Tuesday 22 January 2013

“LANTING” MODEL RUMAH RAMAH BANJIR

Bila upaya menanggulangi banjir di Jakarta sulit direalisasikan kerena biaya, kerena berbagai faktor teknis lainnya. Atau bila telah direalisasikan upaya penanggulangan banjir sesuaa rencana yang kemarin diputuskan pemerintah, tetapi misalnya banjir masih juga merambah Jakarta. Sepertinya suadah saatnya para arsitektur memikirkan kontruksi bangunan rumah penduduk di Jakarta yang “Ramah Banjir”. Sebagai model “Rumah Ramah Banjir”. Dapat di contoh  bangunan di sepanjang sungai-sungai di Kalimantan, bahasa setempat disebut “LANTING”

Bangunan “Lanting” sedianya diperuntukkan buat kamar mandi sekaligus toilet bagi beberapa keluarga. Sedangkan penduduk, berdiam di daratan, mereka turun ke sungai menuju “Lanting” hanya untuk mandi atau untuk berususan ke  kamar kecil. Konstruksi “Lanting” cukup unik, bangunan terketak di atas beberapa balok kayu  mengapung dan  tahan air.  Empat atau enam batang balok kayu berdiameter lebih dari 50cm  sepanjang sepuluh meteran disusun sejajar, kemudian dihubungkan dengan balok kayu besi (belian), juga sangat tahan air. Di atas balok kayu besi ini disusun lantai kayu belian sebagaimana membuat bangunan rumah.  di atas lantai itu barulah dibangun ruangan  lebih kecil seukuran kamar madi diberi beratap, berdinding berpintu sebagaimana layaknya kamar mandi. Pelataran selebih dari bangunan  kamar mandi itu dipergunakan untuk warga yang ingin mandi berenang meletakkan pakaiannya, atau warga ingin mencucuci atau yang ingin mandi dengan pakaian basah, tanpa harus masuk ke  kamar mandi. Bahkan ada warga yang menggunakannnya untuk duduk memancing.
Keistemewaan “lanting”, flexsible mengikuti ketinggian air, agar dia tidak hanyut, ditancapkan tiang panjang empat penjuru, sehingga “Lanting” hanya bisa turun naik mengikuti permukaan air sungai.  Dari pingir sungai menuju “Lanting” dibuat tangga tersandar ketepian sungai sampai kedasar sungai. Dari tangga ke “lanting” disediakan papan yang elastis mengikuti naik turunnya “Lanting”.  Tata letaknya diatur sesuai dengan turun naik permukaan sungai.
Tentu kalau bangunan rumah lebih sederhana lagi, tak perlu ada tangga dari pinggir sungai, cukup  bangunan terkletak di atas tanah, dengan pondasi yang dapat mengapung tersebut. Kayu tahan air dan mengapung mungkin sulit menemukan sekarang, kerena hutan sudah banyak di babat. Para ahli konstruksi mungkin saja merancang bangunan ini dengan bahan lain misalnya semacam tangki persegi dari besi/fiber glass, akan mengapung bila banjir. Di atas apungan itulah dibangun rumah.  Ternyata sudah ada model rumah seperti itu, saya kurang tau apakah mereka merancangnya  terinspirasi dari konstruksi bangunan “Lanting”. Adapun bangunan rumah berkonsep “lanting” tersebut saya unduh dari Google seperti gambar di bawah ini.



Model rumah “Lanting” inilah agaknya cocok ditawarkan sebagai sulusi menghadapi banjir Jakarta, bila segala upaya diawal tulisan ini terkendala.

Alam sejak dulu sudah begitu, adanya air  sangat dibutuhkan semua mahluk hidup.  Bahkan seluruh mahluk hidup ini tercipta di dalamnya ada unsur air. Adalah cucok barang kali acuan untaian  kalimat di bawah ini:
Air kebutuhan utama  hidup setiap  orang.
Air dicari biar berjalan kilometer berbilang.
Air digali biar puluhan meter membuat lobang.
Air diminta bila sangat perlu dengan sembahyang.
Air bah  ternyata  banyak orang menjadi malang.
Air bah datang  harta dikumpul susah payah menjadi hilang.
Menyaksikan banjir besar melanda Jakarta Kamis 17 Januari 2013, sekurangnya ada beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh:
1.    Bahwa manusia sangat tidak berdaya terhadap kekuatan alam yang diciptakan oleh Allah.
2.    Dengan ilmu dan teknologi berbiaya tinggi mungkin saja alam ciptaan Allah ini dapat dikendalikan. Akan tetapi bila Allah tidak berkenan bagaimanapun kuatnya bendungan, kuatnya tanggul akan jebol juga.
3.    Agaknya musibah yang terjadi berupa banjir ini, banyak sedikitnya disebabkan oleh ulah tangan kita juga. Kita tertalu serakah menikmati alam, kita kurang bersahabat degan alam, kita kurang santun merawat lingkungan.
4.    Ternyata keamanaan dan kenyamanan yang diberikan Allah untuk kita hidup di Jakarta atau di mana saja di atas punggung bumi ini sangat tak ternilai harganya. Selama sepuluh bulan rata-rata penduduk Jakarta dalam setahun terbebas dari banjir, terkena banjir beberapa hari saja dalam cuaca buruk  sebulan lebih sudah menderita luar biasa. Jeritan penderitaannya menggema sampai seantero dunia.
Semoga setelah musibah ini kita semakin sadar bahwa alam ini bukan kita yang punya. Bagaimanapun kayanya kita alam ini tidak dapat kita beli. Bagaimanpun kuatnya kita alam ini tidak dapat kita kalahkan. Bagaimanapun kuasanya kita alam ini tidak dapat kita taklukkan.

No comments:

Post a Comment