisan ini Allah menganugrahkan pembaca dari diri yang semula kurang focus niatnya menjadi meluruskan niat dalam ibadah. Bila terkandung niat dari penulis ini, untuk mendapatkan apresiasi dari pembaca, bahwa “tulisan ini baik”, misalnya. Mengharapkan banyak pembaca yang memberikan “jempol” umpamanya, maka yang didapat hanyalah “jempol” itu saja, yang didapat hanya “apresiasi” dari pembaca saja. Jadi harus diluruskan niat, hanya mengharapkan Allah saja yang mengapresiasi. Biar pembaca tidak mengapresiasi, biar pembaca tidak memberikan “jempol”, tetap saja menulis untuk hal-hal yang mengajak untuk lebih baik, untuk kebaikan. Harapan, semoga banyak pembaca yang dapat diingatkan baik yang menandai dengan “jempol” atau tidak memberikan “jempol” walau ikut membaca. Karena mengingatkan sesama dalam hal kebaikan dan takwa adalah perintah Allah.
Contoh lain; disuatu subuh sebelum azan subuh, seorang lelaki muslim yang taat, telah bersiap diri untuk berangkat ke masjid. Begitu melangkah dari rumah dianya harus meluruskan niat, untuk datang ke masjid yang di tuju hanya karena Allah. Jangan sampai terbetik niat di dalam hati, berangkat ke masjid misalnya lantaran ndak enak ama tetangga, disebabkan hal-hal lain, umpamanya subuh esok mau ke masjid “A” disana nanti ada ceramah subuh dari ustadz kondang yang enak ceramahnya. Pokoknya berangkat saja menuju masjid dengan niat shalat subuh berjamaah, karena shalat berjemaaah lebih baik dari shalat sendirian di rumah, hanya kerena Allah, bukan karena imam, bukan karena ustazd, bukan karena ada sedikit perbedaan “hilafiah” yang diselenggarakan di masjid tersebut.
Menyoal kerugian ibadah karena  “bengkoknya niat”  ini, bukan pula hanya tersandung kepada para jemaah biasa, orang awam,  tetapi tak jarang juga terkena kepada para ustadz  yang memberikan ceramah, ustadz yang menjadi khatib, ustadz yang menjadi imam.
Perangkap membuat niat menjadi kurang lurus bagi Ustazd:
1.       Memberi ceramah dan menjadi khatib; bila terbetik niat untuk mengharapkan besaran honor dari panitia atau pengurus masjid. Maka besar kemungkinan yang didapatnya dari ceramahnya hanyalah besaran honor tersebut. indikator buat ustadz kelompok ini agaknya, tak terlalu sulit. Di lingkungan kami terdapat beberapa masjid. Honor tiap-tiap masjid itu tidak sama, tergantung pemasukan masjid yang terkait erat dengan lokasi dan luas masjid berhubungan dengan Jumlah banyaknya jamaah. Ada masjid yang memberikan honor khatib; 650 ribu, 300 ribu dan 200 ribu. Khatib dapat mengukur dirinya, ketika berangkat menuju masjid-masjid tersebut apa yang terasa dalam hati. Bukan mustahil terjadi ketika satu hari Jum’at, terjadwal menjadi khatib di masjid 200 ribu, sementara itu hari kamis siang dapat telepon, khatib seharusnya terjadwal Jum’at besok di masjid 650 ribu, akan berhalangan hadir. Pengurus masjid 650 ribu minta menggantikan. Disini ujian bagi sang khatib. Masjid 200 ribu dianya adalah khatib utama yang sudah terjadwal, disusun jadwal sejak awal tahun lalu. Sedangkan di masjid 650 ribu betul nama si ustadz juga terdaftar sebagai khatib, tapi untuk Jum’at itu bukan gilirannya. Kini si khatib apa akan mengirimkan pengganti di masjid 200 ribu dan mengisi di 650 ribu, atau dengan bijak menolak masjid 650 ribu, misalnya menyarankan pengurus masjid mencari pengganti ustadz yang berhalangan, karena dirinya sudah terjadwal sebagai khatib di masjid 200 ribu. Bagi jamaah juga, jangan sampai siapa yang jadi khatib, itu yang menjadi sebab ikut shalat jum’at di suatu masjid. Jadikanlah niat keberangkatan anda  menuju ke masjid shalat jum’at hanya karena Allah semata.
2.       Ketika menjadi imam, bila terbetik di dalam hati, merasa bahwa dianya imam yang paling baik dari imam-imam yang biasa menjadi imam di masjid itu, ini si ustadz sudah masuk dalam perangkap salah niat. Ada yang juga menilai dirinya yang paling benar, paling bagus bacaannya, dengan terbesit di dalam hati agar imam lain mencontoh cara dirinya membaca, ketika memimpin menjadi imam. Niat ini bukan lagi Lillahi ta’ala, melainkan seperti yang terbetik di hati, terbersit di hati. Yang namanya syaitan mengganggu manusia sesuai stratanya, makin tinggi kedudukan orang, makin tinggi pula kedudukan syaitan penggodanya, begitupun makin tinggi ilmu sesorang, makin tinggi pula ilmu syaitan yang  menggodanya. Itulah sebabnya berhati-hatilah kita menjaga ke lurusan niat, agar ibadah/amal kita mendapat apresiasi, kerdehaan Allah.  Sedangkan makmum juga, luruskan niat ikut berjamaah, bukan lantaran imam yang memimpin shalatnya merdu suaranya, bagus bacaannya tapi niatkanlah hanya karena Allah.
3.       Menjadi pengajar tetap di masjid; Juga bila si ustadz pengajar tetap itu selalu mengungkapkan bahwa, si ustadz lain kurang benar memberikan pelajaran, dengan konotasi merendahkan, bukan memberi informasi bagaimana sebenarnya. Disini nampak bahwa ingin mengkondisikan kepada jamaah bahwa dirinya paling benar. Ini juga membuat terkembarnya niat ketika berangkat menuju majelis jamaah, niat sudah tidak semata-mata karena Allah lagi, sudah masuk niat lain. Sudah masuk ingin dihargakan sebagai ustadz top, sudah terkontaminiasi keinginan untuk merendahkan ustadz lain. Sudah ada niatan agar jamaah lebih banyak menyukainya. Bagi para jamaah juga, bila datang ke masjid lantaran ingin jumpa, ingin mendengar ustadz paporit, bukan karena Allah, maka niat inipun sudah tidak lurus lagi.
Seorang yang keluar dari rumahnya untuk ibadah dengan niat yang lurus hanya karena Allah, sejak dari depan pintu sudah diiringkan malaikat untuk memohonkan ampunan bagi yang bersangkutan. Orang tersebut dalam perjalan pergi dan pulang dalam curahan rahmat Allah dan sukses mendapatkan apresiasi dari Allah atas amal kebaikannya atas ibadahnya tersebut. Sebaliknya bila niatnya, bukan karena Allah atau sudah tercampur, maka keberangkatannya diiringi oleh syaitan dalam perjalanan pulang dan pergi jauh dari rahmat Allah, sedangkan yang didapatkannya sebatas apa yang diharapkannya selain Allah tersebut.
Inilah makanya nabi memberitahukan untuk beramal, “Innamal a’malu binniyat, wa innamaa likulimri in maa nawa” (“Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya”)
Berat memang, meluruskan niat untuk beribadah ini, kadang bila seseorang mengucapkan “saya lakukan ini ikhlas karena Allah”, justru inipun pertanda ada kerusakan pada naitnya, ucapan ini juga justru sebagai tanda tidak ikhlas. Paling tidak dengan ucapan itu, si penutur ingin diketahui pendengarnya bahwa dirinya melakukan ibadah tersebut karena Allah. Niat ini bisa terkabul bisa tidak. Terkabul, orang yang mendengar yakin se yakin-yakinnya bahwa si yang beramal itu benar-benar ikhlas. Dapat juga tidak, setelah selesai acara beramal, penyerahan sumbangan itu misalnya, orang dibelakangnya bergumam, mencibir tidak percaya akan keihlasan si penyumbang. Sementara dari sisi Allah, wallahu a’lam bishawab.

No comments:

Post a Comment