Perang
Badar adalah perang yang pertama dalam menegakkan Islam yang ketika itu baru
mulai tumbuh. Perang diakhiri dengan kemenangan ummat Islam, dengan terbunuhnya
70 penentang Islam dan 70 orang tertawan. Keputusan yang diambil bagi tawanan,
telah kutulis di blog dalam judul “Logika dan Wahyu”, tgl 26-09-2016.
Beberapa
cerita mengharukan pada peristiwa itu diantaranya seperti ditulis Prof Dr.
Hamka dalam tafsir Al-Azhar Juzu’ 10 ketika menafsirkan surat Al-Anfal 67-75, dapat disarikan peristiwa mengharukan
tersebut sebagai berikut:
Pertama; Abbas paman baginda Nabi Muhammad, termasuk
tawanan. Untuk pembebasan dirinya Abbas harus menebus dengan membayar 100
uqiyah emas, sedang tawanan lainnya ditetapkan 40 uqiyah emas. Selain itu si
paman nabi itu diwajibkan lagi membayar tebusan kemenakannya Aqil dan Naufal,
serta sahabat akrabnya Utbah bin Rabi’ah. Dalam dialog dengan Rasulullah yang
nota bene adalah kemenakannya itu; Abbas mengatakan: bahwa persediaan uangnya
sudah habis. Dengan senyum Rasulullah bertanya: “Bukankah ada lagi uang paman,
yaitu yang paman tanamkan di bawah tanah bersama Ummul Fadhal (nama isteri
beliau=Abbas). Bukankah paman berkata kepada
tante waktu itu: ”Kalau aku
ditimpa celaka dalam perang itu, maka uang yang aku sembunyikan ini untuk
anakku”. Dia menjawab dengan penuh keharuan dan tercengang: “Demi Allah, ya
Rasul Allah! Tidak seorang jua yang mengetahui rahasia itu selain aku dan dia”.
Akan
hal paman nabi Muhammad yang satu ini, Abbas, sebenarnya sangat bersimpati
terhadap perjuangan Islam, beliau ini bahkan ikut hadir seketika “bai’at
Aqabah”, tatkala kaum Anshar membuat janji setia kepada Rasulullah. Sampai
Rasulullah hijrah ke Madinah pertemuan ini tetap dirahasiakannya. Beliau belum
menyatakan ke Islaman-nya, lantaran menjaga kedudukan keluarga dan menjaga
hubungan dengan pembesar-pembesar Quraisy. Rasulullah hijrah, Abbas tetap di
Mekkah, ketika perang Badar beliau dipaksa ikut dan rupanya tertawan.
Kedua;
Salah seorang tawanan bernama Abul ‘Ash, adalah suami dari putri nabi Muhammad,
bernama Zainab, jadi tawanan ini adalah anak mantu beliau sendiri. Akan tetapi
hukuman tidak dibedakan dengan tawanan lain, juga harus menebus diri. Putri
beliau yang waktu itu masih tinggal di
Makkah, untuk memenuhi tebusan itu mengirimkan emas untuk suaminya, berupa
seuntai kalung. Kalung tersebut adalah kalung pusaka dari ibundanya Siti
Khadijah (isteri Rasulullah) orang pertama yang sangat berjasa dalam
pengembangan Islam. Walaupun akhirnya,
setelah Rasulullah memusyawarahkannya dengan para sahabat, kalung bersejarah
itu dikembalikan ke pemiliknya. Atas Izin Allah setelah kembali ke Makkah si mantu
tak lama kemudian datang ke Madinah bersama isterinya langsung memeluk Islam.
Kejadian-demi
kejadian dan peristiwa demi peristiwa yang terjadi sepanjang sejarah kehidupan
manusia ini, demikianpun sejarah perkembangan Islam tidak lah sia-sia. Peristiwa/kejadian
apapun hanya terjadi dengan izin Allah. Kejadian tersebut bermakna untuk
kehidupan selanjutnya. Sebab Allah memberitahukan kepada kita di dalam
firman-Nya; lihat surat Ali Imran ayat 191
“Rabbana
maa khalaqta hadza batila” (“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia”)
Sahabat
nabi sekaligus pemuda pertama yang masuk Islam, sebagai khalifah ke empat
pengganti Rasul, memberikan teladan tentang ketundukan kepada hukum, pernah
pula kutulis di blog dengan judul “Hidayah 212” tentang ketundukkan seorang khalifah
yang sedang berkuasa terhadap putusan pengadilan yang mengalahkannya dalam suatu
sengketa dengan seorang warga rakyat biasa yang kebetulan berlainan agama.
Walau sebenarnya barang yang disengketakan benar-benar miliknya, tetapi proses
pengadilan memutuskan lain. Walaupun mungkin bagi dirinya putusan itu tidak
mencerminkan keadilan, karena yakin se yakin-yakinnya bahwa barang sengketa itu
miliknya, tetapi karena keputusan diambil pemutus perkara sesuai dengan
prosedur peradilan yang berlaku, maka sang khalifah menerima keputusan itu.
Justru ketundukan kepada putusan inilah membuktikan kebesaran Islam. Dan karena
kemuliaan si khalifah yang dijiwai semangat Islam didirinya ini pula membuat
orang yang berlainan agama itu mendapat hidayah dan memeluk agama si lawan perkara.
Berbahagialah
kita semua, bahwa Allah telah memberikan panduan kepada kita di dalam hidup
ini, dalam segala masalah kehidupan di dunia ini, tentulah maksud Allah agar
kita selamat di kehidupan dunia yang merupakan jalan menuju akhirat yang
bahagia.
Dari
peristiwa yang coba kita nukilkan di atas dapat kiranya diambil I’tibar:
1.
Bahwa dalam hal penegakan ketentuan yang telah
diberlakukan; kekerabatan, kekeluargaan tidak dapat menjadi alasan untuk
menjadikan TAWAR sanksi yang harus dijatuhkan. Kurang apa lagi hubungan
kekerabatan Nabi Muhammad dengan “Abbas” dengan “Aqil” dan “Naufal”. Bahkan Abbas sangat bersimpati terhadap Islam.
Mereka ada hubungan darah, bukan sekedar saudara yang dibuat karena sumpah atau
perjanjian. Kurang apa lagi hubungan pertalian keluarga Nabi Muhammad dengan
“Abul Ash” suami anaknya, jadi adalah menantunya. Sekali lagi, sanksi telah
diputuskan, sanksi itu tidak menjadi TAWAR karena pertalian darah dan
kekerabatan.
2.
Jika sudah dilaksanakan suatu keputusan, dimana
keputusan diambil telah sesuai dengan prosedur dan norma yang telah diterima, telah
sesuai aturan main yang telah disepakati, maka semua pihak harus tunduk dengan
keputusan itu, walau mungkin tersisa perasaan bahwa putusan itu tidak
mencerminkan keadilan. Patut dicermati serta diteladani, teladan dari Ali bin
Abi Thalib. Biarlah nanti Allah yang
akan menunjukkan kebenaran itu; insya Allah kebenaran itu akan ditampakkan
Allah di dunia ini juga, diperlihatkan cepat atau lambat. Apalagi di akhirat
nanti, suatu mahkamah yang bukan saja hanya dapat membaca “niat” dan “detak
hati” tetapi semua anggota tubuh, tangan dan kaki akan angkat bicara menjadi
saksi.
Wallahu
a’lam bishawab. Barakallu fikum.
No comments:
Post a Comment