Friday 4 November 2011

GARA-GARA SEEKOR TIKUS

Setiap anak manusia normal, tentu mempunyai cita-cita untuk suskes dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Indikator sukses, berbeda-beda di setiap komunitas masyarakat. Salah satu komunitas masyarakat ukuran sukses itu apabila berhasil menduduki jabatan tinggi, seperti pemimpin. Untuk meraih cita-cita menjadi pemimpin belakangan ini kadang orang menghalalkan segala cara. Konon dihebohkan setiap PILKADA ada saja soal yang tidak jujur dilakukan orang.

Alkisah tersebutlah seorang pemimpin dalam sebuah kapal yang lazim disebut “Kapten”, di terima di maskapai pelayaran. Sebagai orang nomor satu di dalam kapal, tentu ketika pertama kali masuk kapal, disambut dengan upacara yang khidmad, dikenalkan kepada seluruh kru kapal yang akan dipimpinnya.

Sebagai kapten kapal, tentu selama dalam pelayaran tidak langsung memegang kemudi kapal. Pekerjaan mengemudi akan dilakukan oleh para pembantunya yaitu para mualim dan juru mudi. Cuma dalam manajemen maskapai pelayaran, seorang kapten tidaklah punya hak prerogatif untuk memilih para pembantunya. Pembantu ditentukan oleh maskapai pelayaran.

Pelayaran perdana kapten yang baru masuk ini, adalah rute antar pulau dengan jarak tempuh selama kurang lebih 40 jam. Prosedur di dalam perjalanan laut, setiap beberapa jam sekali pemegang kemudi dalam keadaan cuaca yang normal sekalipun, melaporkan kecepatan kapal, arah angin dan arah haluan kapal kepada kapten. Laporan pertama Mualim “kita sudah berlayar sekian jam Kep dengan kecepatan sekian knot. Kecepatan angin sekian knot, arah haluan sekian derajat ke (menyebutkan mata angin). Mohon arahan selanjutnya”. Menanggapi laporan pertama ini sang Kapten malah balik bertanya kepada pelapor: “Biasanya kau lakukan bagaimana”. Dengan penuh hormat Mualim melaporkan secara rinci. “Udah kalau begitu, biasa saja saya tidak ingin mengubah yang sudah-sudah”, demikian jawab Kapten sambil menutup kembali pintu kamarnya yang letaknya disamping ruang kemudi.

Beruntung pelayaran itu diliputi oleh cuaca baik, ombak sedang tidak ada pengaruhnya buat kapal yang dinahkodai Kapten baru tersebut. Sekali lagi demi prosedur, Mualim selang beberapa jam kemudian mengetuk pintu kamar sang Kapten melaporkan: arah haluan kapal, kecepatan kapal, kecepatan angin dan arah arus laut, dan waktu tempuh sudah dijalani. Kembali pertanyaan yang sama oleh Kapten sambil sedikit mengeluarkan kepala dari pintu kamar. Dengan cekatan si Mualim menjawab: biasanya begini dan begitu yaitu: kecepatan kapal sekian knot, arah kapal ke (menyebutkan mata angin) selama sekian jam. Ya baik, laksanakan seperti itu, jangan diubah-ubah dulu cara yang biasa. Singkatnya setelah kali yang ketiga setiap laporan mendapat jawaban yang sama, timbul kecurigaan para Mualim. “Jangan-jangan Kapten kita ini nggak ngerti apa-apa, jawabnya setiap dilapori itu-itu saja (laksanakan seperti biasa saja). Bagaimana kalau kita kerjain ni Kapten, ide salah seorang Mualim”.

Setelah saling pandang beberapa saat, Mualim dan juru mudi yang sedang piket, mereka agaknya setuju ngerjain Kapten. Scenorionya arah kapal dilencengkan beberapa derajat dari arah yang semestinya. Dengan demikian kapal nantinya tidak akan sampai di kota tujuan. “Nanti setelah terjadi masalah, mendekati kota tujuan kita laporkan kembali kepada Kapten, bagaimana tindakan yang akan dilakukannya mengoreksi kesalahan tersebut”. Begitu agaknya kesepakatan untuk menguji kemampuan sang Kapten.

Perlengkapan standar orang nomor satu di atas kapal, tersedia tempat tidur di kamar ber AC dilengkapi dengan meja kerja. Seperti disinggung di atas bahwa kamar beliau persis dekat ruangan kemudi. Di kamar tersedia lemari pendingin dilengkapi dengan minuman kaleng dan makanan ringan antara lain roti. Si Kapten beberapa saat yang lalu menyantap roti di meja kerjanya, masih tersisa sebagian roti di dalam piring.

Tiba-tiba.......... seekor tikus menghampiri piring roti, beberapa centi meter lagi nyampai ke piring, sementara si Kapten sedang tiduran di atas tempat tidurnya miring kearah meja kerjanya. Kontan saja ia melompat dan berteriak: “Jangan main-main dengan saya, kamu kira saya tidur ya”, hardik si Kapten kepada tikus. Kontan tikus langsung lari terbirit-birit dan terdengar suara si Kapten memukul-mukul meja, sambil menguntit kemana arah larinya si tikus.

Saking kerasnya gebrakan dan suara jeritan si Kapten, terdengar sampai keluar kamar, tiada lain ruangan kemudi di mana para Mualim dan juru mudi piket sedang bertugas. Mendengar jeritan suara Kapten, secara reflek juru mudi mengarahkan arah kapal kembali ke posisi semula, karena yakinlah mereka bahwa Kapten mengetahui bahwa mereka akan mempermainkannya, apalagi jelas benar suara Kapten “kamu kira saya tidur ya’. Mulai detik itu anak buahnya yang berkenaan dengan arah pelayaran tidak lagi memikirkan ingin mencoba kemampuan sang Kapten. Walau laporan berikutnya juga diiringi jawaban Kapten atas setiap laporan “Laksanakan sebagaimana biasanya saja”. Kapal akhirnya sampai dengan selamat ke pelabuhan tujuan. Walaupun sebenarnya dipimpin seorang Kapten kapal yang berijazah tanpa mengikuti pendidikan profesi sebagai nahkoda atau dikenal sekarang “ijazah aspal”. Secara formal yang bersangkutan punya legalitas, tetapi legalitas saja untuk profesi pemimpin kapal tidak cukup, harus benar-benar punya kemampuan praktis.

Dari cerita yang belum tentu benar terjadi tersebut, dapat dipetik pelajaran antara lain bahwa:

1. Menjadi pemimpin itu ternyata tidak juga terlalu sulit, yang penting punya anak buah/ pembantu/petugas pelaksana yang piawai yang dapat bekerja sesuai tugasnya.

2. Kadang nasib juga menentukan sukses tidaknya seorang pemimpin, kebetulan pelayaran itu di cuaca yang baik, laut bersahabat, tidak ada masalah dalam perjalanan, sehingga Nahkoda bermodal “laksanakan sebagaimana biasa saja” juga sampai di pelabuhan tujuan. Selain itu coba kalau tidak kebetulan ada penumpang yang namanya “Tikus” yang mencoba mendekati roti. Tak tau kemana sampainya kapal. Padahal kegagalan kapal sampai ke tujuan yang bertanggung jawab penuh adalah Kapten.

3. Jadi anak buah harus paham bahwa pemimpin itu belum tentu pintar, tetapi bagaimana jua ia adalah pemimpin, harus tetap dianggap lebih mengetahui, makanya tetap dilapori.

No comments:

Post a Comment