Sunday 26 July 2015

SECUIL RAHASIA DAPUR



Menyantap makan malam di restoran memang mengasikkan, apalagi belum punya pantangan ini, itu, misalnya karena penyakit bawaaan usia. Di sela-sela kunjungan ke kota Makassar, walaupun oleh panitia sudah disiapkan makan malam di hotel, masih saja ingin makan diluar, tidak ikutan makan bersama rombongan dengan makanan yang disediakan oleh hotel.
Ikan bakar adalah salah satu menu biasa dan menu pilihan di kawasan pantai Losari. Soal nama ikan tidaklah benar-benar standar di seluruh kawasan tanah air, kecuali Gembung ada yang nyebut Kembung, beda-beda tipis. Tenggiri, Tongkol, Bawal, sama seluruh Indonesia. Sedangkan ikan-ikan lain yang eneka banyak jenisnya itu, hampir setiap daerah punya nama sendiri-sendiri. Ikan  yang sering di santap dengan menu ikan bakar, umumnya ikan yang pipih, alasannya tentu akan merata masaknya bila dibakar kedua sisi lantaran tipis. Pilihan kami dengan istri, jatuh pada sejenis ikan pipih yang bahasa Ibuku menyebutnya “Menggali”. Dagingnya gempal, tulangnya sedikit.
Beberapa kali ku ke Makassar di pantai Losari yang kesuka ditempat itu, ikan bakar yang mereka sajikan tanpa sedikitpun terasa amis. Sehingga pada suatu kesempatan, kubertanya kepada pembakar ikan, sambil ikutan menyaksikan ikan dibakar. Apa sebetulnya bumbu dan rahasia masak mereka sehingga ikan tidak menyisakan rasa/bau amis ketika disantap.
Rahasianya rupanya menurut pengakuan juru bakar, bahwa sebelum dibakar, setelah dibersihkan (disiang),  ikan yang akan dibakar dicuci dengan air bekas cucian beras.
Kisah ini baru sempat terceritakan, terinspirasi ketika pertemuan silaturahmi keluarga di Solo 3 Syawal/ 19 Juli 2015 lalu. Salah satu menunya adalah oseng-oseng daun papaya. Daun pepaya itu sama sekali tidak terasa pahit, demikian enak. Tuan rumah kerena ku berulang mengambil menu tersebut, sempat membekali plastic berisi oseng-oseng daun papaya ketika kupamit. Sayang sekali esok harinya sudah tak layak santap, karena malam harinya kami pergi mencoba makan di restoran terkenal di kota Solo, retoran “Omah Sinten”, jadi sangu oseng-oseng daun pepaya ndak sempat dimakan.
Sempat kutanyakan ke juru masak, kiat mengolah daun pepaya yang begitu pahit, menjadi enak disantap tanpa ada rasa aslinya itu. Menurut mereka, daun pepaya yang sudah di iris-iris sesuai keinginan untuk dimasak, terlebih dahulu direndam dengan “Air Lempung” mungkin maksudnya “Air Tanah Liat”. Sesudah itu dicuci bersih dan langsung diolah sesuai selera.
Rahasia dapur lainnya, mengolah buah Pria agar tidak terasa pahit, dengan merendamnya di dalam air garam. Pria buah yang sejak dari jaman doeloe sudah pahit, sampai-sampai dalam hazanah perpantunan pemuda sejaman dengan “Siti Noerbaja” ada pantun”
                                Kalau ku tau Pria pahit
                                Takkan ku gulai dalam belanga
                                Kalau ku tau mencinta sakit
                                Tak kan kumulai dari semula

Kalau begitu jaman itu belum ditemukan kiat membuat Pria menjadi tidak pahit, sehingga ada muda-mudi yang mengabadikannya dalam bait pantun. Seirama dengan itu jaman itupun rupanya muda-mudi belum pandai mengolah cinta menjadi tidak sakit, sehingga diabadikan dalam sair pantun mereka.
Ketimun, bahasa daerahku Mentimun, kadang ketemu juga yang pahit. Konon ketika di lading, Ketimun yang pahit itu, pernah dilalui oleh ular, sehingga bisa ular menular kedaging buah Ketimun. Tapi ada pula caranya agar membuat Ketimun yang disajikan tidak pahit semuanya. Caranya; potong tampuk Ketimun, kemudian bagian potongan tersebut digosok-gosokan ke bekas potongannya dengan bilangan ganjil, mulai tiga, atau lima atau tujuh. Pahit Ketimun akan hilang.
Begitu banyak rahasia dapur nusantara yang baru secuil kita angkat.

No comments:

Post a Comment