Wednesday 14 December 2016

Sanksi TAK TAWAR karena KEKERABATAN



Perang Badar adalah perang yang pertama dalam menegakkan Islam yang ketika itu baru mulai tumbuh. Perang diakhiri dengan kemenangan ummat Islam, dengan terbunuhnya 70 penentang Islam dan 70 orang tertawan. Keputusan yang diambil bagi tawanan, telah kutulis di blog dalam judul “Logika dan Wahyu”, tgl 26-09-2016.
Beberapa cerita mengharukan pada peristiwa itu diantaranya seperti ditulis Prof Dr. Hamka dalam tafsir Al-Azhar Juzu’ 10 ketika menafsirkan surat Al-Anfal 67-75,  dapat disarikan peristiwa mengharukan tersebut sebagai berikut:
Pertama;  Abbas paman baginda Nabi Muhammad, termasuk tawanan. Untuk pembebasan dirinya Abbas harus menebus dengan membayar 100 uqiyah emas, sedang tawanan lainnya ditetapkan 40 uqiyah emas. Selain itu si paman nabi itu diwajibkan lagi membayar tebusan kemenakannya Aqil dan Naufal, serta sahabat akrabnya Utbah bin Rabi’ah. Dalam dialog dengan Rasulullah yang nota bene adalah kemenakannya itu; Abbas mengatakan: bahwa persediaan uangnya sudah habis. Dengan senyum Rasulullah bertanya: “Bukankah ada lagi uang paman, yaitu yang paman tanamkan di bawah tanah bersama Ummul Fadhal (nama isteri beliau=Abbas). Bukankah paman berkata kepada  tante  waktu itu: ”Kalau aku ditimpa celaka dalam perang itu, maka uang yang aku sembunyikan ini untuk anakku”. Dia menjawab dengan penuh keharuan dan tercengang: “Demi Allah, ya Rasul Allah! Tidak seorang jua yang mengetahui rahasia itu selain aku dan dia”.
Akan hal paman nabi Muhammad yang satu ini, Abbas, sebenarnya sangat bersimpati terhadap perjuangan Islam, beliau ini bahkan ikut hadir seketika “bai’at Aqabah”, tatkala kaum Anshar membuat janji setia kepada Rasulullah. Sampai Rasulullah hijrah ke Madinah pertemuan ini tetap dirahasiakannya. Beliau belum menyatakan ke Islaman-nya, lantaran menjaga kedudukan keluarga dan menjaga hubungan dengan pembesar-pembesar Quraisy. Rasulullah hijrah, Abbas tetap di Mekkah, ketika perang Badar beliau dipaksa ikut dan rupanya tertawan.
Kedua; Salah seorang tawanan bernama Abul ‘Ash, adalah suami dari putri nabi Muhammad, bernama Zainab, jadi tawanan ini adalah anak mantu beliau sendiri. Akan tetapi hukuman tidak dibedakan dengan tawanan lain, juga harus menebus diri. Putri beliau  yang waktu itu masih tinggal di Makkah, untuk memenuhi tebusan itu mengirimkan emas untuk suaminya, berupa seuntai kalung. Kalung tersebut adalah kalung pusaka dari ibundanya Siti Khadijah (isteri Rasulullah) orang pertama yang sangat berjasa dalam pengembangan Islam.  Walaupun akhirnya, setelah Rasulullah memusyawarahkannya dengan para sahabat, kalung bersejarah itu dikembalikan ke pemiliknya. Atas Izin Allah setelah kembali ke Makkah si mantu tak lama kemudian datang ke Madinah bersama isterinya langsung memeluk Islam.
Kejadian-demi kejadian dan peristiwa demi peristiwa yang terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia ini, demikianpun sejarah perkembangan Islam tidak lah sia-sia. Peristiwa/kejadian apapun hanya terjadi dengan izin Allah. Kejadian tersebut bermakna untuk kehidupan selanjutnya. Sebab Allah memberitahukan kepada kita di dalam firman-Nya; lihat surat Ali Imran ayat 191
“Rabbana maa khalaqta hadza batila” (“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia”)
Sahabat nabi sekaligus pemuda pertama yang masuk Islam, sebagai khalifah ke empat pengganti Rasul, memberikan teladan tentang ketundukan kepada hukum, pernah pula kutulis di blog dengan judul “Hidayah 212” tentang ketundukkan seorang khalifah yang sedang berkuasa terhadap putusan pengadilan yang mengalahkannya dalam suatu sengketa dengan seorang warga rakyat biasa yang kebetulan berlainan agama. Walau sebenarnya barang yang disengketakan benar-benar miliknya, tetapi proses pengadilan memutuskan lain. Walaupun mungkin bagi dirinya putusan itu tidak mencerminkan keadilan, karena yakin se yakin-yakinnya bahwa barang sengketa itu miliknya, tetapi karena keputusan diambil pemutus perkara sesuai dengan prosedur peradilan yang berlaku, maka sang khalifah menerima keputusan itu. Justru ketundukan kepada putusan inilah membuktikan kebesaran Islam. Dan karena kemuliaan si khalifah yang dijiwai semangat Islam didirinya ini pula membuat orang yang berlainan agama itu mendapat hidayah dan memeluk agama si lawan perkara.
Berbahagialah kita semua, bahwa Allah telah memberikan panduan kepada kita di dalam hidup ini, dalam segala masalah kehidupan di dunia ini, tentulah maksud Allah agar kita selamat di kehidupan dunia yang merupakan jalan menuju akhirat yang bahagia.
Dari peristiwa yang coba kita nukilkan di atas dapat kiranya diambil I’tibar:
1.       Bahwa dalam hal penegakan ketentuan yang telah diberlakukan; kekerabatan, kekeluargaan tidak dapat menjadi alasan untuk menjadikan TAWAR sanksi yang harus dijatuhkan. Kurang apa lagi hubungan kekerabatan Nabi Muhammad dengan “Abbas” dengan “Aqil” dan “Naufal”.  Bahkan Abbas sangat bersimpati terhadap Islam. Mereka ada hubungan darah, bukan sekedar saudara yang dibuat karena sumpah atau perjanjian. Kurang apa lagi hubungan pertalian keluarga Nabi Muhammad dengan “Abul Ash” suami anaknya, jadi adalah menantunya. Sekali lagi, sanksi telah diputuskan, sanksi itu tidak menjadi TAWAR karena pertalian darah dan kekerabatan.
2.       Jika sudah dilaksanakan suatu keputusan, dimana keputusan diambil telah sesuai dengan prosedur dan norma yang telah diterima, telah sesuai aturan main yang telah disepakati, maka semua pihak harus tunduk dengan keputusan itu, walau mungkin tersisa perasaan bahwa putusan itu tidak mencerminkan keadilan. Patut dicermati serta diteladani, teladan dari Ali bin Abi Thalib.  Biarlah nanti Allah yang akan menunjukkan kebenaran itu; insya Allah kebenaran itu akan ditampakkan Allah di dunia ini juga, diperlihatkan cepat atau lambat. Apalagi di akhirat nanti, suatu mahkamah yang bukan saja hanya dapat membaca “niat” dan “detak hati” tetapi semua anggota tubuh, tangan dan kaki akan angkat bicara menjadi saksi.
Wallahu a’lam bishawab. Barakallu fikum.

No comments:

Post a Comment