Wednesday 4 September 2013

HAKIM BERTOPENG

Ide didapat untuk mengatasi hakim-hakim ketika berhadapan dengan terdakwa saat diadili dapat saling tatap mata sekaligus tatap muka, oleh karena itu kelanjutannya sering terjadi antara terdakwa kemudian main mata dengan para hakim. Maka di sebuah “negeri sejuta pulau” di zaman dahulu kala pernah terjadi hakim-hakim ketika mengadili terdakwa menggunakan topeng.
Main mata si hakim dengan terdakwa kadang membuat putusan tidak populer, menjatuhkan hukuman mencederai rasa keadilan masyarakat. Kesalahan berat mendapat hukuman yang ringan dan kadang bebas, jika si terdakwa punya kesanggupan bermain mata dengan hakim dan penuntut melalui kuasa hukum. Sementara rakyat biasa dengan kesalahan yang kecil mendapat hukuman yang sama saja dengan pencuri uang kerajaan begitu besar, lantaran si pencuri uang kerajaan punya jabatan dan mampu membagi hasil curiannya ke para penyelenggara hukum dan hakim.
Sebelum ide memberi topeng para hakim, sebenarnya Raja pernah ingin menyewa hakim dari luar negeri, agar lebih independen. Pernah terlintas dipemikiran Raja “kerajaan sejuta pulau”, ingin mengundang  “JUDGE BOW”  dari negeri China. Rencana ini ketika dikonsultasikannya dengan para penasihat  mendapat sanggahan dengan sanggahan utama adalah kendala bahasa, kedua terdapat banyak perbedaan sistem hukum di negeri China dengan di kerajaaan sejuta pulau. Selain itu ngeri juga  hakim “Judge Bow” sukanya main penggal kepala, seperti terlihat di film televisi.  Selain itu bukan mustahil kalau si “Judge Bow” pun jika dijadikan hakim di “kerajaan sejuta pulau” juga lama kelamaan akan terpengaruh dan akhirnya juga mau nerima suap, maklum honor yang kurang memadai. Apalagi dia orang pendatang bukankah disamping biaya hidup tinggi di negeri orang, kan punya kewajiban transfer ke keluarga.
Itulah makanya, si Raja sudah berketetapan hati untuk mencegah hakim dapat “bermain mata” dengan terdakwa, para hakim ketika melakukan persidangan diwajibkan memakai topeng. Hanya mata dapat dilihat dan suaranya saja yang dapat didengar. Untuk lebih mantapnya lagi, sound sistem diatur sedemikian rupa sehingga suara hakim, berapa banyakpun anggota majelisnya, bunyi suara yang kedengaran keluar adalah sama, untuk membedakan hakim siapa yang bertanya, penuntut dan pembela serta  terdakwa hanya dapat melihat dari bahasa tubuh mereka. Diharapkan dengan memberikan topeng kepada para hakim ini, terdakwa, penuntut dan pembela tidak dapat mengenali siapa yang mengadili mereka. Oleh karena itu terputus kemungkinan untuk para pembela dapat menghubungi hakim guna “mengatur putusan”.
Hal yang sama lumayan sukses ketika kerajaan menerapkan tanpa tatap muka bagi pelamar menjadi abdi kerajaan. Calon abdi kerajaan cukup memasukkan lamaran ke dalam gentong besar yang disimpan di depan gapura istana raja. Naskah lamaran lengkap dengan riwayat hidup itu digulung dan dimasukkan dalan seruas bambu standar dari kerajaan dibagikan melalui kepatihan diteruskan ke kelurahan. Kemudian setelah tanggal yang ditetapkan bambu-bambu lamaran tersebut dipilih sendiri oleh Raja seperti mencabut undian. Setelah isinya dibuka dan bila kriteria pelamar sesuai, langsung dipanggil untuk menunjukkan ketrampilan di depan Raja dihadapan para punggawa kerajaan. Bila lulus langsung diterima sebagai abdi kerajaan. Kalau ada dari bambu yang dipilih raja itu belum sesuai kriterianya atau uji ketrampilan ada yang tidak lulus, maka dilakukan pencabutan ruas-ruas bambu yang masih tersisa sampai cukup formasi abdi kerajaan dalam suatu masa perekrutan. Teknik itu dapat menghindari penerimaan abdi kerajaan melalui KKN dan suap. Teknik yang sudah pernah sukses diterapkan di kerajaan sejuta pulau ini pula rupanya yang menginspirasi Sang Raja memerintahkan para hakim memakai topeng ketika menuju dan berada dalam ruang sidang menyidangkan perkara terdakwa.

No comments:

Post a Comment