Thursday 19 September 2013

SUAP OH SUAP

Begitu cekatannya Ibu mertuaku menggendong cucunya pakai selendang, sementara di tangan kiri nampak sebuah Pisang Ambon dan di tangan kanan beliau memegang sendok teh. Terpikir olehku sepintas,  si nenek  mau makan pisang, tapi aneh kenapa pakai sendok teh tanya diriku. Beberapa detik kemudian kulihat;  sreeet kulit pisang mulai dikupas setengah badan dan hanya separo, selanjutnya sendok teh mendarat di daging pisang kelihatannya hati-hati sekali, hanya digaruk. Jadi itu sendok tidak mendalam masuk ke daging pisang. Tindakan beliau selanjutnya mengarahkan daun sendok berisi serutan pisang menuju mulut anak pertamamu yang umurnya belum genap setengah bulan pulang dari RS Islam Surabaya di tahun 1983.
Kontan aku menjerit dari tempat dudukku sehingga membuat beliau kaget begitu pula rupanya bayi kami yang masih merah itu terperanjat, langsung menangis dan sendok tidak jadi masuk mulut buah hatiku yang kehadirannya sudah dinanti lebih dari dua tahun pernikahan kami itu.
Sedikit agak kasar yang kulakukan spontan, tanpa pikir kuutarakan kepada mertuaku yang waktu itu juga baru menyambut cucu pertama; pesan dokter ketika anak itu akan kami bawa pulang. Dokter wanti wanti agar anak ini tidak boleh diberikan makanan apapun selain ASI dan susu tambahan dengan merk yang direferensikan ENFAMIL, sepaling kurang sampai berumur enam bulan. Dokter memberikan perlakuan seperti itu mungkin karena anak pertamaku itu lahir kurang sebulan dari semestinya, bobot badannya kurang, kulitnya kerisut.
Langsung si nenek komentar bahwa aku punya anak sembilan, semuanya masa bayi seperti ini DISUAPI  serutan pisang. Semua anakku kini sudah besar dan sehat-sehat. Kumerasa bersalah juga kepada mertua dengan penuh kasih sayang ingin MENYUAP cucunya  dengan ala kadarnya walau hanya serutan pisang.
Inikah mungkin menjadi kelaziman kita bangsa ini sampai sudah tua, sampai sudah menjadi pejabat tinggi, sampai sudah jadi orang mempunyai wewenang, masih saja ingin dan doyan SUAP, sebab sudah terbiasa sejak masih bayi. Kemudian si bayi setelah sedikit agar besar juga makannya disuapi orang dewasa, masih syukur kalau oleh ibunya sendiri. Kini ada kecendrungan disuapi oleh pembantu atau baby sister.
Ramai diberitakan  “kasus suap daging sapi”.  Beberapa hari ketika tulisan ini terinspirasi, ada lagi konon (entah benar entah tidak) diwartakan ada seorang anggota DPR terhormat bertransaksi SUAP dengan seorang hakim yang tengah diproses ujian “kelayakan dan Kepatutan” . Kalau memang benar sungguh hal ini tidak patut, apalagi SUAP konon dilakukan di Toilet. Bukankah Toilet tempat banyak kuman kok beraninya DISUAP, ndak takut kemasukan kuman;..... apa.
Soal suap menyuap ini rupnaya bukan saja dibiasakan sejak bayi oleh bangsa ini, ketika mulai merajut hubungan suami istri. Dalam prosesi pengantin di beberapa tempat ada acara suap-suapan anatara kedua mempelai. Mempelai lelaki mengambilkan sesendok makanan untuk si istri dan sebaliknya istri pun mengambilkan sesendok makanan buat si suami. Jadi budaya SUAP ini rupanya sudah mengakar buat kita semua. Tidak mengherankan kalau setiap proses apa saja, ngurus apa saja baru lancar kalau diikuti SUAP.
Dalam pada itu, kupesankankan buat anak dan menantuku, kebetulan kini telah lahir cucuku yang pertama. Agar untuk cucuku mulai dirintis budaya tidak lagi di SUAP.  Kepadanya hendaknya diberikan ASI dan pada saatnya sudah boleh makan yang agak lembek, biar yang bersangkutan nyendok sendiri.   “Apa  bisa Pah” tanya mereka. “Harus bisa” kataku. Agar bangsa ini tidak lagi doyan SUAP untuk generesi mendatang. Insya Allah cucuku 20-30 tahun mendatang akan menggantikan posisi kita generasi kini. Mudah-mudahan dianya tidak seperti generasi kita yang sekarang doyan benar dengan SUAP, sebab terlatih dari bayi sampai anak-anak. Insya Allah generasi kita yang doyan SUAP ini 20-30 tahun yang akan datang sudah menjadi almarhum atau almarhumah, dengan demikian maka generasi SUAP pun habis lah sudah. Supaya bangsa ini kedepan segalanya berjalan dengan baik TANPA SUAP dan Allah memberkati. Amien.

No comments:

Post a Comment