Sungai
Pawan arusnya deras
Banyak
orang mandi berlimbur
Bina
persahabatan janganlah culas
Sahabat
akrab melebihi sedulur
Sungai
Pawan, panjangnya 122 Mil, mengalir di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat,
bermuara di Ibukota Kabupaten Ketapang. Sebelum dibangun jembatan “Pawan I” ibu
kota kabupaten yang merupakan Delta itu dihubungkan ke kampung-kampung di sekitarnya
dengan sampan tambang. Cerita ini kuangkat dari keadaan tahun 1960 an, waktu
itu sekolah SMA baru ada satu-satunya. Sekarang karena sudah ada lebih dari satu
sekolah SMA, maka SMA yang dulu itu disebut SMA Satu.
Siswa
SMA yang bermukim di seberang kota, dihubungkan dengan Sampan Tambang, yaitu
sampan untuk menyeberangkan orang, sepeda, terakhir juga sepeda motor.
Pangkalan penyebarang, disebut “Kalan Tambang”. “Kalan” bahasa setempat untuk
menyatakan Pangkalan, sedangkan “Tambang”, maksudnya pengada jasa penyeberangan
memungut biaya.
Tersedia
dua ‘Kalan Tambang” di Sungai Pawan untuk melayani pengguna jasa penyeberangan
dari kota ke seberang kota, disebut “Kalan Tambang Ulu” dan “Kalan Tambang
Ili’”. Mungkin saja pengguna jasa “Kalan Tambang”, kini sudah banyak yang
“pindah alamat”, sebab sudah 57 tahun silam, kalau pun masih ada; tentu sudah
gaek. Mungkin cerita ini buat orang sekarang sudah tak banyak lagi yang tau,
sebab “Kalan Tambang” itupun kini sudah beralih fungsi, tak kelihatan lagi
gertak (jembatan menjulur ke air) yang dulu digunakan untuk menuntun sepeda,
atau sepeda motor menuju ke sampan (perahu).
Seorang
siwa SMA, suatu hari pulang sekolah, hari itu dianya pulang tidak serombongan
dengan teman-temannya, lantaran tadi pagi dititipi Emak-nya untuk beli
bedak/pupur cap Nyonya, yang tidak di jual di warung-warung kampung seberang.
Jadi satu siswa ini menumpang sampan tambang jadinya hanya sendiri. Sudah lama
juga nunggu di Kopol (bangunan tempat nunggu penumpang), tapi karena jam bukan
jam sibuk, maka akhirnya bang penambang menyeberangkan dianya sendirian, sebab
dari kejauhan kelihatan di seberang sana banyak penumpang yang membawa sepeda
ber beban barang-barang dagangan dari pedesaan yang akan dijual ke kota.
Sambil
sampan dikayuh menuju seberang, sempatlah terlibat ngobrol bang penambang
dengan siswa kelas dua jurusan ilmu pasti itu. Maklum kota kami yang ketika itu
kecil belum seramai sekarang, antar penduduk saling kenal, begitupun siswa ini
dengan bang penambang bukan hanya kenal, bahkan dulunya waktu di SR (sekolah
dasar) sempat sesekolah. Dalam obrolan yang lumayan panjang nyampaikan ke
pangkalan di seberang, kurang lebih 20 menit, banyak yang diobrolkan antara
lain mengenai Ilmu. Siswa SMA klas II jurusan Ilmu Pasti itu, antara lain
menceritakan tentang Ilmu yang didapatnya di sekolah lanjutan atas itu. Kami di
sekolah diajarkan Geometri. “Pernah dengar ndak “Mid’, kau tentang Geometri”,
kata siswa itu ke abang penambang. Belumlah “Mam” jawab si Gumid; bang
penambang. Umam melanjutkan, “kau rugi sekali ndak tau ilmu geometri,
karena dengan ilmu itu berguna sekali buat nyemberangkan perahu kita ni. Dapat
dihitung sudutnya, tekanan arus, guna menentukan arah perahu”. Sebagaimana dilaksanakan dari jaman ke jaman
sampan menyeberang sungai yang berarus deras, tehniknya tidak dapat langsung
haluan perahu diarahkan mengikuti garis lurus dari pangkalan berangkat ke pangkalan
tujuan. Caranya haluan perahu diarahkan melawan arus selanjutnya sisi sampan
sedikit demi sedikit mendekatkan jarak antara pangkalan berangkat ke pangkalan
tujuan. Berjalan dengan sisi samping sampan. Semakin deras arus, maka semakin
kecil sudut antara arus dan sampan, tentu semakin lambat sampai ke tujuan. “Rugi
sekali kau ndak tau ilmu geometri itu “MID”, ibarat kata; setengah hidup mu
akan sia-sia, tanpa ilmu itu. Habis
waktu nyeberangkan sampai karena ndak tepat ngitung”. Tentu saja
kata-kata ini cukup menyentuh perasaan abang tambang si Gumid. Sementara si Umam
enteng saja, santai duduk di tengah perahu yang memang disiapkan untuk tiga
orang.
Hari
itu arus deras sekali, kebetulan di musim hujan di hulu sungai. Tiba-tiba dari
kejauhan menderu dua buah speed boat melawan arus, dengan kecepatan tinggi melintas
konvoi. Sampan yang ditumpangi Umam dan dikayuh si Gumid, tergoncang ombak yang
besar, entah bagaimana karena keasikan ngombrol kurang tepat memposisikan
sampan, sehingga ombak tersebut membuat perahu terbalik. Si Umam rupanya kurang
pandai berenang, hanya sekedar mampu menimbulkan diri. Sedangkan Gumid memang
sudah kerjaannya hari-hari di sungai. Kini Giliran si Gumid, menggunakan
ilmunya, dia sempat meraih papan-papan tempat duduk disediakan di atas perahu
yang ikut terapung di air sungai. Dengan sigap dua papan di renangkannya ke
Umam sebagai pelampung ala kadarnya, sambil menginstruksikan agar Umam menepi
dengan mengikuti arus sungai. Sedangkan si Gumid dengan keahlian ilmu
kepenambangannya, mengejar perahunya yang mulai menjauh untuk menyeretnya
ketepian.
Setelah
ditepian, dalam keadaan mulai bernapas normal, bang penambang mengakatan: ”Kalau
aku ndak tau ilmu geometri, menurut kamu ibaratnya setengah hidupku akan
sia-sia. Tapi kalau kau tidak memahami ilmu menyelamatkan diri dari sampan
tenggelam, bisa jadi seluruh hidupmu akan habis, Mam, tadi nampaknya kau belum
menguasai ilmu itu”. Sambil menghela nafas si siswa klas dua jurusan
ilmu pasti SMA itu, hanya mampu tersenyum, sambil membayangkan pesanan Emaknya
pupur cap Nyonya yang dibelinya di pasar ikut terbawa arus sungai Pawan.
Dari
kisah ini agaknya dapat menjadi bahan renungan:
1. Perlu
kita kenang pesan nabi, untuk kita berdo’a agar mendapat ilmu yang bermanfaat.
Karena begitu banyaknya ilmu yang diturunkan Allah di muka bumi ini, ada yang
bermanfaat sesuai situasi dan kondisinya dan ada juga yang tidak bermanfaat dan
bahkan mencelakakan ummat manusia. Do’a
tersebut diajarkan oleh Rasulullah Hadist Riwayat Imam Muslim melalui Zaid Ibnu
Arqam R.A. (Sebagian dikutip dibawah ini):
·
Allahumma inniii a’u’dzubika min Ilmin
laa yanfa’ (Ya Allah lindungi aku dari ilmu yang tidak bermanfaat)
·
Wamin qalbin laa yakhsya’ (dan hati yang
tidak khusuk)
·
Wamin nafsin laa tasyba’ (dan dari hawa
nasfsu yang tak tertundukkan)
·
Wamin da’watin laa yustajabulaha (dan
dari do’a yang tidak terkabul)
2. Bahwa
masing-masing professi punya disiplin ilmu sendiri-sendiri, ilmu geometri belum
tentu pas buat penambang. Sebaiknya tak cocok mengharapkan penambang kuasai
ilmu geometri. Manfaat ilmu tergantung untuk apa ilmu itu digunakan. Makanya
cocok kalau kita berdo’a minta ilmu yang bermanfaat untuk kondisi kita
masing-masing.
3. Seorang
yang berdisiplin ilmu yang tinggi melalui pendidikan formal, dalam ilmu-ilmu
tertentu harus mengakui keunggulan ilmu seorang yang tidak mengenyam pendidikan
formal. Karenanya kurang bijak membanggakan ketinggian ilmu kita kepada orang
lain, baik ditunjukkan dalam tindakan atau dengan kata-kata, maupun dalam hati
sekalipun.
Ilmu
di sungai Pawan, tentang bagaimana mendayung sampan sampai ke seberang dengan
selamat, melintasi arus sungai yang deras. Bagaimana pula ilmu menyelamatkan
diri jika terjadi kecelakaan penyeberangan. Ternyata mereka menyiapkan
papan-papan tempat duduk dengan bahan kayu yang mengapung. Walau tidak tersedia
jaket penumpang, papan-papan itu sudah cukup untuk sekedar mengapungkan orang
untuk mengikut arus menepi ke tepian sungai, guna menyelamatkan diri.
Udlubul
ilma mahdi ilal lahdi. Tuntutlah ilmu sejak dari buaian
ibu sampai ke liang lahad. (Al-Hadist) artinya menuntut ilmu itu sepanjang masa
selama hayat masih dikandung badan.
No comments:
Post a Comment