Monday 20 July 2015

BATU AKIK jadi TERSANGKA



Sobatku yang kini masih menjabat salah seorang Direktur di perusahaan milik Negara. Tak diduga dapat bersama saya di Solo ketika lebaran Idul Fitri 1436 H. Pas di hari ke tiga seusai mengikuti acara reuni keluarga se uyut isteri saya, sobat tersebut kuhubungi, beliau ada kesanggupan menjemput kami Ba’da Magrib di tempat nginap kami di rumah kerabat di bilangan bandara Adi Soemarno Solo. Sobat ku ini sejatinya dua tahun belakangan ini berdinas di Medan berdiam di Jakarta termasuk kelompok BPSPJS (Berangkat pagi Senen, Pulang Jum’at sore). Keberadaan beliau di Solo, memang tiap lebaran mudik kerena memang dianya wong solo.
Lantaran driver-nya ikutan cuti, sobatku ini nyetir sendiri kendaraan menjemput kami,  maksud kami malam itu meluncur menuju kota. Beliau ingin mengajak saya melihat kota Solo di waktu malam, juga sakalian untuk makan malam di restoran dengan masakan dan pelayanan keunikan Solo. Rupanya perjalan kami tidak lancar, jalan-jalan macet tersendat-sendat tambahan lagi lampu pengatur lalu lintas, merahnya lama dan hijaunya sebentar sekali, baru saja lewat dua atau tiga mobil udah merah lagi. Antri melalui lampu pengatur lalu lintas memperlambat jalan yang dipadati oleh mobil ber nomor polisi “B”. Agaknya kemacetan Jakarta malam itu pindah ke Solo. Kesempatan ini tentu sangat menyenangkan buatku bersama isteri, karena beberapa kali ku ke Solo, hanya tau hotel-bandara atau hotel-stasiun KA. ketika dalam kesempatan-kesempatan sebelumnya memenuhi undangan pelatihan-pelatihan.
Menikmati kemacetan itu, agar tidak bosan, saya terlirik ke tangan kiri sobat ku itu, iseng ku kemonteri bahwa di jari-jari beliau tidak terlihat adanya “Batu Akik”. “Pak, rupanya Bapak tidak termasuk penggemar Batu Akik?”. tanyaku. Beliau menjawab: ”Betul, semula saya tak gemar Batu Akik, tapi sekarang terpaksa ikutan pakai, ini lihat”, sambil melepas cincin batu akik dari tangan kanan-nya. Tadi saya tidak melihatnya karena rupanya di kenakan di jari sebelah kanan. “Kenapa sekarang jadi ikutan Pak”, kulanjut bertanya. “Ceritanya saya di bilang tidak sopan oleh kolega saya pejabat sebuah bank”, kata kolega saya itu “Jari yang tidak ada cincin batu akik itu hanya jari kaki, jadi Bapak tidak sopan menaruh jari kaki di atas meja”. (maksud kolega saya itu jari  tangan saya sama dengan jari kaki, karena tidak tersirat cincin berpermata batu akik). “Semenjak itu saya ikutan mencari batu akik dan memakainya di jari sebelah kanan, sebab tangan kanan inilah yang selalu berhubungan dengan orang, takut dibilang tidak sopan, menyalami orang dengan jari kaki”.
Kuteruskan pembicaraan. Kukatakan kepada sobatku itu, “hati-hati bencincinkan batu akik”. “Kenapa rupanya tanya beliau”. “Bagi kita yang shalat, berwudu’ pakai batu akik, tidak sah wudu’nya”, jawabku. Pernyataan memposisikan batu akik menjadi tersangka membatalkan wudu’ ini menjadikan beliau agak terkaget sambil menegaskan, bahwa beliau memakai batu akik, agak longgar, jadi air wudu’ sempat membasahi semua anggota wudu’. Selain itu, beliau juga cukup hati-hati kalau wudu’, cincin batu akik miliknya dilepas dulu, selesai wudu’ barulah dipakai lagi. Kutambahkan: “Meskipun begitu pak, tetap saja berwudu’ dengan batu akik tidak sah wudu’nya”. Setelah diam beberapa saat diselingi kemacetan jalan di Solo malam itu, beliau meminta dalil hadist tentang tidak sahnya wudu’ memakai batu akik. Agaknya sobatku itu penasaran, sambil menggenang berapa lama sudah wudu’nya tidak sah dan tentu shalatnyapun tidak sah semenjak ikutan memakai batu akik.
Aku sengaja diam agak lama, memancing komentar lebih lanjut dari beliau tentang pernyataanku “Batu akik menjadi tersangka membuat wudu’ tidak sah”. Beliau pun agaknya menerawang, betapa para guru-guru agama, ustadz dan para alim, baik di seputar kediamannya di kawasan Bekasi, di Medan tempat dianya bertugas kini, di Yogya, di Ujung Pandang dan di hampir seluruh tempat dia pernah bertugas selama masih aktif sebagai pejabat Perusahaan Milik Negara, dia banyangkan bahwa mereka pada ustadz dan orang-orang alim tersebut hampir tidak ada yang tidak memakai cincin berpermata, setara batu akik. Agaknya statement ku itu perlu didalami dan dimintakan dalil hadistnya. Menjadikan batu akik menjadi tersangka pembuat tidak sahnya wudu’ ini perlu diadakan penyelidikan lebih dalam.
Setelah melawati salah satu perempatan lampu pengatur lalu lintas, ku jelaskan kepada sobatku itu: “Tenang saja pak, selama Bapak jika ber wudu dengan memakai air, atau bertayamun memakai debu, wudu’ dan tayamun Bapak adalah sah. Tetapi jika Bapak berwudu’ dengan memakai batu akik  walau ribuan batu akik bapak pakai untuk berwudu’, tetap saja tidak sah, walau batu akiknya harganya ratusan atau jutaan rupiah per butir, bapak kumpulkan ber ember-embar dipakai wudu’, tetap saja tidak sah”.
“Oh jadi ini tadi goyon tah”, komentar beliau. Tidak terasa kami sudah menikmati kemacetan Solo di waktu malam hari ketiga lebaran idul fitri 1436 H ini dengan santai, kemudian setelah melewati “Mangkunegaran” dapat parkir disebelah kiri Restoran “Omah Sinten” dan menikmati makan malam yang dihidangkan dengan cara unik, belum keketahui sebelumnya.
Terimakasih, para pembaca telah menyempatkan memabaca tulisanku ini diiringi permohonan maaf lahir dan batin, minal aidin wal fa izin. Selamat Idul Fitri 1436 H. Jangan Berwudu’ pakai batu akik, pakailah air yang memenuhi syarat. Semoga Allah mememiliharakan ke taqwaan yang telah diperoleh selama Ramadhan dengan meningkatnya amal kebaikan kita pasca Ramadhan.

No comments:

Post a Comment