Saturday 21 December 2013

SADAP



Bahasa demikian pesat berkembang, mengikuti perubahan zaman. Seorang mahasiswa mengeluh bahwa bahasa Inggris begitu merepotkan, ucapan dan tulisan hampir sama, pengertiannya jauh berbeda. Dia mengambil contoh “lending” dengan “landing: hanya beda di huruf “e” dan “a” artinya satunya “mendarat” dan satunya lagi “menyewakan/meminjamkan”. Mahasiswa lainnya menimpali bahwa bahasa Indonesia pun juga sama, begitulah bahasa,  beda sedikit  bunyi, maka beda jauh arti. Contoh bahasa Indonesia seperti kata “Kucing”, “Kancing” dan “kencing”, beda tipis tapi artinya: “hewan mengeong” , “buah baju untuk menghubungkan bagian kanan dan kiri baju” dan “buang air kecil”. Mahasiswa lain menambahkan seperti “kuping” dan “kuting”. Kuping dengannya manusia dan hewan mendengar, sedangkan “Kuting”, pisau atau parang terlepas dari gagangnya /tanpa tempat pegangannya.
Penghujung tahun 2013, bangsa kita dihebohkan oleh kata “sadap” akan beda jauh artinya bila “a” sesudah “s” diganti “e” artinya suatu cita rasa yang disenangi atau keadaan yang menyenangkan. “Sadap” sendiri punya arti lain. Bila itu digunakan untuk petani karet maka artinya adalah melukai pohon “para (karet)” untuk mengeluarkan getah/latek dari batang  pohon  karet. Contohnya seperti gambar di bawah ini, ketika aku pengin coba bagaimana si “penyadap” karet di kebunku di pedalaman Kalimantan-Barat memproduksi karet.



Di kampungku penuturan “Sadap” untuk pohon karet sebetulnya tak lazim digunakan sebelum tahun tujuhpuluhan, berkat sudah bertambah kentalnya perpaduan penduduk berbagai daerah di Indonesia, penduduk asli kampungkupun sudah mulai terbiasa menggunakan kata “Sadap” untuk mengalirkan “latek” dari pohon karet.  Semula di kampungku, terbiasa dengan istilah “Menoreh” untuk melukai batang pohon karet, guna mengeluarkan air getahnya, dengan pisau khusus.
Begitu tingginya nilai tenaga manusia di wilayah kampungku, “penyadap atau penoreh” mendapat bagian 2/3 (dua pertiga) dari hasil sadapan, sedangkan pemilik kebun hanya kebagian 1/3 (sepertiga). Itupun sulit mencari tenaga yang bersedia menyadap. Ada beberapa hal yang membuat tidak banyak orang yang bersedia menyadapkan kebun orang lain antara lain yaitu:
Pertama, rata-rata penduduk setempat punya kebun karet, walau tidak begitu luas, tapi cukup buat sambilan mereka sebelum menyelesaikan pekerjaan lain. Sebab jam kerja penyadap karet mulai dari subuh sampai sekitar dimulainya waktu dhuha. Selanjutnya penduduk yang rajin, seusai mengintas getah (mengumpulkan hasil sadapan dari tempurung-ke tempurung) dimasukkan ember untuk pengolahan lebih lanjut, mereka akan meneruskan dengan aktivitas produktif lainnya seperti bercocok tanam tanaman muda, membuat anyam-anyaman mengurus ternak dan lain-lain.  
Cerita ini, ketika belum maraknya kebun sawit. Sejah tahun 1990 an mulailah banyak kebun karet yang dikonversi  jadi kebun sawit, walau kebanyakan diantara penduduk tidak begitu rela, namun terpaksa, karena memang kebanyakan kebun mereka tidak punya surat-surat kepemilikan tanah yang resmi. Sementara perusahaan-perusahaan atas nama “PT”, mengantongi izin resmi dari pemerintah, yang mengklaim bahwa lahan yang semula kebun keret rakyat itu adalah merupakan/diperuntukkan sebagai areal perkebunan sawit mereka. Rakyat semakin takut ketika itu (sebelum reformasi), karena bagi yang tidak bersedia menyerahkan kebunnya didekati dengan menggunakan petugas; oleh orang kampung dilihat sebagai aparat, kemudian akan dianggap menentang kebijakan pemerintah.
Penyebab kedua,  sulitnya mencari orang yang bersedia menorehkan kebun milik orang lain adalah dikarenakan MUSIM. Di kampungku di lahan tempat banyak dan subur pohon karet itu, musim hujan menurut statistik 16 hari dalam sebulan.  Jadi peluang menoreh karet hanya 2 minggu dalam sebulan. Belum lagi pohon karet punya tabiat, ketika berganti daun, batangnya tak begitu banyak mengeluarkan air getah. Ketika pergantian daun ini, tidak effektif kalau ditoreh. Jadi hitung-hitung dalam setahun waktu produktif hanya empat bulan.
Penyebab ketiga, kurangnya minat orang menjadi buruh penoreh, adalah harga. Fluktuasi harga karet sangat tajam. Dapat saja terjadi di awal bulan harganya belasan ribu per kilogram, akhir bulan melorot menjadi tinggal dua sampai tigaribu perkilogram. Hal ini pernah kami alami sendiri, ketika mencoba mengerahkan tenaga diambil dari kabupaten diluar kampungku untuk menurunkan hasil kebunku. Disebabkan fluktuasi harga demikian pengelola yang kupercayai, akhirnya undur diri. Sebenarnya kalau agak tahan permodalan, tunggu saja sampai harga kembali naik, menurunkan hasil karet cukup menjanjikan. Apa boleh buat tak kuat bertahan membiayai tenaga penoreh, ketika harga merosot turun, sementara konsumsi jalan terus, belum lagi bila musim hujan. Walaupun pembayaran ke penoreh atas dasar bagi hasil, tapi sementara hasil belum dibagi  harus keluar biaya konsumsi mendahului pembagian hasil. Sementara itu harga-harga barang konsumsi di pedesaan bukan main tingginya dibanding harga-harga di kota.
Diakui juga bahwa dengan sudah berkembangnya perkebunan kelapa sawit, ekonomi sebagian besar keluarga pedesaan tempat lahan berada mulai berjenjang naik. Sempat terlihat beberapa buah mobil mahal parkir di halaman rumah beberapa keluarga, walau jalan yang tersedia kurang memadai untuk enak berkendara. Tidak pula mata dapat ditutup bahwa sebagian besar penduduk yang karetnya terkonversi menjadi lahan sawit hanya dapat sebagai buruh.
Dampak lainnya seperti telah banyak tersiar dimedia bahwa banjir mudah sekali terjadi, karena hutan karet yang bersahabat dengan lingkungan dan hutan alam mendekati punah, pohon durian dan pohon Kelemantan (sebangsa mangga) Pohon Lembacang (sebangsa mangga agak asam dan wangi besarnya nyaris sebesar buah kelapa), pohon Tengkawang, pohon Benuah (penghasil damar) dan berbagai jenis rambutan hutan dan  lainnya telah dibabat.
Pernah kucoba berburu Rusa, sudah tidak menemukan lagi, padahal masa kecilku ikut Ayahanda berburu, kadang dapat beberapa ekor sekali menghutan. Sekali waktu kucoba membawa senapan angin, ternyata hanya dapat dibuat adu ketangkasan dengan pemuda desa, menembak buah mangga di halaman rumah, karena seekor burungpun tak ada lagi yang lewat, apa lagi hinggap dan berkicau.
Kebunku itu menurut “Surat Keterangan Tanah” (SKT) dikeluarkan camat setempat ketika kumembangunnya tahun 1988 seluas 1-km persegi, ditambah lagi kebun karet tetangga tanah ku itu dijual kepadaku seluas 20ha. Awal tahun 2013 lahan tersebut dilirik lagi oleh “PT” pendatang baru bidang perkebunan sawit untuk daerahku. Aku tetap bersemangat mempertahankan kebun karet, walau ku tau hasilnya tak gampang mengeluarkannya. Motivasi kubertahan itu adalah agar anak cucu ku di kampung kelak masih dapat melihat langsung bagaimana modelnya/bentuknya pohon karet. Ku hawatir bila semua lahan dikonversi jadi pohon sawit maka tak sebatang karetpun masih berdiri di tanah leluhurku. Kini lahan perkebunan di tepi jalan provinsi itu, kabarnya sudah makin menciut juga, lantaran dari pinggir-pinggirnya digeser orang, pagar kebun terdiri dari kayu belian mengelilingi kebun rata-rata berjarak 4 meter per tiang, kini sudah banyak yang hilang, maklum lokasi tadinya hutan dan jauh dari keluarga yang diamanahi menjaganya. Lagian ketika membangun kebun penentuan lakosi belum dilakukan dengan teknologi modern sekarang (GPS) dan juga seperti hampir seluruh penduduk desa bukti kepemilikan hanya surat dari camat berupa “SKT” dan bukti pohon karet. Seluruh masyarakat desa setempat tau bahwa lahan itu sebelumnya adalah hutan alang-alang setinggi manusia, kini telah menjadi hutan hijau dan pohon-pohon karet. Legalitas kepemilikan lahan belum sampai kepada HGU seperti para pengusaha besar,

No comments:

Post a Comment