Wednesday 2 January 2013

GEWANG

Bahasa, wajar berbeda setiap daerah. Terminologi ucapan yang sama seringkali berbeda pengertiannya di setiap daerah.  Tidak jarang ungkapan yang sama dan arti berbeda itu, membuat persoalan yang cukup berkepanjangan apalagi bila hal  itu menyangkut tentang pengungkapan seorang pasien kepada dokter.    
Suatu hari dokter di PUSKESMAS di suatu daerah sangat terpencil datang kunjungan pasien sekitar pukul 11 malam.  Si pasien tidak dapat berbicara, hanya dapat berbunyi “aah, uung, uuh” dan sejenisnya termasuk merintih. Menurut pengantarnya sekitar pukul empat petang temannya yang diantarnya pakai sepeda motor itu, tertelan “Gewang”. Secara phisik  pasien sekitar 30 tahun  itu normal, masih bisa bernapas dengan baik, hanya tak bisa ngomong saja, tapi masih bisa bersuara.
Dokter kebetulan berasal dari Jakarta, sekolah dokter di Yogyakarta setelah mendengar laporan pengantar dan melihat keadaan pasien, membaringkan di tempat periksa dan memeriksa seperlunya. Dokter mengatakan: “Insya Allah nanti Giwang yang ditelan itu akan keluar bersama buang air besar”.
Mendengar jawaban itu si pasien menggeleng-gelengkan kepala sambil  “uuh, uuh” berguman bersuara walau tanpa kalimat biasa. Sementara itu si pengantar menjelaskan “tak mungkin dok, yang tertelan GEWANG”. “Ya Giwang kan hanya segini” jawab dokter sambil si dokter menunjukkan ujung kelingkingnya dibatasi dengan ibu jari. “Tidaaak” jawab si pengantar sambil memegang kedua pipi bagian rahang atas “semuanya ketelan”.  Dalam suasana itu Satpam yang mendampingi dokter  (yang tadinya hanya bertujuan menjaga keamanan dokter maklum pasien datang sudah pukul 11 malam), Satpam ikut bicara “maksudnya GIGI GEWANG dok”. Dokter sempat terkesima beberapa detik “GIWANG kok gigi” pikir si dokter. Untunglah lantas dia langsung mempertegas apa yang terlintas dipikirannya “jadi maksudnya tertelan GIGI PALSU?”.  Dengan spontan si pasien menganggukkan kepalanya dan pengantar langsung dengan mantap “yaaa dokter”, sekitar jam empat tadi petang.
Dokter langsung minta Satpam menghubungi supir ambulance kemudian membuat surat rujukan ke rumah sakit besar di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat yang jaraknya  seratus kilomoter lebih dari desa sangat terpencil tersebut. Dokter Puskesmas di  Kecamatan Telok Melano itu menyadari, tidak mungkin dapat menolong si pasien dengan peralatan yang ada di Puskesmas. Tak lama kemudian si pasien dan pengantarnya meluncur ke Rumah Sakit “Agus Djam” di Ibu kota Kabupaten Ketapang. Selanjutnya diperoleh kabar si pasien dikirim ke ibu kota Provinsi di Pontianak, keesokan harinya dengan penerbangan pertama untuk tindakan lebih lanjut.
Sebenarnya ada perbedaan ucapan untuk “GEWANG” dan “GIWANG” yaitu ada huruf “E” dan “I”. Tetapi bagaimanapun anak saya yang dapat tugas PTT selama setahun (2008)  itu, sedari kecil sudah terpola dalam memori di benaknya bahwa “Giwang” adalah perhiasan wanita yang di pasang di telinga, ukurannya begitu kecil.  Sedangkan bahasa setempat perhiasan kecil pakai mur atau dilengketkan di kuping itu disebut “KERABU”, bukan “GIWANG”. Kalau yang ada bandulannya dalam bahasa Indonesia disebut “Anting-Anting” bahasa setempat disebut “BONEL”. Adapun gigi palsu disebut “Gigi GEWANG” atau praktis disebut “GEWANG” saja. Gigi palsu seringnya buatan ahli gigi yang ditancapkan pada gusi palsu. Rupanya gigi palsu lengkap dengan gusi palsunyanya tertelan. Anak saya tidak sempat menanyakan bagaimana proses sampai tertelan, saking sejak awal sudah salah pengertian dan selanjutnya ingin cepat-cepat memberikan pengantar agar pasien segera dapat pertolongan. Maklum sejak kejadian sampai ketemu dokter sudah tujuh jam. Pasien menempuh perjalanan cukup jauh dari desa di pedalaman melalui jalan yang sulit bukannya mulus seperti kebanyakan jalan di Jawa. Sebenarnya jarak tempuh lokasi kejadian dengan Puskesmas di ibu kota Kecamatan tidak teramat jauh, tetapi waktu tempuhnya sampai 7 jam.
Anjuran buat dokter yang bertugas di daerah bukan daerah asal semasih kecil, setiap melayani pasien dengan keluhan khusus hendaklah didampingi penterjemah. Sebetulnya hal yang sama pernah dialami oleh anak saya ketika KOAS di Wonosobo. Pernah dia belajar beberapa dialog bahasa daerah setempat, dengan menghafalkan beberapa dialog. Tanya kepada pasien dengan kata tertentu, akan mendapatkan jawaban dengan kata tertentu. Ketika dipraktikkan ternyata pertanyaan kepada pasien tidak mendapatkan jawaban seperti yang diajarkan temannya. Jawabannya sama sekali tidak/belum pernah didengar. Pasien bingung dokterpun bingung.   Untunglah segera minta bantuan suster menterjemahkan.
Satu keistemewaan bahasa Jawa, terminologinya hampir dapat dimengerti seluruh penutur asli bahasa Jawa hanya saja ada tingkatan-tingkatan. Kalau bahasa suku dan puak yang ada di Kalimantan demikian kompleksnya sehingga dalam sekota saja ada istilah yang oleh kampung tertentu tidak diketahui oleh kampung yang lain. Untunglah ada bahasa Indonesia.



No comments:

Post a Comment