Friday 15 May 2015

SEHARUSNYA DIJULUK



Mengambil sesuatu benda berada di tempat tinggi, dapat dilakukan dengan dipanjat, juga mungkin dilakukan dengan memakai tangga, tapi dapat juga dengan menggunakan galah. Mengambil suatu benda dengan menggunakan galah istilah popular menurut bahasa ibuku “di juluk”. Menjuluk juga berkonotasi, jika pihak yang seharusnya memberikan sesuatu, tetapi setelah ditunggu sekian waktu, tidak kunjung diberikan, maka pihak yang seharusnya menerima, memintanya.
Contoh lain, jika suatu keluarga akan mempestakan anaknya menikah, ada teman yang sampai hari “H” belum juga terima undangan, kemudian ia memberitahukan kepada keluarga yang akan menikahkan itu “undangan untukku mana?”, pertanyaan ini, juga disebut sebagai “menjuluk”. Contoh lain lagi. Ada kerabat yang maaf kebetulan kurang mampu, dianya suatu saat berkunjung dan menginap di rumah anda. Setelah beberapa malam nginap tiba gilirannya dianya akan pulang. Yang bersangkutan pamit, sudah kita setujui pamitnya tapi juga belum berangkat, kemudian pamit lagi, kitapun sudah menyetujui pamitnya dan tetap saja pamit lagi. Seharusnya anda mengerti bahwa yang bersangkutan sedang “menjuluk”,  agar anda memberinya sangu untuk pulang, mungkin dia tak punya ongkos.  
Bermacam jenis buah, tidak akan jatuh, walau sudah mateng kalau tidak dipanjat atau di juluk. Buah kelompok ini meskipun sudah mateng tak akan jatuh utuh kalau tidak dipetik dari tangkainya dengan dijuluk atau dipanjat. Buah jenis ini kalau sudah mateng jika tidak dipetik dengan cara apapun antara lain dengan dijuluk, dia akan jatuh juga ke tanah dalam keadaan tidak utuh atau tercerai berai.
Seorang supir taxi, baru kurang lebih tiga bulan menjalani profesi barunya itu, menceritakan: bahwa dirinya sebelumnya bekerja sebagai supir pribadi di suatu keluarga selama lebih dari 17 tahun. Kini majikan lamanya itu sudah menjadi orang kaya, diceritakan mobil saja punya 5, rumah luas di daerah elit. Lebih jauh bang supir mengenang masa lalunya bersama majikan yang kini sudah kaya itu, semula si majikan kediaman saja hanya mengontrak, “dia sukses sayalah menjadi supirnya dari kantor ke kantor merintis usaha ekspor-impor.
Menyoal, kenapa dianya tidak ikutan kerja sebagai asisten majikannya, misalnya di kantoran mengurus bisnis ekspor-impor, dianya mengemukakan bahwa pernah ikutan, tapi Ibu (maksudnya istri sang majikan) minta dia kembali jadi supir keluarga, karena sudah terbiasa melayani anggota keluarga, mengantarkan anak-anak sajak dari TK sampai mahasiswa.  Kini anak-anak majikannya semuanya sudah jadi sarjana dan bahkan ditambah lulusan sekolah dari luar negeri. Namun dirinya sampai kini hanya jadi supir belaka hanya alih suasana dari mengendarakan mobil majikan perorangan sekarang menjadi supir taxi, mengendarai mobil perusahaan taxi.
Kalau begitu majikan “abang” tidak ada pengertian dengan “abang” rupanya, tanyaku. Si Abang menjawab: “ada si, saya ngak menidakkan, keluarga saya dibelikan rumah sederhana, cukupanlah, tapi kan untuk ekonomi  hari-hari kan ndak cukup, maka saya milih berhenti dan jadi supir taxi”.
Kenapa abang tidak ngomong terus terang ke majikan, agar untuk ekonomi di tambah atau diberi pekerjaan di kantoran ngurus bisnis beliau. Sebab kalau ikutan ngurus bisnis, nanti kedepan kan akan punya pengalaman, siapa tau nanti bisa ikutan buka bisnis sendiri. Begitu ku coba menanyakan lebih jauh perihal si abang taxi yang membawaku menuju kerumah kerabatku di bilangan Pondok Kelapa.
Si Abang taxi menjawab, bahwa dia yakin bosnya itu orang pandai, tak mungkin tidak mengerti, masa’kan  perlu diberitahu, “harusnya dia memahami keadaan saya yang sudah mengabdi kepadanya selama 17 tahun”, tutur si Abang taxi.
Itulah yang ku dengar “dari telingaku sebelah” dalam arti dari pihak si Abang taxi, persoalan yang sebenarnya tentu kalaulah kita mau mengurusnya lebih lanjut harus di dengar dengan “telinga sebelah lagi”, yaitu dari pihak Bos si supir taxi. Mungkin ada persoalan lebih jauh, kenapa anak buah yang sudah 17 tahun bersama sejak mulai susah tidak dibawa ikutan terimbas sukses.
Oleh karena itu kusarankan ke si Abang taxi, “seharusnya abang mengemukakan kepada bos anda tentang keinganan anda ikut membantu lebih jauh di bisnis Bos, tidak sekedar menjadi supir”. Kadang sesuatu masalah itu perlu dikemukakan terus terang, tidak hanya menunggu orang mengerti. Ibarat buah, ada buah harus di Juluk lebih dahalu baru jatuh, tidak menunggu buah itu jatuh sendiri. Ada buah yang meteng di pohon dan ada buah untuk mateng harus dijuluk sebelum mateng dan untuk mematengkannya harus di peram.
Kesimpulan:
Dari yang kita dengar dari penuturan supir taxi tersebut ada beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh:
Bahwa pada dasarnya manusia tak kunjung puas, dan hal ini wajar, apalagi dia mengalami sendiri bagaimana perjalanan hidup si Bos dari tak punya rumah, sampai sanggup membelikan supirnya rumah dan hidup lumayan sukses. Sementara si supir tetap saja jadi supir tak ada kemajuan status, walau mungkin sudah diperlukan bagaikan keluarga sendiri.
Bahwa kepuasan itu bukan hanya terletak pada dijaminnya kehidupan, seperti contoh tadi, setidaknya perhatian si Bos sudah lumayan dengan membelikan rumah, tetapi membiarkan abang supir tetap menjadi supir tidak ditingkatkan statusnya. Rupanya kebutuhan terangkatnya status belum terpenuhi membuat si supir lebih baik pindah, walau tetap jadi supir tapi supir taxi.
Bahwa kemunikasi yang tersumbat, dapat berakibat yang cukup jauh,  membuat si supir lebih memilih merenggangkan persahabatan yang sudah dibina 17 tahun. Mungkin jika dikumunikasikan dengan jelas dan tegas, keinginan si supir akan diperhatikan oleh si bos.

No comments:

Post a Comment