Lurus,
adalah jarak yang terpendek dari satu titik ke titik lain. Jadi kalau kita
mohon dalam berdo’a minta jalan yang lurus, tentu maksudnya agar diperoleh
jalan yang paling dekat kepada tujuan, karena dibandingkan dengan jalan yang berliku,
akan lambat sampai ke tujuan karena jauh, bahkan mungkin saking berlikunya ndak
kunjung sampai ke tujuan alias “gagal sampai”. Jalan “yang lurus” yaitu jalan
yang terdekat dari tempat berangkat ke tempat tujuan.
Bigitulah
kira-kira setiap perbuatan kita, hendaknya diluruskan niat, agar sampai apa
yang dimaksud dengan waktu yang singkat karena dengan jarak paling dekat.
Giliran Ibadah kepada Allah, tujuannya jelas mengharapkan balasan dari Allah,
mengharapkan keridhaan Allah. Jadi garis lurus yang harus di tempuh adalah
niatnya hanya mengharapkan keredhaan Allah, mengharapkan apresiasi hanya dari
Allah, tidak dari yang lain selain Allah. Jika sedikit saja ada maksud lain
selain mengharapkan redha Allah, dari suatu perbuatan ibadah, maka nilai
ibadahnya terkikislah sudah, hanya didapat seperti yang diharapkan itu. Ngeri
juga yaa, udah capek-capek, kadang bukan tenaga saja tetapi juga dana
dikeluarkan tidak sedikit, dari sisi Allah ndak dapat apa-apa, kecuali yang
didapat hanya maksud tersisip selain “karena Allah” itu.
Sebagai
contoh, tulisan ini dimaksudkan/diniatkan, agar menjadikan pembaca memperbaiki
niat dalam ibadah, sehingga Allah menghargai usaha penulis ini, diharapkan mungkin
dengan sebab tulisan ini Allah menganugrahkan pembaca dari diri yang semula
kurang focus niatnya menjadi meluruskan niat dalam ibadah. Bila terkandung niat
dari penulis ini, untuk mendapatkan apresiasi dari pembaca, bahwa “tulisan ini
baik”, misalnya. Mengharapkan banyak pembaca yang memberikan “jempol”
umpamanya, maka yang didapat hanyalah “jempol” itu saja, yang didapat hanya
“apresiasi” dari pembaca saja. Jadi harus diluruskan niat, hanya mengharapkan Allah
saja yang mengapresiasi. Biar pembaca tidak mengapresiasi, biar pembaca tidak
memberikan “jempol”, tetap saja menulis untuk hal-hal yang mengajak untuk lebih
baik, untuk kebaikan. Harapan, semoga banyak pembaca yang dapat diingatkan baik
yang menandai dengan “jempol” atau tidak memberikan “jempol” walau ikut
membaca. Karena mengingatkan sesama dalam hal kebaikan dan takwa adalah
perintah Allah.
Contoh
lain; disuatu subuh sebelum azan subuh, seorang lelaki muslim yang taat, telah
bersiap diri untuk berangkat ke masjid. Begitu melangkah dari rumah dianya
harus meluruskan niat, untuk datang ke masjid yang di tuju hanya karena Allah.
Jangan sampai terbetik niat di dalam hati, berangkat ke masjid misalnya
lantaran ndak enak ama tetangga, disebabkan hal-hal lain, umpamanya subuh esok
mau ke masjid “A” disana nanti ada ceramah subuh dari ustadz kondang yang enak
ceramahnya. Pokoknya berangkat saja menuju masjid dengan niat shalat subuh
berjamaah, karena shalat berjemaaah lebih baik dari shalat sendirian di rumah,
hanya kerena Allah, bukan karena imam, bukan karena ustazd, bukan karena ada
sedikit perbedaan “hilafiah” yang diselenggarakan di masjid tersebut.
Menyoal
kerugian ibadah karena “bengkoknya
niat” ini, bukan pula hanya tersandung
kepada para jemaah biasa, orang awam, tetapi tak jarang juga terkena kepada para ustadz yang memberikan ceramah, ustadz yang menjadi
khatib, ustadz yang menjadi imam.
Perangkap
membuat niat menjadi kurang lurus bagi Ustazd:
1.
Memberi ceramah dan menjadi khatib; bila
terbetik niat untuk mengharapkan besaran honor dari panitia atau pengurus
masjid. Maka besar kemungkinan yang didapatnya dari ceramahnya hanyalah besaran
honor tersebut. indikator buat ustadz kelompok ini agaknya, tak terlalu sulit. Di
lingkungan kami terdapat beberapa masjid. Honor tiap-tiap masjid itu tidak
sama, tergantung pemasukan masjid yang terkait erat dengan lokasi dan luas
masjid berhubungan dengan Jumlah banyaknya jamaah. Ada masjid yang memberikan
honor khatib; 650 ribu, 300 ribu dan 200 ribu. Khatib dapat mengukur dirinya,
ketika berangkat menuju masjid-masjid tersebut apa yang terasa dalam hati.
Bukan mustahil terjadi ketika satu hari Jum’at, terjadwal menjadi khatib di
masjid 200 ribu, sementara itu hari kamis siang dapat telepon, khatib
seharusnya terjadwal Jum’at besok di masjid 650 ribu, akan berhalangan hadir.
Pengurus masjid 650 ribu minta menggantikan. Disini ujian bagi sang khatib.
Masjid 200 ribu dianya adalah khatib utama yang sudah terjadwal, disusun jadwal
sejak awal tahun lalu. Sedangkan di masjid 650 ribu betul nama si ustadz juga terdaftar
sebagai khatib, tapi untuk Jum’at itu bukan gilirannya. Kini si khatib apa akan
mengirimkan pengganti di masjid 200 ribu dan mengisi di 650 ribu, atau dengan
bijak menolak masjid 650 ribu, misalnya menyarankan pengurus masjid mencari
pengganti ustadz yang berhalangan, karena dirinya sudah terjadwal sebagai
khatib di masjid 200 ribu. Bagi jamaah juga, jangan sampai siapa yang jadi
khatib, itu yang menjadi sebab ikut shalat jum’at di suatu masjid. Jadikanlah
niat keberangkatan anda menuju ke masjid
shalat jum’at hanya karena Allah semata.
2.
Ketika menjadi imam, bila terbetik di dalam
hati, merasa bahwa dianya imam yang paling baik dari imam-imam yang biasa
menjadi imam di masjid itu, ini si ustadz sudah masuk dalam perangkap salah
niat. Ada yang juga menilai dirinya yang paling benar, paling bagus bacaannya,
dengan terbesit di dalam hati agar imam lain mencontoh cara dirinya membaca, ketika
memimpin menjadi imam. Niat ini bukan lagi Lillahi ta’ala, melainkan seperti
yang terbetik di hati, terbersit di hati. Yang namanya syaitan mengganggu
manusia sesuai stratanya, makin tinggi kedudukan orang, makin tinggi pula
kedudukan syaitan penggodanya, begitupun makin tinggi ilmu sesorang, makin
tinggi pula ilmu syaitan yang
menggodanya. Itulah sebabnya berhati-hatilah kita menjaga ke lurusan
niat, agar ibadah/amal kita mendapat apresiasi, kerdehaan Allah. Sedangkan makmum juga, luruskan niat ikut
berjamaah, bukan lantaran imam yang memimpin shalatnya merdu suaranya, bagus
bacaannya tapi niatkanlah hanya karena Allah.
3.
Menjadi pengajar tetap di masjid; Juga bila si
ustadz pengajar tetap itu selalu mengungkapkan bahwa, si ustadz lain kurang
benar memberikan pelajaran, dengan konotasi merendahkan, bukan memberi
informasi bagaimana sebenarnya. Disini nampak bahwa ingin mengkondisikan kepada
jamaah bahwa dirinya paling benar. Ini juga membuat terkembarnya niat ketika
berangkat menuju majelis jamaah, niat sudah tidak semata-mata karena Allah
lagi, sudah masuk niat lain. Sudah masuk ingin dihargakan sebagai ustadz top,
sudah terkontaminiasi keinginan untuk merendahkan ustadz lain. Sudah ada niatan
agar jamaah lebih banyak menyukainya. Bagi para jamaah juga, bila datang ke
masjid lantaran ingin jumpa, ingin mendengar ustadz paporit, bukan karena
Allah, maka niat inipun sudah tidak lurus lagi.
Seorang
yang keluar dari rumahnya untuk ibadah dengan niat yang lurus hanya karena
Allah, sejak dari depan pintu sudah diiringkan malaikat untuk memohonkan
ampunan bagi yang bersangkutan. Orang tersebut dalam perjalan pergi dan pulang
dalam curahan rahmat Allah dan sukses mendapatkan apresiasi dari Allah atas
amal kebaikannya atas ibadahnya tersebut. Sebaliknya bila niatnya, bukan karena
Allah atau sudah tercampur, maka keberangkatannya diiringi oleh syaitan dalam
perjalanan pulang dan pergi jauh dari rahmat Allah, sedangkan yang
didapatkannya sebatas apa yang diharapkannya selain Allah tersebut.
Inilah
makanya nabi memberitahukan untuk beramal, “Innamal a’malu binniyat, wa innamaa
likulimri in maa nawa” (“Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang
hanya mendapatkan sesuai niatnya”)
Berat
memang, meluruskan niat untuk beribadah ini, kadang bila seseorang mengucapkan
“saya lakukan ini ikhlas karena Allah”, justru inipun pertanda ada kerusakan
pada naitnya, ucapan ini juga justru sebagai tanda tidak ikhlas. Paling tidak
dengan ucapan itu, si penutur ingin diketahui pendengarnya bahwa dirinya
melakukan ibadah tersebut karena Allah. Niat ini bisa terkabul bisa tidak. Terkabul,
orang yang mendengar yakin se yakin-yakinnya bahwa si yang beramal itu
benar-benar ikhlas. Dapat juga tidak, setelah selesai acara beramal, penyerahan
sumbangan itu misalnya, orang dibelakangnya bergumam, mencibir tidak percaya
akan keihlasan si penyumbang. Sementara dari sisi Allah, wallahu a’lam
bishawab.
No comments:
Post a Comment