Tuesday 10 January 2017

ILMU di sungai PAWAN



Sungai Pawan arusnya deras
Banyak orang mandi berlimbur
Bina persahabatan janganlah culas
Sahabat akrab melebihi sedulur
Sungai Pawan, panjangnya 122 Mil, mengalir di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat, bermuara di Ibukota Kabupaten Ketapang. Sebelum dibangun jembatan “Pawan I” ibu kota kabupaten yang merupakan Delta itu dihubungkan ke kampung-kampung di sekitarnya dengan sampan tambang. Cerita ini kuangkat dari keadaan tahun 1960 an, waktu itu sekolah SMA baru ada satu-satunya. Sekarang karena sudah ada lebih dari satu sekolah SMA, maka SMA yang dulu itu disebut SMA Satu.
Siswa SMA yang bermukim di seberang kota, dihubungkan dengan Sampan Tambang, yaitu sampan untuk menyeberangkan orang, sepeda, terakhir juga sepeda motor. Pangkalan penyebarang, disebut “Kalan Tambang”. “Kalan” bahasa setempat untuk menyatakan Pangkalan, sedangkan “Tambang”, maksudnya pengada jasa penyeberangan memungut biaya.
Tersedia dua ‘Kalan Tambang” di Sungai Pawan untuk melayani pengguna jasa penyeberangan dari kota ke seberang kota, disebut “Kalan Tambang Ulu” dan “Kalan Tambang Ili’”. Mungkin saja pengguna jasa “Kalan Tambang”, kini sudah banyak yang “pindah alamat”, sebab sudah 57 tahun silam, kalau pun masih ada; tentu sudah gaek. Mungkin cerita ini buat orang sekarang sudah tak banyak lagi yang tau, sebab “Kalan Tambang” itupun kini sudah beralih fungsi, tak kelihatan lagi gertak (jembatan menjulur ke air) yang dulu digunakan untuk menuntun sepeda, atau sepeda motor menuju ke sampan (perahu).
Seorang siwa SMA, suatu hari pulang sekolah, hari itu dianya pulang tidak serombongan dengan teman-temannya, lantaran tadi pagi dititipi Emak-nya untuk beli bedak/pupur cap Nyonya, yang tidak di jual di warung-warung kampung seberang. Jadi satu siswa ini menumpang sampan tambang jadinya hanya sendiri. Sudah lama juga nunggu di Kopol (bangunan tempat nunggu penumpang), tapi karena jam bukan jam sibuk, maka akhirnya bang penambang menyeberangkan dianya sendirian, sebab dari kejauhan kelihatan di seberang sana banyak penumpang yang membawa sepeda ber beban barang-barang dagangan dari pedesaan yang akan dijual ke kota.
Sambil sampan dikayuh menuju seberang, sempatlah terlibat ngobrol bang penambang dengan siswa kelas dua jurusan ilmu pasti itu. Maklum kota kami yang ketika itu kecil belum seramai sekarang, antar penduduk saling kenal, begitupun siswa ini dengan bang penambang bukan hanya kenal, bahkan dulunya waktu di SR (sekolah dasar) sempat sesekolah. Dalam obrolan yang lumayan panjang nyampaikan ke pangkalan di seberang, kurang lebih 20 menit, banyak yang diobrolkan antara lain mengenai Ilmu. Siswa SMA klas II jurusan Ilmu Pasti itu, antara lain menceritakan tentang Ilmu yang didapatnya di sekolah lanjutan atas itu. Kami di sekolah diajarkan Geometri. “Pernah dengar ndak “Mid’, kau tentang Geometri”, kata siswa itu ke abang penambang. Belumlah “Mam” jawab si Gumid; bang penambang. Umam melanjutkan, kau rugi sekali ndak tau ilmu geometri, karena dengan ilmu itu berguna sekali buat nyemberangkan perahu kita ni. Dapat dihitung sudutnya, tekanan arus, guna menentukan arah perahu”.  Sebagaimana dilaksanakan dari jaman ke jaman sampan menyeberang sungai yang berarus deras, tehniknya tidak dapat langsung haluan perahu diarahkan mengikuti garis lurus dari pangkalan berangkat ke pangkalan tujuan. Caranya haluan perahu diarahkan melawan arus selanjutnya sisi sampan sedikit demi sedikit mendekatkan jarak antara pangkalan berangkat ke pangkalan tujuan. Berjalan dengan sisi samping sampan. Semakin deras arus, maka semakin kecil sudut antara arus dan sampan, tentu semakin lambat sampai ke tujuan. “Rugi sekali kau ndak tau ilmu geometri itu “MID”, ibarat kata; setengah hidup mu akan sia-sia, tanpa ilmu itu.  Habis waktu nyeberangkan sampai karena ndak tepat ngitung”. Tentu saja kata-kata ini cukup menyentuh perasaan abang tambang si Gumid. Sementara si Umam enteng saja, santai duduk di tengah perahu yang memang disiapkan untuk tiga orang.
Hari itu arus deras sekali, kebetulan di musim hujan di hulu sungai. Tiba-tiba dari kejauhan menderu dua buah speed boat melawan arus, dengan kecepatan tinggi melintas konvoi. Sampan yang ditumpangi Umam dan dikayuh si Gumid, tergoncang ombak yang besar, entah bagaimana karena keasikan ngombrol kurang tepat memposisikan sampan, sehingga ombak tersebut membuat perahu terbalik. Si Umam rupanya kurang pandai berenang, hanya sekedar mampu menimbulkan diri. Sedangkan Gumid memang sudah kerjaannya hari-hari di sungai. Kini Giliran si Gumid, menggunakan ilmunya, dia sempat meraih papan-papan tempat duduk disediakan di atas perahu yang ikut terapung di air sungai. Dengan sigap dua papan di renangkannya ke Umam sebagai pelampung ala kadarnya, sambil menginstruksikan agar Umam menepi dengan mengikuti arus sungai. Sedangkan si Gumid dengan keahlian ilmu kepenambangannya, mengejar perahunya yang mulai menjauh untuk menyeretnya ketepian.
Setelah ditepian, dalam keadaan mulai bernapas normal, bang penambang mengakatan: ”Kalau aku ndak tau ilmu geometri, menurut kamu ibaratnya setengah hidupku akan sia-sia. Tapi kalau kau tidak memahami ilmu menyelamatkan diri dari sampan tenggelam, bisa jadi seluruh hidupmu akan habis, Mam, tadi nampaknya kau belum menguasai ilmu itu”. Sambil menghela nafas si siswa klas dua jurusan ilmu pasti SMA itu, hanya mampu tersenyum, sambil membayangkan pesanan Emaknya pupur cap Nyonya yang dibelinya di pasar ikut terbawa arus sungai Pawan.
Dari kisah ini agaknya dapat menjadi bahan renungan:
1.      Perlu kita kenang pesan nabi, untuk kita berdo’a agar mendapat ilmu yang bermanfaat. Karena begitu banyaknya ilmu yang diturunkan Allah di muka bumi ini, ada yang bermanfaat sesuai situasi dan kondisinya dan ada juga yang tidak bermanfaat dan bahkan mencelakakan ummat manusia.  Do’a tersebut diajarkan oleh Rasulullah Hadist Riwayat Imam Muslim melalui Zaid Ibnu Arqam R.A. (Sebagian dikutip dibawah ini):
·         Allahumma inniii a’u’dzubika min Ilmin laa yanfa’ (Ya Allah lindungi aku dari ilmu yang tidak bermanfaat)
·         Wamin qalbin laa yakhsya’ (dan hati yang tidak khusuk)
·         Wamin nafsin laa tasyba’ (dan dari hawa nasfsu yang tak tertundukkan)
·         Wamin da’watin laa yustajabulaha (dan dari do’a yang tidak terkabul)
2.      Bahwa masing-masing professi punya disiplin ilmu sendiri-sendiri, ilmu geometri belum tentu pas buat penambang. Sebaiknya tak cocok mengharapkan penambang kuasai ilmu geometri. Manfaat ilmu tergantung untuk apa ilmu itu digunakan. Makanya cocok kalau kita berdo’a minta ilmu yang bermanfaat untuk kondisi kita masing-masing.
3.      Seorang yang berdisiplin ilmu yang tinggi melalui pendidikan formal, dalam ilmu-ilmu tertentu harus mengakui keunggulan ilmu seorang yang tidak mengenyam pendidikan formal. Karenanya kurang bijak membanggakan ketinggian ilmu kita kepada orang lain, baik ditunjukkan dalam tindakan atau dengan kata-kata, maupun dalam hati sekalipun.
Ilmu di sungai Pawan, tentang bagaimana mendayung sampan sampai ke seberang dengan selamat, melintasi arus sungai yang deras. Bagaimana pula ilmu menyelamatkan diri jika terjadi kecelakaan penyeberangan. Ternyata mereka menyiapkan papan-papan tempat duduk dengan bahan kayu yang mengapung. Walau tidak tersedia jaket penumpang, papan-papan itu sudah cukup untuk sekedar mengapungkan orang untuk mengikut arus menepi ke tepian sungai, guna menyelamatkan diri.
Udlubul ilma mahdi ilal lahdi. Tuntutlah ilmu sejak dari buaian ibu sampai ke liang lahad. (Al-Hadist) artinya menuntut ilmu itu sepanjang masa selama hayat masih dikandung badan.

No comments:

Post a Comment