Wednesday 30 May 2012

MANAGEMENT BY “ANU”


Kalau ada orang yang menganggap remeh dan merendahkan bangsa ini, bagaimanapun sebagai anak bangsa kita mesti tidak akan menerima. Walaupun misalnya, kebetulan kita termasuk kurang merasa nyaman hidup di negeri ini lantaran semuanya serba sulit.  Pernah dalam suatu pemaparan di forum pertemuan para pengusaha dan para instruktur pelatihan international trade, diselenggarakan Kementerian Perdagangan (ketika itu Dep, Perdagangan) dimana pembicaranya salah seorang doktor dari negara jiran.  Si doktor antara lain mengemukakan bahwa ia heran kenapa harga gula di Indonesia itu 3 kali lebih mahal dibanding harga gula di negerinya. Padahal negeri mereka hanya sanggup memenuhi kebutuhan nasional mereka 30%, 70% kebutuhan gula rakyat mereka dari impor. Sedang Indonesia masih lebih banyak gula dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya ketimbang dipenuhi dengan impor.
Spontan saya mengangkat tangan ingin menjelaskan kepada pembicara, sebab entah bagaimana pernyataan itu menyentuh harga diri sebagai anak bangsa. Saya tersinggung, rasanya si doktor terlalu memuji negerinya merendahkan negeri kita. Mungkin saya terlalu sensitif, tentu saja si doktor bicara atas dasar data. Tentu maksudnya bukan untuk ngenyek, sebab kalau dengan maksud menghina, mungkin ia akan berfikir beberapa kali sebab ia berbicara di Indonesia di tengah audience  orang Indonesia.
Langsung saya diberi kesempatan bicara. Saya tanyakan kepadanya: “Apakah Bapak yakin bahwa teh atau minuman yang Bapak nikmati selama berada di Indonesia adalah diberi gula  buatan Indonesia”.  Jawab sang doktor: “Ndak tau saya, di hotel saya lihat gula dalam tempat gula yang dihidangkan tanpa diketahui buatan mana”.       Saya sarankan kepada si doktor: “Begitu pulang nanti Bapak mampir di toko, beli gula asli Indonesia. Setelah itu Bapak akan tau apa sebabnya kenapa gula Indonesia 3 kali lebih mahal dari gula di negara Bapak”.      Kelihatan sang doktor sepertinya masih penasaran, dan para hadirin juga menoleh ke saya.      Saya lanjutkan komentar saya: “setelah doktor membeli  gula buatan Indonesia dan mencicipinya doktor mengetahui sendiri “anu” nya gula buatan Indonesia”.   Rupanya bangsa tetangga masih kurang paham dengan istilah“anu” (jadi masih lebih hebat bangsa kita, kata anu punya banyak makna, umumnya kita mengerti). Oleh karena itu ia lanjut bertanya: “Maksud Bapak???” tanya si doktor lebih lanjut. “Ketahuilah bahwa disamping gula Indonesia mempunyai berbagai macam khasiat untuk kesehatan tubuh, juga rasanya 3 kali lebih manis dari gula buatan negeri Bapak”. Jawaban saya itu langsung disambut tepuk tangan meriah hadirin.        Bukan doktor dia, kalau ia tidak paham jika pertanyaan berikut jawaban saya tadi wujud ketidak senangan saya dengan pernyataannya membanding kehebatan negara mereka dengan negara tempat ia bicara, iapun seharusnya maklum bahwa hadirin juga mendukung saya diekspresikan dengan tepuk tangan meriah.         Pembicaraan berlanjut ke topik lain.
Kita banyak mendengar bahwa anak Indonesia, bila sekolah ke luar negeri selalu berhasil dengan baik. Banyak pula anak bangsa ini sukses berkarya di luar negeri. Banyak kita dengar kisah bahwa seorang lulusan dari sekolah di luar negeri, setelah mencoba ingin menerapkan ilmunya di Indonesia, dengan melamar kerja, tapi anehnya justru tidak diterima. Akhirnya yang bersangkutan kembali ke luar negeri ternyata ia sukses di sana.
Salah satu bukti kecerdasan bangsa kita adalah mengerti dengan hanya kata “anu” saja.    Contoh bila seorang ayah sedang memperbaiki sesuatu di rumah, kemudian bilang sama anaknya “tolong ambilkan anu”. Dengan serta merta datang apa yang dimaksud ayah tersebut. Misalnya si ayah sedang memperbaiki sesuatu yang berhubungan dengan listrik, spontan si anak tau yang dimaksud ayah minta diambilkan tang atau obeng atau pisau. Herannya pas, walau tidak genah disebutkan nama barangnya.
Senior saya di kantor pernah bercerita, bahwa bosnya dulu paling cocok dengan dirinya, karena serba mengerti instruksi si bos meskipun hanya dengan bahasa “anu”.  Si bos datang ke meja kerja senior saya itu, atau memanggil ke ruangannya, sambil menyerahkan sebuah draft atau berkas, cukup dengan instruksi “coba ini tolong di anukan”. Tanpa banyak komentar senior saya itu langsung menerima berkas atau draft dan mengatakan: ”baik pak”.    Betul juga begitu draft atau berkas yang berkenaan di tindak lanjuti,  lansung si bos setuju, tanpa ada lagi instruksi harus “dianukan”. Itulah sebabnya si bos sangat suka dengan senior saya ini.  Akibat pemahaman dengan “anu” ini begitu akurat,  kalau tugas itu bukan untuk senior saya, misalnya untuk temannya yang lain, instruksinya sedikit beda dengan kepada senior saya itu. Berkas diserahkan dengan pesan tolong berikan ke si anu untuk dianukan. Hebatnya senior saya itupun dapat menterjemahkannya bahwa berkas tersebut diserahkan ke seorang temannya yang tepat dan sekaligus menterjemahkan harus diapakan pekerjaan tersebut.
Rupanya si senior saya ini tidak yakin, bahwa orang lain juga akan begitu cekatan menerima instruksi “anu”. Buktinya giliran senior saya jadi bos, ia memperlakukan anak buahnya tidak lagi dengan instruksi yang hanya “anu”. Walau sesekali terwarisi juga management by anu dari mantan bosnya.
Pernah saya menjadi bendahara bos saya di suatu cabang kantor kami. Si bos menitipkan sejumlah uang tak-tis. Zaman itu masih dikenal uang tak-tis yang dipergunakan atas persetujuan bos untuk diberikan sebagai sumbangan, sebagai ikut berpartisipasi atau entah apapun istilahnya diberikan kepada pihak yang datang ke kantor menghadap bos kami dengan berbagai keperluan. Kadang yang datang minta sumbangan itu lebih keren dari bendahara bos, kadang seorang gadis yang rupawan.
Pokoknya aneka macam model dan strata tamu. Setiap kedatangan tamu model ini si bos memanggil saya ke ruangannya, di depan tamu si bos bertanya “kita punya anu masih adakah”. Saya harus dapat menjawab dengan tepat tergantung tatapan mata si bos. Jika dari tatapan matanya menghendaki saya harus mengatakan masih ada, maka saya akan jawab “baik pak masih ada sedikit” atau “baik pak masih ada”. Langsung si bos instruksi lebih lanjut “tolong anunya bawa ke sini”. Saya pun harus mengerti berapa besarnya “anunya” tersebut dan memasukkan ke dalam amplop. Di kesempatan lain, bisa saja saya harus menjawab “pas lagi kosong pak”, walau mestinya ada, kalau tatapan mata si bos ketika menanyakan “kita punya anu masih adakah”, saya menterjemahkannya tamu bos ini seharusnya tidak diberikan sumbangan.
Dapat pula bos memanggil saya ke ruangannya, kemudian mengenalkan dengan tamunya, selanjutnya instruksi: “tolong anunya buat ...... (menyebut nama tamunya)” langsung saya harus paham, kembali ke ruangan saya dan menyiapkan amplop sejumlah tertentu menyerahkan ke bos untuk tamu tersebut.
Hubungan saya dengan bos tersebut lebih dari empat tahun belum pernah salah terjemah terhadap kalimat “anu” dari bos saya tersebut.

No comments:

Post a Comment