Sunday 22 September 2013

BOCAH MENGEMUDI


Sedang heboh belakangan ini di kota-kota besar dan sampai ke kota-kota kecil digelar razia pengemudi sepeda motor belia, tentu tidak punya Surat Izin Mengemudi (SIM). Begitulah salah satu model “kebijakan” negeri ku bak kata pepatah “setelah tersandung baru tengadah” (tengadah melihat ke benda yang membuat tersandung biasanya di atas). Soalnya lagi sedang ramai diwartakan bahwa seorang bocah melaju di jalan tol waktunya bagus benar “dini hari”, dengan seorang teman wanita pula? (dari mana mau kemana kau nak, lagi ngapain kalian nak), mobil yang dikemudikannya meluncur deras melewati pembatas jalan dan mencederai pengguna jalan yang lain, kata media  terjadilah korban jiwa……..Sejauh ini apakah juga dirazia pengemudi mobil yang masih bocah.
Si bocah di bawah umur itu tentu saja tidak punya SIM sebab memang di negeriku ini baru boleh memohon SIM setelah usia 17 tahun. Itupun tidak gampang lho, melalui ujian kadang berkali-kali baru lulus. Anakku ketika masuk usia 17 mencoba memohon SIM dengan prosedur resmi dan ternyata sekali ujian ndak lulus tuu. Ini membuktikan ujiannya benaran, sebab kalau hanya formalitas tentu dia langsung lulus. Beberapa waktu kemudian anakku mengajukan permohonan SIM lagi, kini melalui jalur kolektif gabung dengan komunitas perguruan tinggi, baru lulus.
Menyoal soal SIM dan segala macam izin mengemudi kuteringat ke dua peristiwa di kampung kelahiranku:
Peristiwa pertama, tersebut seorang pedagang di pedalaman, sebut saja namanya “Asun”, ketika itu dia membeli perahu bermotor baru, guna mengangkut komoditi dagangannya dari pedalaman ke kota dan membawa barang dagangan dari kota ke pedalaman menyusuri sungai (maklum belum ada jalan darat). Rupanya untuk  mengemudikan perahu bermotor di sungai juga harus ada SIM.  Suatu  ketika setelah beberapa kali hilir mudik menyusuri sungai dari kediamannya ke kota pergi dan pulang, tiba juga saat apes si “Asun”, dia dicegat petugas di tengah perjalanan. Surat-surat  perahu motor miliknya diminta untuk diunjukkan kepada petugas, termasuk SIM mengemudikan perahu bermotor yang beratap itu. Semua surat dapat diperlihatkan, tetapi dasar tidak punya,  maka SIM tidak ada. Seingatku  waktu  itu belum marak istilah “denda damai”, alhasil “Asun” dijadwalkan menghadap ke “kantor” di kota untuk mempertanggung  jawabkan “kelancangan” mengemudikan  perahu motor di sungai tanpa SIM.
Saat yang dijadwalkan tiba dan si “Asun” menghadap, terjadilah perdebatan panjang antara pejabat yang memanggilnya dengan si “Asun” di ruang “Kantor”. Antara lain dikemukakan si “Asun”: 
  •   Bahwa perahu motor-perahu motornya sendiri, dibeli secara legal dengan uang sendiri, lengkap ada surat-surat  jual beli dan sudah lunas lagi, bukan ngutang.
  • ·         Dia telah buktikan bahwa dia sanggup menjalankan perahu motornya dengan aman dari pedalaman sampai ke kota (hilir), dari kota sampai ke kampung (mudik), buktinya tidak kurang puluhan  trip  sudah dia jalani/lakukan  hilir mudik tak pernah ada hambatan dan rintangan di jalan.
  • ·         Ketika petugas menyebutkan bahwa peraturan setiap pengemudi harus punya SIM dia bertanya balik kepada petugas: Apakah SIM dapat menunjukkan di mana “Repak”* dimana “Cugak”** dimana  “Riam”***,  dimana teluk dan dimana tanjung?.
Keterangan: Bahasa daerah * “Repak = Sampah dialur sungai sudah menahun keberadaannya sihingga tidak  terkikis oleh arus air dan sulit untuk dibersihkan. Sampah ini kalau tidak hati-hati melewatinya dapat mencelakakan perahu motor yang melintas. ** Cugak= Pohon kayu tumbang masuk ke alur sungai tidak dapat dipindahkan, sudah berada di alur sungai itu begitu lamanya sampai akhirnya pemakai sungai memakluminya dan hati-hati melintas agar tidak membahayakan perjalanan. *** Riam = Batu-batu besar yang ada di alur sungai yang tidak dapat dipindahkan, inipun harus hati-hati kalau ketabrak dapat membuat perahu motor terbalik.
Akhirnya si petugas kehabisan “Kata”, segera dipanggilnya anak buahnya untuk menerbitkan SIM perahu motor untuk si “Asun”. Pulanglah si Asun ke kampungnya di pedalaman mengemudikan perahu motornya, kini sudah mengantongi SIM.  Dalam hatinya berguman, tetap saja “Repak , Cugak dan Riam”, “tanjung dan teluk” aku sendiri yang tahu tempatnya dan bagaimana cara menghindarinya, bukan SIM ini.
Peristiwa ke dua, tetangga rumah saudara ibuku di kampung seberang,  punya tetangga, sepertinya kepala rumah-tangga dari tetangga itu eks warga negara asing, kata orang-orang dianya berasal dari “Hadral Maut”.  Keluarga ini berternak “sapi susu”. Aku ndak tau persis kapan  orang “Hadral Maut”  itu mulai masuk di kampungku, seingatku ketika aku sekolah masih esempe dianya sudah punya anak  lebih selusin, diantaranya ada juga yang sudah besar. Isterinya orang kampung kami,   wajar anak-anaknya; postur tubuh dan profil wajah mereka  tidak sama dengan pribumi. Tingkat perekonomiannyapun diatas rata-rata orang sekampungku. Mereka sudah punya kendaraan bermotor, sementara keluarga kebanyakan orang waktu itu di kampungku  masih bersepeda ontel. Ada dua kendaraan bermotor milik “Ami Mubarrak”, satunya kata orang namanya “BSA”, motor besar dan satunya lagi motor kecil nama “Dokati”.
Suatu hari  salah satu anaknya yang masih dibawah umur, belum punya SIM membawa  “Motorpit” (bahasa waktu itu untuk sepeda motor), bukan main khawatirnya si ayah dan langsung menegor anaknya jangan membawa “motorpit”  di jalan raya, dapat membahayakan dirimu dan mungkin juga orang lain, demikian nasehat juragan sapi perah itu kepada anaknya. Belakang secara curi curi anaknya tanpa sepengetahuannya sudah berani membawa motor besar. Ketika suatu hari saat bangun dari tidur siang menjelang shalat ashar dilihatnya motor BSA tidak ada di kandang, ditanyakan ke anggota keluarga ndak ada yang tau, dan bersamaan dengan itu si “Hanim” anak bungsunya tidak kelihatan untuk siap-siap shalat ashar. Dugaan hampir pasti ini ulah si “bungsu” membawa motor besar ke jalan raya entah kemana tanpa menggunakan SIM, karena memang  belum boleh memiliki SIM. Tanpa pikir panjang setelah shalat ashar “Ami Mubarrak”  melapor ke pos Polisi, bahwa anaknya mengendarai sepeda motor tanpa SIM tolong di tangkap. Walau sebetulnya langkah itu sudah di cegah oleh ibunya “Hanim”, tetap saja si ayah melapor ke kantor Polisi, bukan itu saja dia minta ke pak Polisi agar anaknya nanti diproses sesuai hukum yang berlaku, mengemudi tanpa SIM.
Singkat cerita anak itupun dapat dikejar Polisi, motor dikembalikan kerumah orang tuanya dengan Polisi menggonceng anak itu dan si bungsu dengan tersipu takut bercampur malu diantar Polisi ke orang tuanya. Sepekan kemudian tiba saatnya proses persidangan.  Pelanggar lalu lintas yang tak lain adalah si “Hanim” disidang dengan disaksikan beberapa orang penghadir sidang, antara lain  ayah dan ibunya sendiri serta beberapa saudaranya serta orang lain yang juga sedang menunggu giliran sidang. Hakim memutuskan “Hanim” terkena denda harus membayar Rp 15,- (lima belas rupiah). “Ami Mubarrak” langsung melunasi denda itu di meja hijau dari dompetnya.
Salut buat ayah si bungsu yang memberikan pelajaran untuk taat hukum kepada anaknya, walaupun pada akhirnya yang keluar duit dia sendiri.
Motivasi  yang  mendorong “Ami Mubarrak” melakukan hal itu karena agama beliau ada mengajarkan bahwa ada tiga kelompok orang yang diharamkan Allah kepadanya masuk ke surga yaitu:
  1.      Peminum “Hamr”,  antara lain minuman yang mamabukkan dan segala sesuatu yang memabukkan termasuk yang lagi  “in”  sekarang  disebut NARKOBA.
  2.       Durhaka kepada orang tua, yaitu termasuk membantah orang tua.
  3.       Daiyus, asal maknanya membiarkan keluarga berbuat maksiat termasuk mendiamkan anggota keluarga melanggar hukum.
Dua diantara kelompok tersebut dikhawatirkan “Ami Mubarrak” terkena pada dirinya dan pada anaknya. Walau pun butir satu tidak termasuk.
Bagaimana dengan sakarang ini kadang ada pengemudi yang membawa mobil dalam  pengaruh “Hamr” tadi. Jadi agama sudah melarang sejak jaman sebelum ada mobil  untuk menggunakan “hamr” sebab biang dari segala macam kejahatan, kerusakan dan malapetaka adalah point satu di atas yaitu “Hamr”. Pantaslah Allah mengharamkan surga buat penggunanya.

No comments:

Post a Comment