Monday 28 November 2011

UKURAN KEREN DARI ZAMAN KE ZAMAN

Tempo doeloe waktu diri ini masih kecil, sering ikut ayah ke pedalaman ketika beliau turney menjalankan tugas sebagai “juru penerangan”. Di laman Dayak (laman =kampung = Desa), masih banyak nenek-nenek yang telinganya panjang sampai se siku. Rupanya untuk mendesain telinga seperti itu, ujung bawah telinga dilobangi diberi bandul, dengan beban berat secara berangsur-angsur. Perlakuan tersebut dimulai sejak dini, masih anak-anak, agar kelak si anak tumbuh menjadi gadis yang bertelinga panjang. Motif nenek-nenek itu membuat telinganya jadi panjang, karena ketika masih remaja, pada zamannya seorang wanita dinilai cantik, bilamana telinganya panjang.

Waktu kecilku ibuku sering berdongeng mengantar tidur buat anak-anaknya, maklum waktu itu belum ada TV. Tokoh dongeng cantik; apabila si gadis tinggi semampai mempunyai kulit mulus warna kuning langsat, pipi pauh dilayang, bibir bak delima merkah, rambut panjang terurai sehingga betis, leher jenjang (maksudnya panjang) bagaikan angsa. Kayak-kayaknya gadis seperti dongeng itu sekarang bukan mode lagi. Tapi itulah ukuran keren pada zamannya. Kulit si masih OK, tapi kalau pipi pauh dilayang (tepung dijemur di atas nyiru) sekarang sudah tidak cantik lagi. Bila si gadis punya bibir seperti delima merkah, kita jadi ngeri, delima merkah bergerigi, Rambut yang panjang sampai betis juga dipandang sudah tidak indah lagi, bahkan akan merepotkan. Apalagi leher kalau panjang, di zaman sekarang mungkin menakutkan.

Di bawah tahun enampuluh limaan, ukuran keren buat siswa esempe bila kerah baju diberdirikan, kancing baju dibuka dua atau tiga dari atas, ujung baju di ikat. Bukan main gayanya kalau sudah begitu jalannyapun digagah-gagahkan. Itu ukuran keren zaman itu. Sementara pemudanya sebaya SMA kala itu, pakai celana panjang ujung kakinya lebar sekali bisa dimasuki sekitar empat ekor anak kucing. Sekali lagi itulah ukuran keren di zaman itu.

Sejurus belakangan ini ada ukuran keren pemuda, kalau pakai anting dua buah di salah satu telinga. Itu anak laki-laki lho, lubang telinganya ada di satu daun telinga. Pernah kutanyakan motif yang bersangkutan memakai anting-anting berbentuk melingkar seperti cincin itu. Mereka tidak dapat menjelaskan dengan tepat dan konkrit, “pokoknya lagi mode aja om” kata mereka.

Berbeda dengan Kaie saya di pedalaman, ketika saya tanyakan: “Kenapa kaie selalu memakai cincin emas” beliau dapat memberikan alasan yang sungguh masuk di akal saya. “Kaie” adalah panggilan untuk orang tua lelaki dari ayah termasuk yang setara dengan orang tua ayah semisal saudara dan saudara sepupu ortu ayah. Kalau orang tua perempuan atau setara dengan orang tua perempuan ayah seperti saudara-saudara, saudara sepupu ortu ayah yang perempuan dipanggil “Nyaie”. Panggilan begini digunakan oleh kalangan masyarakat “dulunya merasa berdarah biru”.

Si Kaie tinggal di pedalaman, dulu sebelum lancar transportasi untuk mencapai kota kabupaten dari kampung Kaie waktu tempuh sekurangnya dua malam dengan perahu. Sekarang dengan telah dibuka jalan darat dapat ditempuh sehari perjalanan. Sudah terbiasa kalau bepergian ke kota kabupaten menginap dirumah famili. Itulah alasan si Kaie kenapa terpasang cincin emas di jarinya. “Jika Kaie abis umur tiba-tiba, maklum ayah mpu (kamu) tempat ku menginap belum tentu selalu ada sedia duit. Cincin Kaie kan dapat dijual sekurangnya buat beli kafan”. Itu alasan si Kaie. Alasan itu kucoba hubungkan dengan pemuda yang kutanya memakai anting di telinganya, apakah ada kaitan, apakah jika kebetulan kehabisan bensin motor dalam perjalanan dan kebetulan di dompet ndak ada duit dapat dijadikan tanggungan ke penjual bensin. Ternyata pemuda yang kutanya menjawab: “nggak bisa om, karena ini kalau dijual nggak ada harganya bukan dari emas”. Pikirku kalau begitu lebih realistis dan logis Kaie yang sudah “ashar” itu dari pada si pemuda yang masih “fajar”.

No comments:

Post a Comment