Monday 10 December 2012

TANGKAL PUTUNG DARI TANAH KAYUNG


Kabupaten Ketapang, terletak di selatan Kalimantan Barat ini  sejak dulu di kenal dengan julukan “Tanah Kayung”. Kebanggaan penduduk setempat, karena dimasa silam tempat berkumpul orang-orang sakti mandra guna. Di era tahun 70an misalnya,  masih banyak disaksikan bila malam cerah, bersileweran di udara malam, orang  melayangkan “Tuju” yaitu sesuatu benda terbang bagaikan obor meluncur di udara kemudian jatuh di atap rumah orang yang dituju.  Benda menyala bagaikan obor  terbang  itu bukan api, melainkan terbuat dari telur, di dalamnya berisi jarum dan benda logam lainnya, setelah dibaca mantera-mantera, benda itupun meluncur ke udara,  diharapkan sampai ke sasaran.  Penghuni rumah yang “kempunan”, beberapa saat kemudian akan jatuh sakit. Begitu kata yang empunya cerita. Orang yang “kempunan” ialah anggota keluarga yang kebetulan dalam keadaan “lemah” sehingga pengaruh “Tuju” berdampak, atau orang terkena pengaruh “Tuju”  lagi apes.  Kata tetua kami dulu, orang yang terkena “Tuju” tidur terlalu sore atau dalam keadaan lupa, sebelum tidur tidak membaca do’a. 
Bagaimanapun saktinya pengirim “Tuju”, bila ketika “Tuju” terbang, sebelum sempat sampai mendarat di sasaran sudah kedahuluan diteriakan orang dengan teriakan tertentu maka “Tuju” akan jatuh di perjalanan sebelum sampai ke sasaran. Teriakan tersebut dilakukan ketika “Tuju” sedang meluncur di udara, dengan menjerit sekuat kuatnya, akan lebih manjur bila teriakan dilakukan bersama-sama. Oleh karena itu para pemuda kampung kami biasanya ketika malam berudara cerah duduk-duduk bersama, bercengkerama sambil mengantisipasi kalau ada “Tuju” yang melintas. Serentak orang yang melihatnya berteriak “Nasiiiii Goreeeeng”. Langsung “Tuju” tersebut jatuh sebelum sampai ke sasaran. Memang rupanya di dunia ini semuanya ada pengapesannya. “Tuju” pengapesannya; kata-kata teriakan “Nasiiii Goreeeng”. Ular pengapesannya bambu, sebab ular dipukul dengan apapun sulit mati, kalau dipukul dengan bambu, disentuh sedikit saja sudah mati. Begitu keras kemiri kalahnya dengan daun pisang kelutuk, begitu mudah dibelah dengan daun pisang. Batu permata “Kecubung” dikenal keras sulit dipotong, pengapesannya diolesi “Tai ayam lancung”.
Karena kesaktian sebagian penduduknya itulah makanya orang penduduk asli yang berasal dari “Tanah Kayung” sering dianggap memiliki ilmu kebathinan yang sarat. Kebetulan pula pada tahun-tahun kami masih kecil, hampir setiap orang meninggal, dikuburkan di “Tanah Kayung”, “mati bangkit”. Maksudnya orang yang dikuburkan, malam harinya akan menjelma menjadi “hantu bangkit”, gentayangan seperti orangnya masih hidup tapi sudah berwujud hantu mengganggu penduduk dan memangsa ayam peliharaan orang di malam hari.  Anehnya ayam hanya dimakan bagian jeroan yaitu hati dan empedal  ayam  saja yang diambil dari dubur ayam. Sedang badan ayam digeletakkan begitu saja di sembarang tempat di dekat kandang ayam, atau di halaman rumah pemilik ayam.
Sejatinya “Tanah Kayung itu” lokasinya bukan di ibukota kabupaten Ketapang , dengan motor klutuk ditempuh perjalanan mudik menyusuri tanjung dan teluk sungai Pawan kurang lebih empatbelasan jam. Lokasi ini merupakan pertemuan beberapa anak sungai yang membuat muara sungainya begitu sangat luas, dulu berombak bila ada sedikit angin. Disekitar lokasi inilah keberadaan “Tanah Kayung” itu, di mana konon apalagi manusia hewan saja mati, begitu dikubur di tanah itu akan bangkit. Manusia yang dikubur disitu, bangkit menjadi hantu, tidak dapat masuk lagi ke kubur dan menjadi hantu permanen disebut “Bangkit Benaun”.
BERASAL DARI DAYUNG PATAH
Adapun ahli patah tulang, dikenal dengan “Tangkal Putung”, keberadaannya berasal di kampung pesisir laut kurang lebih 18 KM dari titik nol Kabupaten Ketapang. Asal muasal “mbah” ahli tangkal putung tersebut sudah lama meninggal, kini tinggal anak cucu keturunannya meneruskan profesi itu, mungkin sudah generasi keempat atau kelima, namun kemanjurannya masih dapat disaksikan, setidaknya ketika saya masih sekolah es em a di kampungku. Kuingat ketika itu aku menjadi ketua panitia perpeloncoan, sekarang dikenal OSPEK. Salah seorang siswa baru disuruh seniornya mengelilingi lidi ditancapkan di tanah, dengan satu tangan memegang ujung lidi dan tangan satunya ditaroh di belakang. Entah berapa putaran lidi dikelilingin si yunior kepalanya pusing, akhirnya terjatuh terjerembab ke tanah dan apesnya satu tangannya patah, antara pergelangan dan siku terlipat. Segera kami larikan ke rumah sakit dan orang tua yang bersangkutanpun dihubungi. Dirumah sakit standar prosedurnya harus dioperasi kemudian di gip, dengan perban setelah itu posisi tangan nantinya digendong. Orang tua si siswa itu tidak setuju operasi, meminta agar dibawa ke ahli patah tulang yang istilah setempat “Tukang Urut”. Kamipun membawa si penderita ke rumah tukang urut dan segera dilayani oleh keturunan si “Tukang Urut”. Benar saja sebelum acara perpeloncoan berakhir, si yunior sudah hadir lagi, walau kami berikan dispensasi tidak mengikuti kegiatan.
Keahlian penyambung tulang patah ini, riwayatnya diperoleh mendiang orang tertua dari keturunan yang sekarang,  dari perguruannya melalui mimpi.  Kebiasaan orang pesisir adalah menggeluti pekerjaan nelayan dan pertanian kelapa dan ladang. Khusus musim laut tidak berombak besar “musim teduh” istilah setempat; ikan GEMBUNG berombongan merapat ke pantai laut dekat pesisir. Kawanan Gembung inilah yang diburu para nelayan, kadang nelayan dadakan. Ahli “tangkal putung” yang pertama rupanya juga nelayan dadakan, memburu kawanan Gembung, mereka  biasanya berangkat Ba’da Isa’ dan merapat ke pantai menjelang subuh. Karena nelayan dadakan maka biasanya peralatan menangkap ikan meminjam dari orang lain, dapat terjadi kebetulan pemilik tidak hendak melaut berhalangan atau sudah kecapean. Atau ada juga orang yang mampu dikampung itu punya beberapa set “pekarangan” (istilah mereka untuk alat-alat penangkap ikan) terdiri dari: perahu, jala dan dayung. Singkat cerita karena nelayan dadakan, maka diapun dengan beberapa orang teman dadakan juga meminjam “pekarangan”  milik orang lain berupa sebuah perahu, tiga buah dayung, dan dua utas jala. Peburuan Ikan Gembung malam itu cukup mengasyikkan dan berhasil lumayan, ribuan ekor Gembung sudah berhasil dimasukkan ke dalam perahu, namun sayangnya salah satu dayung pinjaman itu patah. Kesepakatan tidak tertulis masyarakat setempat, hasil tangkapan dibagi menjadi:  sepertiga untuk pemilik “pekarangan”  dua pertiga dibagi untuk kru yang ikut dalam rombongan. Setelah hasil dibagi, peralatanpun dikembalikan. Ketika mengembalikan terus terang dilaporkan bahwa salah satu dayung patah. Sangat terperanjat (kaget) bukan kepalang cikal bakal ahli “Tangkal Putung” mendengar pernyataan pemilik dayung. Dikatakan pemilik dayung, bahwa dayung tersebut adalah peninggalan almarhum kakek dari kakek buyutnya, dengan memakai dayung itu bila pergi berburu ikan tak pernah meleset, oleh karena itu si pemilik dayung tidak mau tau harus menerima dayung tersebut dalam keadaan utuh tidak bercacat. (punya nilai historis).  Tidak mau diganti dengan dayung lain meskipun model, bentuk yang sama, apalagi kalau dibayar dengan uang. Serta merta kegembiraan atas keberhasilan berburu kawanan Gembung menjadi sirna disapu oleh omongan ketus pemilik dayung.  Agar tidak menimbulkan hal yang tidak diinginkan dan untuk meredam emosi, menghindari pertengkaran yang tak berujung,  maka si peminjam dengan ucapan mohon maaf yang “beribu-ribu”, disaksikan banyak orang kampung, memilih pulang tersipu membawa “dayung patah” pulang ke rumahnya. Si pemilik dayung tidak puas begitu saja, setengah menjerit mungkin masih terbawa emosi, mengatakan “saya tidak mau kalau disambung”, “saya minta utuh dayung pusaka itu seperti sedia kala”.
Alhasil sedihlah dihati kepala rombongan pemburu Gembung itu, sehinga tak enak makan dan tak enak tidur untuk beberapa hari. Dua hari dia menghabiskan waktu di rumah, karena menanggung malu, kalau keluar khawatir ketemu orang, mungkin akan ditanya bagaimana tentang dayung patah, paling tidak enak lagi kalau ketemu pemilik dayung, maklum kampung tidak begitu luas. Kampung yang kecil itu semakin sempit baginya. Entah bagaimana pada malam yang ketiga ditengah kegalauannya itu dan di suasana yang sulit tidur dan sedikit makan, rupanya sejurus diapun tertidur juga. Dalam tidurnya dia bermimpi diajarkan oleh seorang tua berpakaian serba putih dengan jenggot yang lebat, bagaimana cara menyambung kembali dayung yang patah itu, agar sama sekali tidak terlihat bekas patahnya. Diajarkannya seuntai do’a sambil dayung tersebut disuruh urut, oleh orang tua jelmaan mimpi. Tidak buang kesempatan begitu terbangun langsung instruksi itu dilaksanakan, dan keajaiban terjadi. Dayung patah tersebut tersambung dengan sempurna sama sekali tidak nampak bekas patahan. Keesokan harinya dengan rendah hati ditemani oleh rekan sesama berburu Gembung empat malam lalu, mereka mengantarkan kembali dayung dalam keadaaan seperti sedia kala. Tentu pemilik dayung bolak balik mengamati dayung itu dari berbagai sudut dan arah, sebab rasanya ia tidak percaya dayung itu kembali utuh karena melihat sendiri ketika dayung dalam keadaan patah. Tapi tidak  pula dapat dipungkiri memang benda yang dihadapannya adalah dayung pusaka kesayangan itu, sebab tidak dapat disangkal ciri-ciri dayung itu tak mungkin dapat dipalsu. Cerita dayung tersambung itu menyebar ke seluruh penjuru kampung.
Tibalah suatu hari ada seorang pemuda jatuh dari pohon kelapa, posisi jatuhnya merosot sehingga ketika kaki mendarat ke tanah dalam keadaan mendadak, kakipun salah satunya patah berat. Keluarga penderita coba-coba membawa si patah kaki kerumah “penyambung dayung”. Diapun coba-coba juga mengurut orang yang patah kaki itu dengan do’a yang sama dengan menyambung dayung. Ternyata dalam waktu singkat patah tulang tersebut tersambung. Orang berkomentar, “JANGANKAN TULANG, DAYUNG PATAH SAJA DAPAT DISAMBUNG”. Sejak itulah tersiar kabar sampai keluar kampung dan bahkan keseluruh kerajaan MATAN yang salah satu wilayahnya adalah tanah kayung, keistemewaan ahli “tukang urut” patah tulang tersebut. Karena kebanjiran pasien,  hobinya memburu kawanan Gembung terpaksa dia tidak lakoni lagi. Musim Gembung berlalu berulang-ulang sampai akhir hidup yang bersangkutan  harus melewatkannya sebab waktu banyak tersita melayani pasien patah tulang dari banyak kampung sekitarnya, bahkan sampai merambah dari luar kerajaan MATAN. Kini anak keturunan mereka semuanya masih manjur sebagai ahli “Tangkal Putung”, walau mungkin tidak lagi se ahli beliau pertama, sampai berhasil menyambung dayung patah. Konon hanya anak cucu keturunan langsung kencang ke bawah yang manjur melaksanakan profesi ini. Kalau orang lain, misalnya menantu walaupun misalnya do’anya diajarkan tidak akan manjur.
Diri ini kemudian membuktikan di tahun 2008, pulang kampung, dibonceng saudara menapaki jalan sepanjang kurang lebih 75 km menuju pedalaman, dimana jalannya masih rusak berat. Di sepenggal jalan yang rusak berat, pengemudi motor yang saya tumpangi hilang keseimbangannya, sehingga motor terjatuh dan kami terpental dari sepeda motor. Saya jatuh dengan pososi miring ke kiri dan terasa sakit bukan main rusuk kiri saya. Menurut hasil photo ronsen salah satu tulang rusuk saya patah. Walau anak-anak saya di Jakarta tidak mengizinkan, saya di kampung datangi juga tukang urut keturunan  ahli tangkal putung itu.  Kini rusuk tersebut tidak ada keluhan lagi, sudah nyambung rupanya. Kedua anak saya yang memang mereka adalah dokter, mengomentari bahwa tulang rusuk saya itu nyambung sendiri biar tidak diapa-apakanpun, selama enam sampai sembilan bulan. Walahu alam bisshawab.
Ternyata di dalam kehidupan ini, dalam keadaan yang sangat terpaksa kadang oleh Yang Maha Kuasa diberikan jalan keluar.  Syarat utama untuk mendapatkan jalan keluar itu agaknya adalah berihtiar sekuat kemampuan termasuk berpikir keras untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bila sudah berusaha sekuat tenaga dan berpikir keras, upaya terakhir serahkanlah semua persoalan kepada Pemilik dan Pencipta  alam ini. Yakinlah akan diberikan jalan keluar.

No comments:

Post a Comment