Monday 26 September 2016

LOGIKA dan WAHYU.



Di dalam kemahnya, Rasulullah Muhammad berdua dengan sahabatnya Abu Bakar, menangis berurai air mata. Peristiwa itu terjadi belum lama usai perang Badr yang dimenangkan dengan gemilang oleh kaum muslimin. Kemenangan ditandai dengan dengan 70 orang musyrikin terbunuh dan 70 orang tertawan. Tawanan adalah penduduk Makkah dan adalah kerabat Rasulullah, juga mereka kerabat dari para sahabat beliau yang hijrah ke Madinah. Dalam tawanan itu diantaranya terdapat paman Nabi; Abbas bin Abdul Muthalib, Sepupu Nabi; Aqil bin Abu Thalib dan menantunya; Abul ‘Ash suami dari putri beliau Zainab.
Kejadian menangisnya Rasulullah berserta Abu Bakar itu diketahui oleh Umar bin Khatab, ketika dia masuk ke kemah beliau dipagi hari setelah kemarinnya diambil suatu keputusan mengenai tawanan perang Badr. Keputusan mengenai tawanan perang itu sebenarnya diambil melalui suatu musyawarah. Pada musyawarah dihadiri sahabat Rasululah dan para pahlawan Badr itu terdapat dua opsi:
·         Opsi Pertama; di gagas Umar, Semua tawanan dibunuh, dengan argumentasi bahwa mereka telah memesuhi Islam, telah mengusir Rasulullah dan para sahabat dari Makkah dan selama ini berbuat kejam dan jahat kepada ummat Islam. Bukan mustahil mereka nanti bila dibebaskan akan menyusun kekuatan kembali memerangi ummat Islam. Pendapat ini didukung sebagian besar kelompok pemuda.
·         Opsi Kedua; di gagas Abu Bakar, setiap diri tawanan diberi kesempatan menebus diri, dengan pertimbangan bahwa semua mereka adalah kerabat, masih ada pertalian darah dan diharapkan mereka nantinya akan bertaubat. Pendapat ini didukung sebagain besar pahlawan Badr meskipun motivasi dari pendukung gagasan ini beda dengan Abu Bakar; sebagian besar ada yang membayangkan harta yang banyak dari tebusan itu.
Rasulullah memutuskan memilih opsi yang digagas Abu Bakar, memberi kesempatan kepada setiap tawanan menebus dirinya dengan sejumlah Emas.  Sebetulnya keputusan tersebut tidaklah diambil Rasulullah langsung begitu saja sesaat ketika musyawarah berlangsung. Rasulullah lebih dahulu masuk ke kemahnya mempertimbangkan dengan seksama kedua opsi tersebut. Ketika Rasulullah keluar dari kemahnya yang memang sudah ditunggu para sahabatnya itu, sebelum menyampaikan keputusannya Rasulullah terlebih dahulu menyampaikan prolog mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang telah turun sebelumnya sampai saat itu (ketika itu ayat-ayat Al-Qur’an belum diwahyukan seluruhnya oleh Allah)
Prolog yang dikemukakan Rasulullah terhadap opsi yang dikemukakan Abu Bakar adalah:
a)      laksana Nabi Ibrahim a.s. ( Al-Qur’an surat Ibrahim 36) “Siapa yang mengikuti aku, maka dia itu adalah dari golonganku. Dan barangsiapa yang mendurhakai aku, Engkau Ya Tuhan – adalah Maha Pengampun lagi Penyayang”.
b)      Dan juga Opsi yang dikemukakan Abu Bakar, laksana Isa a.s.  yang berkata (Al-Qur’an surat Al-Maidah 118) “Jika Engkau siksa mereka, mereka itu adalah hamba-hamba Engkau semua. Dan jika Engkau beri ampun mereka, maka sesungguhnya Engkau adalah Maha Gagah lagi Maha Bijaksana”.
Adapun Prolog yang disampaikan Rasulullah terhadap opsi yang digagas Umar:
a)      Laksana Nabi Nuh (surat Nuh 26) yang berkata “Ya Tuhanku Jangan Engkau biarkan di atas bumi ini, dari orang kafir itu, seeorangpun penduduk
b)      Laksana Musa a.s. (surat Yunus 88) “Ya Tuhan kami  musnahkanlah harta benda mereka dan keras sangatkanlah hati mereka, maka tidaklah mereka mau beriman sehingga siksaan yang pedih
Nabi Muhammad bersama sahabat utama beliau Abu Bakar sampai menangis tersedu sedu disebabkan keputusan yang beliau ambil merifer kapada gagasan Abu Bakar dan sebagian besar pahlawan Badr dikoreksi oleh Allah, dengan turunnya tiga ayat dari surat Al-Anfal ayat 67, 68 dan 69.
67. Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
68. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.
69. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ternyata Opsi Umar bin Khatab dalam hal ini yang dibenarkan oleh Wahyu yang turun sesudah keputusan diambil. Akan tetapi Allah telah menetapkan sebelumnya, bahwa pahlawan-pahlawan Badr telah diberikan keistimewaan pengampunan dosa atas kealfaan itu (termuat di ayat 68 Al-Anfal)
Dari peristiwa itu dapat dipetik pelajaran bahwa hendaklah seluruh aturan yang akan di ambil pemeluk agama Islam, apakah dia sebagai rakyat biasa dalam mengambil langkah-langkah aktivitas perbuatan hidup mencari nafkah bergaul di masyarakat, maupun sebagai pemimpin yang mengambil keputusan penting untuk rakyat banyak, sudah jelas acuannya di dalam petunjuk Al-Qur’an dan Hadist.
Dari peristiwa menangisnya Rasulullah karena salah mengambil keputusan itu, maka dapat diambil hikmahnya bahwa Rasulullah saja, bila hanya mempertimbangkan keputusan dengan menggunakan logika dan perasaan, tanpa petunjuk Allah langsung, maka masih dapat keliru bila diukur dengan kebenaran yang datang dari Allah.
Itulah sebabnya sebelum perang Badr berlangsung seorang sahabat bernama  Al-Habbab dengan segala hormat bertanya: “Apakah dalam memilih tempat berkemah atas dasar tuntunan wahyu”? Karena nabi menjawab “Atas dasar siasat perang saja”, maka Al-Habbab mengemukakan bahwa tempat berkemah tersebut tidak tepat karena akan sulit menambah air.  Rasulullahpun menuruti saran Al-Habbab. Bila keputusan datang dari Allah mereka melaksanakan tanpa ragu-ragu, tetapi bila Nabi menjawab ini bukan dari Allah, mereka memberikan usulan, seperti yang dilakukan oleh Al-Habbab itu.
Keputusan yang diambil atas dasar musyawarah, telah pula mempertimbangkan dengan melalui pemikiran mendalam dan merifer pula kepada apa yang pernah dilakukan para nabi terdahulu, masih saja dapat salah bila tanpa bimbingan Allah. Sebab opsi nabi-nabi terdahulu menghadapi kaumnya adalah situasional sesuai LOGIKA masing-masing nabi tersebut.  Karena akal manuia terbatas, kebenaran menurut manusia nisbi tidak mutlak.
Kini dengan sudah rampungnya Al-Qur’an turun ke bumi secara lengkap, sebagaimana di tegaskan Allah ketika penutup wahyu yang turun melalui Rasulullah di dalam surat Al-Maidah ayat 3, ketika di padang Arafah pada saat Rasulullah melaksanakan Hajji (disebut Hajji Wada’)
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Semua petunjuk mengenai perihal apa saja dalam hidup dan kehidupan ini dengan penegasan Allah tersebut ayat 3 surat Al-Maidah  di atas sudah diatur dalam Al-Qur’an, sejak manusia menikah, sampai mempunyai anak keturunan, sampai membagi harta warisan. Misalnya ketentuan tentang pembagian waris a.l. lelaki mendapatkan dua bagian perempuan. Mungkin ada logika yang kurang menerimanya menganggap kurang adil, namun itulah keadilan yang diatur menurut ketentuan Al-Qur’an.
Hikmah yang kita ambil dari peristiwa pengambilan keputusan mengenai tawanan perang Badr, adalah:
1.       Keputusan Rasulullah saja, walau sudah dengan melalui musyawarah difikirkan dengan matang, mengacu kepada referensi yang pernah dilakukan nabi-babi terdahulu saja bisa salah. Apalagi keputusan itu diambil oleh kita manusia biasa, bila tidak mengacu kepada petunjuk Allah.
2.       Bahwa apabila keputusan sudah diambil, meskipun sedikit keliru harus dilaksanakan. Asalkan keputusan telah diambil dengan musyawarah dan sejauh mungkin sudah merifer kepada apa yang telah dilakukan nabi-nabi terdahulu.
3.       Terbukti bahwa keputusan yang salah itu yang telah diambil dengan musyawarah, dengan berupaya membertimbangkan dengan saksama dan sedapat mungkin merifer lkepada nabi nabi terdahulu, akhirnya dilegalisir oleh Allah dan berujung kepada kebaikan. Terbukti bahwa para itu tawanan  itu setelah dibebaskan satu persatu masuk Islam dan menjadi pahlawan-pahlawan penting dalam Perkembangan Islam selanjutnya.
Bangsa kita secara keseluruhan, sering orang perorang dihadapkan untuk mengambil keputusan misalnya dalam memilih Pengurus masjid, ketua RT, ketua RW dan pemilihan yang dilakukan orang perorangan untuk memilih seseorang sebagai pemimpin di daerah masing-masing bahkan pemimpin negara, sepanjang hal itu harus melalui pemilihan. Al-Qur’an telah memberikan petunjuk dengan jelas tentang hal itu.
Persoalannya, jika anda memilih dengan tidak sesuai petunjuk Allah, maka tanggung jawab andalah kepada Allah. Allah dan Rasulnya tidak dapat anda paido, bila sesudah itu terdapat akibatnya yang tidak mengenakkan baik di dunia lebih lagi di akhirat.  
Belakangan ini, ada Pendapat bahwa dalam memilih pemimpin “Asalkan dia benar, harus didukung tidak perlu dilihat apa agamanya, siapa bapaknya”.
Masalahnya apa itu “benar”?.
Setiap agama mungkin punya definisi kebenaran menurut persi agama masing-masing. Yang saya tau Islam memberikan batasan bahwa kebenaran hanya datang dari Allah, seperti yang termuat dalam ayat 147  surat Al-Baqarah dan surat  Ali Imran ayat 60.
147. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
60. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.
Jadi tentulah siapapun dia tidak akan boleh menyalahkan kalau orang Islam mengacu kepada sumber agamanya kitab Al-Qur’an untuk mencari kebenaran bahwa kebenaran hanya datang dari Allah.
Tentulah tidak seorangpun yang dapat melarang kalau setiap penganut agama yang diakui di negeri ini mengamalkan dan menjalankan apa yang diperintahkan agamanya. Demikian pula kiranya siapapun dia, baik orang Islam yang hanya sekedar beriman saja tetapi belum betul-betul menjadi pengamal agamanya dan juga orang diluar agama Islam, adalah tidak pada tempatnya untuk menilai SARA orang Islam yang membaca, kemudian menginformasikannya (mendakwahkannya), menghayati dan mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Demikian pula pemeluk Islam-pun tidak boleh melarang pemeluk agama lain mengimani dan mengamalkan ajaran kitab sucinya masing-masing, sepanjang agama itu diakui di negeri ini. Ini nampaknya harus disadarkan, difahamkan bagi seluruh anak negeri, arti dari toleransi antar ummat beragama.
Semoga kiranya, penganut agama Islam, semakin hari semakin taat menjalankan agamanya, semakin meningkat ketakwaannya kepada Allah.
Semoga ummat Islam Indonesia diberikan kekuatan oleh Allah menjalankan agamanya di negara yang mayoritas Islam ini.
Semoga ummat Islam yang belum begitu memahami ajaran agamanya dapat lebih meningkat pemahamannya  sekaligus dapat mengamalkannya dengan baik.
Semoga Allah menerima taubat pemeluk Islam yang masih saja ragu-ragu akan kebenaran Al-Qur’an, selagi mereka mau bertobat sebelum berakhirnya hayat.
Amien.
Barakallahu ……….min na waminkum.

No comments:

Post a Comment