Wednesday 9 November 2011

POHON PISANG SEAKARNYA DATANG MALAM ITU

Soal suap menyuap, bangsa kita ini boleh dibilang adalah ahlinya, sebab rupanya telah terlatih sejak masih balita. Setelah mulai pisah susu, atau tidak nyusu lagi dari ibu, si bayi mulai diberikan makanan agak keras. Di periode itu balita mulai disuap oleh ibunya, kadang oleh orang lain selain ibunya, pengasuh misalnya. Jadi agaknya tidak perlu terlalu heran kalau bangsa ini sering menyelesaikan suatu persoalan dengan mengandalkan “suap”. Mulai dari pengurusan identitas lahir, identitas kependudukan, legalitas usaha, kadang masuk ke masalah pendidikan dan dunia kerja. Mau menikah, kalau secara tertulisnya biayanya walah, hanya sedikit. Kenyataannya jika hanya bayar biaya sesuai tertulis, mungkin penghulu datang juga tapi molor-molor padahal keluarga mempelai sangat perlu kesaksian dan mengurus buku nikah. Terakhir sampai hidup ini berakhir, di kota besar kadang harus dengan suap untuk mendapat tempat strategis di peristirahatan terakhir 1 x 2 m itu. Memilukan memang, tapi apa mau dikata, sekarang orang tidak malu lagi minta disuap. Tidak malu-malu lagi nentukan tarif. Kalau kita tegas-tegas nolak memberi suap dalam berurusan, bukannya tidak bisa, tapi justru kita dianggap ndak normal. Dilayani juga tapi dengan cara tidak normal. Letak masalahnya rupanya tidak ada kekompakan nasional menolak suap. Coba kalau seluruh individu bangsa ini tidak mau memberikan suap dalam mengurus segala urusan, pihak yang mengurus tak punya pilihan harus juga tetap melayani.

Adalah seorang pemuda yang mencoba mengamalkan teknik suap ini, pada suatu persoalan ketika yang bersangkutan cintanya tak mendapat sambutan dari seorang gadis. Kurang apa pemuda tersebut, wajah juga termasuk “berupa”, penampilan juga atletis termasuk idola masa kini. Tapi memang masalah hati tempo-tempo ndak dapat dibeli. Memang sedikit aneh kalau sudah masuk ke wilayah suka tak suka ini, sekali waktu pemuda suka kepada seorang gadis, si gadis pula yang tak suka, sebaliknya banyak gadis yang suka dengan seseorang pemuda dicuekkannya katanya bukan typenya.

Begitu tertariknya si pemuda kepada gadis idaman itu, kebetulan tu gadis blasteran, yaitu ibu pribumi ayah bule. Cantik memang untuk kebanyakan orang, utamanya untuk si pemuda yang diceritakan ini. Teman sebaya sering pula menyindir dengan pantun:

Padi dilesung ditumbuk alu

Mesti ditampi hilangkan dedak

Jadi pemuda berpantang malu

Cinta ditampik dukun bertindak

Al hasil, teman-teman juga bukan hanya asal ngejek, tetapi juga ikut prihatin dan ikut carikan jalan ikhtiar, diantaranya mereferensi seorang dukun yang manjur untuk melunakkan hati gadis pujaan. Singkat cerita dukunpun dihadap untuk mencari jalan keluar. “Oh itu masalah kecil asal adik dapat memenuhi syaratnya”, kata sang dukun. Setelah disebutkan serangkaian syaratnya, hampir semua termasuk mudah untuk memenuhinya cuma satu syarat yang kecil tapi termasuk sulit. Syarat itu ialah si dukun minta sehelai aja rambut si gadis.

Berbilang hari diusahakan memenuhi syarat itu, yang usaha bukan saja pemuda yang bekehendak, tetapi juga dibantu rekan akrab si pemuda. Motivasi mereka bukan saja solider, tetapi juga ingin tau sampai seberapa ampuh dukun sakti ini. Benarkah kalau sudah semua syarat dipenuhi termasuk mendapatkan rambut si gadis pirang itu, benar-benar si gadis bertekuk lutut kepada si pemuda yang sedang mabuk cinta itu. Karena sudah jalan buntu untuk mendapatkan rambut si gadis, kembali pemuda tadi kepada jalan keluar yang sering ditempuh bangsa ini untuk memuluskan jalan setiap persoalan, yaitu dengan “suap”. Siapa yang disuap juga sudah masuk dalam angan si pemuda, yaitu mbok pembantu si gadis.

Pendekatan kepada si pembantu, mulai dengan cara mengikutinya secara tidak ketara ketika mbok pembantu pergi belanja ke warung. Semula diajak berbasa basi agak sebentar, kejadian itu tentu tidak langsung sehari jadi. Kalau tak keliru ingat melebihi tiga Jum’at, baru dapat mengemukakan perihal tersebut kepada si mbok. Semula si mbok agak berat menerima misi mencari rambut si non pirang, karena takut juga kalau gadis asuhannya kenapa-kenapa. Tapi dengan alasan pemuda tadi untuk penelitian rambut pirang dibanding rambut biasa, dan ada lampiran berupa uang suap yang lumayan sudah direka si pemuda berikut kawannya urunan mungkin setara 3 bulan gaji si mbok, misi itupun disanggupi.

Susah juga si mbok untuk mencari rambut non pirang itu, sebab disyaratkan dukun sekurangnya ukuran tiga jengkal. Ada memang guguran rambut si non pirang tapi tak masuk syarat ukuran, di kamar mandi paling rontokan rambut kurang dari sejengkal, begitu juga ditempat tidur. Mau mencabut rambutnya sedang tidur, si mbok tidurnya tidak sekamar dengan si non. Yah lumayan sulit bagi si mbok, tapi “suap” sudah diterima, bahkan kalau berhasil dijanjikan ada tambahan. Bagaimanapun caranya kudu diusahakan.

Hari yang dinantipun tiba, setelah hampir seminggu, si mbok berhasil membawa selembar rambut pirang dibungkus tisue ke pemuda, diserahkan di warung tempat biasa ketemu, kebetulan si mbok beli bumbu masak. Tak bertahan menunggu petang, si pemuda membawa titipan mbok itu ke kediaman dukun. Dukun memesankan nanti pada malam Jum’at Kliwon pas bulan sudah bundar agar si pemuda membuka jendela kamarnya. Dengan nada pasti si dukun mengatakan bahwa nanti di pemilik rambut akan datang lewat tengah malam masuk lewat jendela. Kaget si pemuda bukan kepalang, sepertinya tidak siap untuk menerima kenyataan yang bakal terjadi. Sebab maksudnya bukannya datang ke kamar begitu, nanti bagaimana kalau orang tua tau dan macam-macamlah pikirannya. Adapun maksud si pemuda adalah bagaimana agar cintanya tidak ditolak oleh si gadis berambut pirang itu. Tetapi gejolak rasa keinginan mendapatkan cinta si gadis memupuskan perasaan takutnya. Si dukun lebih jauh menjelaskan nanti dia akan masuk lewat jendela dan menyatakan ia mencintaimu, nanti terserah kamu. Apakah kau antarkan pulang. Si pemuda makin berdebar, namun sudahlah kadung mandi biar basah batinnya menenangkan perasaannya.

Untung disela kegalauan itu, ia teringat teman-temanya yang ikut berpartisipasi dalam program ini. Ini dia, pikirnya, untuk tidak menimbulkan fitnah, saya akan undang beberapa teman bermalam di rumah saya, alasan dengan orang tua mengerjakan tugas dari sekolahan. Kalau tidak dapat menduga dalam hati pasien, bukannya dukun, seperti ia dapat membaca hati dari sorotan mata. Dukun bilang “syaratnya di kamar hanya ada kamu sendiri”. Itupun akhirnya dipenuhi si pemuda, teman-teman diundang bermalam di rumahnya, diberi kamar sendiri, katakanlah memantau dari lain kamar. Kebetulan rumah ortu si pemuda agak besar dikomplek perumahan lumayan elit.

Malam yang disesuaikan, jendela dibuka dua daunnya. Tengah malam ketika bulan bundar di malam Jum’at Kliwon itu, sayup-sayup ada suara “kresek-kresek-kresek” bagaikan sesosok tubuh sedang berjalan, tapi kok terseok-seok, bukan langkah seorang wanita yang lembut. Bulu kuduk mulai berdiri, tapi rasa takut terkalahkan rasa cinta, apapun konsekwensinya harus dipikul. Tiba-tiba gledub suara di kamar si pemuda sampai terdengar ke kamar teman-temannya yang juga nguping. Rupanya sebatang pohon pisang, dengan akar-akarnya lengkap masih berdaun masuk ke kamar si pemuda. Kontan saja sipemuda tak dapat menahan diri dan menjerit karena kaget bercampur takut. Suara jeritan serentak membangunkan seisi rumah dan semuanya masuk ke kamar si pemuda menyaksikan sebatang pisang utuh tadi.

Suasana hening malam itu, keriuhannya dan keanehannya serta apapun sementara hanya diketahui oleh seisi rumah dengan halaman luas dan berpagar tinggi kebetulan rumah elit tidak nempel langsung dengan tetangga.

Esok harinya kabar itupun mulai ditelusuri, semula ingin ke dukun melaporkan kejadian tadi malam, tapi runding punya runding penyelidikan pertama diarahkan ke si mbok yang mendapatkan rambut dengan biaya cukup tinggi itu. Usut punya usut si mbok akhirnya mengaku juga, bahwa ia mengalami kesulitan mendapatkan rambut si non pirang dengan ukuran 3 jengkal. Jalan keluarnya diambilkan serat pohon pisang yang tumbuh di belakang rumah majikannya, banding punya banding mirip benar dengan rambut si non pirang. Geram bercampur geli rekan-rekan si pemuda sambil berdecak dan menggelengkan kepala serempak mengatakan “Oooo begitu rupanya, pantas pohon pisang yang datang

Akhir tulisan ini saya ingin katakan:

1. Bahwa untuk memberantas suap di negeri ini, agaknya harus ada kekompakan nasional, semua kita dari hal yang terkecil, jangan mau lagi memberi suap, karena kalau tidak ada yang menyuap tak akan ada penerima suap. Kalau kurupsi si sudah ada “Komisi Pemberantasan Korupsi” biar dia bekerja. Suap belum ada “Komisi Pemberantasan Suap”.

2. Pemuda dan siapa saja, apapun masalah anda selesaikan dengan cara yang wajar jangan kedukun karena: Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu ia berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ‘Bukan termasuk golongan kami yg melakukan atau meminta tathayyur yg meramal atau yg meminta diramalkan yg menyihir atau meminta disihirkan dan barangsiapa mendatangi peramal dan membenarkan apa yg ia katakan maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap wahyu yg diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” .

3. Silahkan para pembaca menyimpulkan dan memberi komentar cerita fiksi ini.........

No comments:

Post a Comment