Sedang
heboh belakangan ini di kota-kota besar dan sampai ke kota-kota kecil digelar
razia pengemudi sepeda motor belia, tentu tidak punya Surat Izin Mengemudi
(SIM). Begitulah salah satu model “kebijakan” negeri ku bak kata pepatah “setelah tersandung baru tengadah”
(tengadah melihat ke benda yang membuat tersandung biasanya di atas). Soalnya
lagi sedang ramai diwartakan bahwa seorang bocah melaju di jalan tol waktunya
bagus benar “dini hari”, dengan seorang teman wanita pula? (dari
mana mau kemana kau nak, lagi ngapain kalian nak), mobil yang dikemudikannya
meluncur deras melewati pembatas jalan dan mencederai pengguna jalan yang lain,
kata media terjadilah korban jiwa……..Sejauh
ini apakah juga dirazia pengemudi mobil yang masih bocah.
Si
bocah di bawah umur itu tentu saja tidak punya SIM sebab memang di negeriku ini
baru boleh memohon SIM setelah usia 17 tahun. Itupun tidak gampang lho, melalui
ujian kadang berkali-kali baru lulus. Anakku ketika masuk usia 17 mencoba
memohon SIM dengan prosedur resmi dan ternyata sekali ujian ndak lulus tuu. Ini
membuktikan ujiannya benaran, sebab kalau hanya formalitas tentu dia langsung
lulus. Beberapa waktu kemudian anakku mengajukan permohonan SIM lagi, kini
melalui jalur kolektif gabung dengan komunitas perguruan tinggi, baru lulus.
Menyoal
soal SIM dan segala macam izin mengemudi kuteringat ke dua peristiwa di kampung
kelahiranku:
Peristiwa
pertama, tersebut seorang pedagang di pedalaman, sebut saja namanya “Asun”,
ketika itu dia membeli perahu bermotor baru, guna mengangkut komoditi
dagangannya dari pedalaman ke kota dan membawa barang dagangan dari kota ke
pedalaman menyusuri sungai (maklum belum ada jalan darat). Rupanya untuk mengemudikan perahu bermotor di sungai juga
harus ada SIM. Suatu ketika setelah beberapa kali hilir mudik
menyusuri sungai dari kediamannya ke kota pergi dan pulang, tiba juga saat apes
si “Asun”, dia dicegat petugas di tengah perjalanan. Surat-surat perahu motor miliknya diminta untuk
diunjukkan kepada petugas, termasuk SIM mengemudikan perahu bermotor yang
beratap itu. Semua surat dapat diperlihatkan, tetapi dasar tidak punya, maka SIM tidak ada. Seingatku waktu
itu belum marak istilah “denda
damai”, alhasil “Asun” dijadwalkan menghadap ke “kantor” di kota untuk mempertanggung
jawabkan “kelancangan” mengemudikan perahu motor di sungai tanpa SIM.
Saat
yang dijadwalkan tiba dan si “Asun” menghadap, terjadilah perdebatan panjang
antara pejabat yang memanggilnya dengan si “Asun” di ruang “Kantor”. Antara
lain dikemukakan si “Asun”:
- Bahwa perahu motor-perahu motornya sendiri, dibeli secara legal dengan uang sendiri, lengkap ada surat-surat jual beli dan sudah lunas lagi, bukan ngutang.
- · Dia telah buktikan bahwa dia sanggup menjalankan perahu motornya dengan aman dari pedalaman sampai ke kota (hilir), dari kota sampai ke kampung (mudik), buktinya tidak kurang puluhan trip sudah dia jalani/lakukan hilir mudik tak pernah ada hambatan dan rintangan di jalan.
- · Ketika petugas menyebutkan bahwa peraturan setiap pengemudi harus punya SIM dia bertanya balik kepada petugas: Apakah SIM dapat menunjukkan di mana “Repak”* dimana “Cugak”** dimana “Riam”***, dimana teluk dan dimana tanjung?.
Keterangan: Bahasa daerah * “Repak = Sampah dialur sungai
sudah menahun keberadaannya sihingga tidak
terkikis oleh arus air dan sulit untuk dibersihkan. Sampah ini kalau
tidak hati-hati melewatinya dapat mencelakakan perahu motor yang melintas. **
Cugak= Pohon kayu tumbang masuk ke alur sungai tidak dapat dipindahkan, sudah
berada di alur sungai itu begitu lamanya sampai akhirnya pemakai sungai
memakluminya dan hati-hati melintas agar tidak membahayakan perjalanan. ***
Riam = Batu-batu besar yang ada di alur sungai yang tidak dapat dipindahkan,
inipun harus hati-hati kalau ketabrak dapat membuat perahu motor terbalik.
Akhirnya si petugas kehabisan “Kata”, segera dipanggilnya anak
buahnya untuk menerbitkan SIM perahu motor untuk si “Asun”. Pulanglah si Asun
ke kampungnya di pedalaman mengemudikan perahu motornya, kini sudah mengantongi
SIM. Dalam hatinya berguman, tetap saja “Repak
, Cugak dan Riam”, “tanjung dan teluk” aku sendiri yang tahu tempatnya dan
bagaimana cara menghindarinya, bukan SIM ini.
Peristiwa
ke dua, tetangga rumah saudara ibuku di kampung seberang, punya tetangga, sepertinya kepala rumah-tangga
dari tetangga itu eks warga negara asing, kata orang-orang dianya berasal dari
“Hadral Maut”. Keluarga ini berternak
“sapi susu”. Aku ndak tau persis kapan
orang “Hadral Maut” itu mulai
masuk di kampungku, seingatku ketika aku sekolah masih esempe dianya sudah
punya anak lebih selusin, diantaranya
ada juga yang sudah besar. Isterinya orang kampung kami, wajar anak-anaknya; postur tubuh dan profil
wajah mereka tidak sama dengan pribumi.
Tingkat perekonomiannyapun diatas rata-rata orang sekampungku. Mereka sudah punya
kendaraan bermotor, sementara keluarga kebanyakan orang waktu itu di kampungku masih bersepeda ontel. Ada dua kendaraan
bermotor milik “Ami Mubarrak”, satunya kata orang namanya “BSA”, motor besar
dan satunya lagi motor kecil nama “Dokati”.
Suatu
hari salah satu anaknya yang masih
dibawah umur, belum punya SIM membawa
“Motorpit” (bahasa waktu itu untuk sepeda motor), bukan main khawatirnya
si ayah dan langsung menegor anaknya jangan membawa “motorpit” di jalan raya, dapat membahayakan dirimu dan
mungkin juga orang lain, demikian nasehat juragan sapi perah itu kepada
anaknya. Belakang secara curi curi anaknya tanpa sepengetahuannya sudah berani
membawa motor besar. Ketika suatu hari saat bangun dari tidur siang menjelang
shalat ashar dilihatnya motor BSA tidak ada di kandang, ditanyakan ke anggota
keluarga ndak ada yang tau, dan bersamaan dengan itu si “Hanim” anak bungsunya
tidak kelihatan untuk siap-siap shalat ashar. Dugaan hampir pasti ini ulah si
“bungsu” membawa motor besar ke jalan raya entah kemana tanpa menggunakan SIM,
karena memang belum boleh memiliki SIM.
Tanpa pikir panjang setelah shalat ashar “Ami Mubarrak” melapor ke pos Polisi, bahwa anaknya
mengendarai sepeda motor tanpa SIM tolong di tangkap. Walau sebetulnya langkah
itu sudah di cegah oleh ibunya “Hanim”, tetap saja si ayah melapor ke kantor Polisi,
bukan itu saja dia minta ke pak Polisi agar anaknya nanti diproses sesuai hukum
yang berlaku, mengemudi tanpa SIM.
Singkat
cerita anak itupun dapat dikejar Polisi, motor dikembalikan kerumah orang
tuanya dengan Polisi menggonceng anak itu dan si bungsu dengan tersipu takut bercampur
malu diantar Polisi ke orang tuanya. Sepekan kemudian tiba saatnya proses
persidangan. Pelanggar lalu lintas yang
tak lain adalah si “Hanim” disidang dengan disaksikan beberapa orang penghadir
sidang, antara lain ayah dan ibunya
sendiri serta beberapa saudaranya serta orang lain yang juga sedang menunggu
giliran sidang. Hakim memutuskan “Hanim” terkena denda harus membayar Rp 15,-
(lima belas rupiah). “Ami Mubarrak” langsung melunasi denda itu di meja hijau
dari dompetnya.
Salut
buat ayah si bungsu yang memberikan pelajaran untuk taat hukum kepada anaknya,
walaupun pada akhirnya yang keluar duit dia sendiri.
Motivasi yang
mendorong “Ami Mubarrak” melakukan hal itu karena agama beliau ada
mengajarkan bahwa ada tiga kelompok orang yang diharamkan Allah kepadanya masuk
ke surga yaitu:
- Peminum “Hamr”, antara lain minuman yang mamabukkan dan segala sesuatu yang memabukkan termasuk yang lagi “in” sekarang disebut NARKOBA.
- Durhaka kepada orang tua, yaitu termasuk membantah orang tua.
- Daiyus, asal maknanya membiarkan keluarga berbuat maksiat termasuk mendiamkan anggota keluarga melanggar hukum.
Dua
diantara kelompok tersebut dikhawatirkan “Ami Mubarrak” terkena pada dirinya
dan pada anaknya. Walau pun butir satu tidak termasuk.
Bagaimana
dengan sakarang ini kadang ada pengemudi yang membawa mobil dalam pengaruh “Hamr” tadi. Jadi agama sudah
melarang sejak jaman sebelum ada mobil
untuk menggunakan “hamr” sebab biang dari segala macam kejahatan,
kerusakan dan malapetaka adalah point satu di atas yaitu “Hamr”. Pantaslah
Allah mengharamkan surga buat penggunanya.
No comments:
Post a Comment