Menyantap
makan malam di restoran memang mengasikkan, apalagi belum punya pantangan ini,
itu, misalnya karena penyakit bawaaan usia. Di sela-sela kunjungan ke kota
Makassar, walaupun oleh panitia sudah disiapkan makan malam di hotel, masih
saja ingin makan diluar, tidak ikutan makan bersama rombongan dengan makanan
yang disediakan oleh hotel.
Ikan
bakar adalah salah satu menu biasa dan menu pilihan di kawasan pantai Losari.
Soal nama ikan tidaklah benar-benar standar di seluruh kawasan tanah air,
kecuali Gembung ada yang nyebut Kembung, beda-beda tipis. Tenggiri, Tongkol,
Bawal, sama seluruh Indonesia. Sedangkan ikan-ikan lain yang eneka banyak
jenisnya itu, hampir setiap daerah punya nama sendiri-sendiri. Ikan yang sering di santap dengan menu ikan bakar,
umumnya ikan yang pipih, alasannya tentu akan merata masaknya bila dibakar kedua
sisi lantaran tipis. Pilihan kami dengan istri, jatuh pada sejenis ikan pipih
yang bahasa Ibuku menyebutnya “Menggali”. Dagingnya gempal, tulangnya sedikit.
Beberapa
kali ku ke Makassar di pantai Losari yang kesuka ditempat itu, ikan bakar yang
mereka sajikan tanpa sedikitpun terasa amis. Sehingga pada suatu kesempatan,
kubertanya kepada pembakar ikan, sambil ikutan menyaksikan ikan dibakar. Apa
sebetulnya bumbu dan rahasia masak mereka sehingga ikan tidak menyisakan
rasa/bau amis ketika disantap.
Rahasianya
rupanya menurut pengakuan juru bakar, bahwa sebelum dibakar, setelah
dibersihkan (disiang), ikan yang akan
dibakar dicuci dengan air bekas cucian beras.
Kisah
ini baru sempat terceritakan, terinspirasi ketika pertemuan silaturahmi
keluarga di Solo 3 Syawal/ 19 Juli 2015 lalu. Salah satu menunya adalah
oseng-oseng daun papaya. Daun pepaya itu sama sekali tidak terasa pahit,
demikian enak. Tuan rumah kerena ku berulang mengambil menu tersebut, sempat
membekali plastic berisi oseng-oseng daun papaya ketika kupamit. Sayang sekali
esok harinya sudah tak layak santap, karena malam harinya kami pergi mencoba
makan di restoran terkenal di kota Solo, retoran “Omah Sinten”, jadi sangu
oseng-oseng daun pepaya ndak sempat dimakan.
Sempat
kutanyakan ke juru masak, kiat mengolah daun pepaya yang begitu pahit, menjadi
enak disantap tanpa ada rasa aslinya itu. Menurut mereka, daun pepaya yang
sudah di iris-iris sesuai keinginan untuk dimasak, terlebih dahulu direndam
dengan “Air Lempung” mungkin maksudnya “Air Tanah Liat”. Sesudah itu dicuci
bersih dan langsung diolah sesuai selera.
Rahasia
dapur lainnya, mengolah buah Pria agar tidak terasa pahit, dengan merendamnya
di dalam air garam. Pria buah yang sejak dari jaman doeloe sudah pahit,
sampai-sampai dalam hazanah perpantunan pemuda sejaman dengan “Siti Noerbaja”
ada pantun”
Kalau ku tau
Pria pahit
Takkan ku gulai
dalam belanga
Kalau ku tau
mencinta sakit
Tak kan kumulai
dari semula
Kalau
begitu jaman itu belum ditemukan kiat membuat Pria menjadi tidak pahit,
sehingga ada muda-mudi yang mengabadikannya dalam bait pantun. Seirama dengan
itu jaman itupun rupanya muda-mudi belum pandai mengolah cinta menjadi tidak sakit,
sehingga diabadikan dalam sair pantun mereka.
Ketimun,
bahasa daerahku Mentimun, kadang ketemu juga yang pahit. Konon ketika di lading,
Ketimun yang pahit itu, pernah dilalui oleh ular, sehingga bisa ular menular kedaging
buah Ketimun. Tapi ada pula caranya agar membuat Ketimun yang disajikan tidak
pahit semuanya. Caranya; potong tampuk Ketimun, kemudian bagian potongan
tersebut digosok-gosokan ke bekas potongannya dengan bilangan ganjil, mulai
tiga, atau lima atau tujuh. Pahit Ketimun akan hilang.
Begitu
banyak rahasia dapur nusantara yang baru secuil kita angkat.
No comments:
Post a Comment