Tuesday 16 September 2014

DIWAKILKAN ATAU DILAKONI



Menyoal judul di atas,  kini agaknya jadi perdebatan ramai. Soal memilih apakah bagus diwakilkan atau dipilih sendiri-sendiri. Kalau diwakilkan persoalannya teknisnya jadi mudah memang, sebab sekian puluh orang, sekian ratus orang atau sekian ribu orang cukup diwakilkan ke satu orang. Peduli amat orang yang diwakili sependapat atau tidak, yang penting si wakil mengatas namakan yang diwakili sudah beres. Tempat pemilihan tak perlu ramai orang, cukup para wakil saja berkumpul. Ibarat kata, nyediain minuman cukup beberapa karton aqua cup saja. Beda kalau semua orang yang diwakili harus milih sendiri, tentu jadi ramai sekali. Kalaupun misalnya, umpamanya masih perlu, lagi musim, harus negosiasi atau harus mengatur dan diatur, tidak banyak mata yang harus ditatap.
Persoalan yang juga harus dipersoalkan yang harus dipilih untuk diwakilkan itu apa, sebab sepertinya tidak semua soal dapat diwakilkan ke orang lain. Tapi kitapun harus paham juga masalah-masalah apa menurut ketentuannya dapat diwakilkan kepada orang lain. Contoh ekstrim NIKAH, dapat diwakilkan ke orang lain, tapi KAWIN tak ada orang mau mewakilkannya ke orang lain.
Saya jadi teringat dengan kejadian di tahun 1991, ketika rombongan kami dari daerah, mendekati hari keberangkatan menunaikan ibadah haji. Ada seorang lelaki muda datang ke panitia keberangkatan, untuk menerima segala koper dan perlengkapan haji yang akan berangkat kloter 31 dari Halim PK. Kurang lebih seminggu lagi mendatang. Kami dari daerah, waktu itu kumpul di Pondok Gede Jakarta. Panitia daerah, sekalian melakukan penyuntikan MENINGITIS, mumpung semua calon jamaah kumpul. Satu persatu calon jemaah antri menyodorkan lengannya. Petugas kesehatan, menanyakan pertanyaan standar “apakah sudah pernah disuntik Meningitis, Siapa nama, umur berapa” sambil melihat kepada foto diri orang yang akan disuntik pada kartu.
Salah seorang yang sudah siap menggulung lengan bajunya, untuk disuntik, ketika ditanya oleh petugas;  namanya beda, dengan nama di kartu, begitu pula foto dan usianya. Petugas menanyakan lebih lanjut, “anda ini siapa” dijawab pemuda tadi “SAYA INI WAKILNYA”. Hampir saja jarum suntik menancap di lengan pemuda itu, bahkan sudah digosok dengan kapas beralkohol, untung dengan pertanyaan singkat tadi, segera penyuntik menghentikan kegiatannya. “Soal suntikan ini ndak dapat diwakilkan pak” kata petugas. Sementara yang bersangkutan masih tetap bersikeras, “koper dan kain ihram dapat diambil saya sebagai wakil, masakkan suntikan ndak dapat diwakilkan”.
Mari kita timbang bahwa soal yang lagi hangat sekarang apakah sesuatu yang memang dapat diwakilkan atau hak dasar setiap orang yang tak mungkin diwakilkan. Itu terpulang kepada kearifan berpikir kita sebagai individu, sebagai masyarakat dan sebagai bangsa. Argumentasi dapat dibangun sesuai dengan siapa yang membuat argumentasi itu, disini kebenaran sedang diuji apakah kebenaran memihak kepada KEMASLAHATAN, atau kebenaran memihak kepada KEMUSLIHATAN. “Maslahat” dan “muslihat” hanya dibedakan huruf kedua dari depan dan keempat  dari belakang, tapi bedanya sangat berseberangan dan takkan pernah berjumpa. Kemampuan kita untuk memandang kedua pengertian tersebut, selanjutnya kemana harus diarahkan. Kita tetap percaya bahwa semua pihak berniat baik, bertujuan baik, untuk kemaslahatan setelah menimbang manfaat dan mudharat.
Kepentingan orang banyak, hampir tidak mungkin memang, untuk diseragamkan, mesti terjadi kelompok-kelompok yang berbeda. Di dalam konsep demokrasi suara terbanyak adalah kebenaran, walaupun sebenarnya belum tentu benar. Dalam demokrasi bila berkumpul 100 orang, 50% lebih berpendapat sesuatu yang mestinya berwarna merah, dikatakan putih, walaupun sesungguhnya warna benda itu merah ya akan diputus putih, karena putih itu adalah pendapat suara terbanyak, suara terbanyak dianggap kebenaran.
Apakah keputusan terbanyak dari kita saat ini akan menuju kemaslahatan atau penuh dengan kemuslihatan. Waktu yang akan membuktikannya kelak dikemudian hari. Sebagai bangsa kita setiap warga negara berhak menentukan nasib bangsa ini kedepan, siapa yang akan memimpin kita, bagaimana cara kita menentukan untuk memilih pemimpin kita.
Masalahnya nampaknya bertumpu pada bagaimana cara memilih. Selanjutnya untuk menentukan bagaimana cara memilih tersebut kini tidak diserahkan kepada seluruh rakyat, tetapi kepada sekelompok wakil rakyat. Mungkin hasilnya akan menjadi lebih mantap kalau untuk menentukan “bagaimana cara memilih” ini diadakan “PEMILULIH” ini mungkin singkatan yang tepat untuk “Pemilihan Umum Cara Memilih”. Mungkin ada komentar; “nanti biayanya mahal lagi”. Kita usulkan ndak usah pakai biaya yang tinggi, buat pakai angket melalui Rukun Tetangga, kan blankonya  cuma dua pilihan yaitu “Langsung”, “Tidak langsung”.  Untuk lebih kontras beda pilihan pertama dan kedua, dapat juga dikreasikan pilihan angket  “Diwakilkan”,  “Dilakoni”, kalau perlu biar lebih yakin pakai nama jelas, tanda tangan dan nonor NIK. Waktunya diprogramkan serentak seluruh Nusantara.

No comments:

Post a Comment