Sunday 20 May 2012

UJIAN BATHIN

Bila diputar ulang perjalanan hidup seseorang sejak mulai mampu mengingat sampai di usia sekarang ini (di bawah 40 tahun atau 60,70 80 tahun lebih), sepertinya mungkin hampir setiap orang mengalami suatu peristiwa yang merupakan ujian bathin bagi yang bersangkutan. Ada yang menjalani ujian tersebut melakukan dengan jalan yang tepat dan ada yang menjalaninya dengan jalan yang salah. Apapun pilihan dalam menjalani ujian tersebut sudah terlanjur berlalu. Bagaimanapun jarum jam kehidupan tidak mungkin untuk diputar mundur.
Kalaulah pilihan dalam menyikapi ujian bathin itu adalah benar dan tentu tidak akan timbul penyesalan sampai nantipun, sebaliknya bila salah, hanya memohon ampunan kepada Allah atas kesalahan tersebut dengan tekad tidak akan mengulangi lagi kesalahan dimaksud. Karena kita tidak mungkin untuk mengulang kembali masa lalu kita itu, bagaimanapun kelamnya, apapun kesalahan yang terlanjur dibuat.
Adalah soerang mantan supir taxi pernah berkisah kepada saya, ketika suatu saat mengantar orang asing yang naik dari pusat perkantoran/bisnis di Jakarta Thamrin ke pemukiman komunitas orang bule di bilangan Jakarta Selatan. Setelah penumpang turun, si pengemudi taxi melanjutkan perjalanan untuk mencari penumpang lain, tetapi seiring dengan macetnya jalan-jalan di Jakarta kebetulan setelah mengantar si bule itu beberapa ruas jalan dilalui belum juga ada penumpang. Kebetulan sudah menjelang siang, taxi ditujukan ke warung tegal di dekat pepohonan rindang. Sebelum meninggalkan taxi sudah kebiasaan standar setiap pengemudi, melirik kembali ke seluruh kabin dan pintu apakah sudah semua terkunci. Tiba-tiba pandangannya tertuju ke jok belakang ternyata ada sebuah amplop coklat tergeletak.
Spontan niatan untuk mengisi bahan bakar diri diurungkan, ia langsung masuk ke kabin belakang taxi dan naluri manusia mungkin siapapun dia, langsung meraih amplop tersebut. Tindakan pertama menimang-nimang amplop (diletakkan di telapak tangan diturun-naikan) untuk mengira berapa berat barang di dalam amplop dan menduga-duga apa isi  amplop itu.
Ujian bathin yang pertama mulai terjadi. Ada beberapa pilhan yang sekaligus berada dalam bathin si supir taxi. Keputusan harus segera diambil, siapa tau si penumpang ingat nomor lambung taxi dan segera lapor ke kantor pusat taxi. Adapun pilihan bathin itu adalah:
1.    Pilihannya, amplop  tidak dibuka, inikan barang orang, barang kali ada rahasia.
2.    Bathin menyarankan buka saja, siapa tau barang berharga kan si penumpang tidak tau ini.
3.    Terlintas juga di bathin bahwa jangan dibuka, ya kalau barang legal, kalau narkoba bagaimana disimpan berbahaya dilaporkan polisi malah terlibat jadi saksi lalu hilang waktu narik taxi.
4.    Apapun yang terjadi harus diketahui isinya, kalau itu barang berharga bagaimana nantilah.
5.    Setelah dibuka kalau ternyata barang berharga kuasai dan jika sipenumpang lapor ke kantor pusat perusahaan taxi, dapat saja berkilah bahwa tidak tau, tidak menemukan barang ketinggalan,  sebab sudah beberapa orang penumpang turun naik.

Pak supir kemudian mengambil keputusan keempat dan condong langsung untuk keputusan ke lima jika ada pertanyaan dari kantor pusat perusahaan taxi.

Begitu dibuka sedikit ujung amplop, ternyata terlihat lembaran uang US dollar yang masih segar-segar, masih ber ikat karet.  Langsung amplop kembali ditutup dan dada si supir mulai berdegup kencang, lihat dollar si udah pernah,  tapi setebal itu kepegang tangan belum siap. Pelan-pelan dengan posisi agak mbrangkang/merangkak, amplop dari sandaran jok belakang dimasukkan ke laci sebelah kiri di depan kursi penumpang sebelah kiri dan langsung dikunci. Berikutnya ia memilih berdiam diri beberapa saat duduk di jok belakang. Selain menenangkan perasaan juga agar tidak menimbulkan gerakan mencurigakan bagi orang yang sedang makan di warung tegal yang diantaranya ada juga sesama supir taxi.  Jumlah tepatnya uang belum pasti ketika itu, karena kalau dihitung ditempat seperti itu kurang pas dan kurang aman. Kemudian ia memilih segera pulang dan menunda makan siang, langsung di rumah saja pikirnya.

Tentu saja istrinya kaget, melihat suaminya pulang siang, tidak biasanya. Kalau pas dapat giliran narik pagi biasanya pulang sudah agak malaman. Tapi si isteri tidak serta merta menanyakan, karena keluarga mereka memang sudah terbiasa kalau suami pulang tidak langsung dibrondong pertanyaan, tetapi si isteri segera menyiapkan kopi kesukaan suaminya, agak beberapa saat kemudian “sudah sempat makan siang mas”?,  tanya isterinya. Dijawab singkat “belum”. Langsung isterinya menyiapkan makanan dengan lauk ala kadarnya direbuskan supermi dipecahi telor.

Timbul lagi ujian bathin berikut, tentang amplop di laci mobil, yaitu ada dua pilihan, apakah hal ini diberitahukan isteri atau tidak diberitahukan. Bathin menjadi tidak tenang dan ketidak tenangan tersebut tidak dapat disembunyikan dan tentu akan diketahui oleh isteri yang sudah lama membina rumah tangga sampai punya anak tiga. Untuk tidak mengundang kecurigaan yang lebih jauh dari si isteri, pak supir kemudian memberitahukan isterinya tentang apa yang dialaminya menemukan amplop penumpang itu.

Amploppun segera di ambil dari laci mobil dibawa masuk kerumah, kebetulan di rumah hanya tinggal mereka berdua, anak-anak masih disekolah. Amplop kemudian dibuka bersama, sepasang suami isteri itu alangkah kagetnya mereka, tenyata ada tiga gepok (bendel) uang dolar Amerika terikat karet masing-masing ikat terdiri dari pecahan 100, pecahan 20 dan pecahan 10. Setelah mereka hitung dengan cermat:
    pecahan 100 ada 100 lembar jadi berjumlah USD 10.000
    pecahan 20 ada 80 lembar jadi berjumlah USD 1.600
    pecahan 10 ada 98 lembar jadi berjumlah USD 980
jadi jumlah isi amplop adalah USD 12.580. dengan pengetahuan yang minim mengenai nilai tukar mereka sudah dapat menerawang bahwa kalau ditukar jadi rupiah maka akan lebih-kurang sekitar  seratus juta rupiah.

Kini persoalan sudah tidak ditanggung sendiri, sudah berbagi dengan isteri yang harus ikut memikirkan pemecahan masalah. Ujian bathin menjadi beban suami isteri, mereka kemudian masing-masing bermenung untuk beberapa saat dan kemudian terlibat diskusi hangat. Memang jika seseorang mendapatkan suatu ujian bathin dan sesuatu yang menjadi beban pemikiran, butuh orang lain untuk berbagi rasa dan kalau sudah dibagi terasa seperti bebannya sudah agak berkurang. Meskipun mungkin orang yang dibagi cerita itu tidak membantu ikut memikirkan. Tapi masalah mereka berdua, tentu isteri sangat berkepentingan memikirkan dan mencari jalan keluar yang terbaik.

Mengejutkan, isteri pak supir mendorong kuat suaminya agar mengembalikan uang tersebut, jelaskan kepada pemilik terus terang amplop sudah dibuka, karena ingin tau isinya seberapa jauh pentingnya. Walau semula persoalan amplop sudah dibuka ini jadi perdebatan sepasang suami isteri itu.
Alasan pokok bagi isteri mendorong suaminya untuk mengembalikannya adalah:
1.    Uang tersebut jelas bukan uang halal, sekurang-kurangnya subhat.
2.    Orang yang bersangkutan tentu sangat merasa kehilangan dan jelas menderita kerugian
3.    Sedangkan pihak kita (maksudnya suami siteri itu) mengatahui bahwa itu uang punya seseorang yang diketahui alamatnya, sebab satu-satunya penumpang yang pertama menggunakan taxi suaminya dan sesudah itu tidak ada penumpang lain.

Berat memang keputusan ini diambil karena seumur-umur sepasang suami isteri itu belum pernah memiliki jumlah uang sekaligus ratusan juta seperti dihadapan mereka saat ini. Rumah saja masih ngontrak dari tahun ke tahun. Kalau uang itu dibelikan rumah sudah dapat yang type lumayan di BSD (Bekasi Sonoan Dikit). 

Setelah mandi dan ganti pakaian (waktu itu supir taxi di Jakarta belum pakai seragam seperti sekarang). Bulat tekad si abang taxi memasuki mobil dan meluncur menuju alamat penumpang yang punya amplop itu diturunkan. Dalam perjalanan dan bahkan sesampainya dihalaman rumah yang diduga didiami pemilik amplop itupun masih bergejolak ujian bathin dikembalikan atau tidak uang tersebut. Tapi bagaimanapun dibulatkan tekad ditekan bel pagar rumah tersebut. Sebentar kemudian keluar seorang mbak-mbak menghampiri pagar yang masih tetap terkunci. “Cari siapa?”, kata pembantu rumah tersebut, tentu saja si abang taxi tidak dapat mengemukakan namanya, karena memang tidak tau, satu-satunya jawaban hanya menyebutkan bahwa: “tadi sekitar pukul sepuluhan saya ada mengantar orang sepertinya orang asing ke alamat ini, boleh saya ketemu sebentar”. “Tunggu sebentar” jawab mbak pembantu.

Belum beberapa langkah si mbak pembantu berbalik arah menuju pintu rumah, dari dalam rumah keluar penumpang yang kenali wajahnya si abang taxi, langsung menuju pagar dan menyuruh pembantu membuka pintu pagar. Rupanya percakapan pembantu dan supir taxi tadi terdengar samar-samar ke dalam rumah, memang si bule karena merasa ketinggalan amplop di taxi, sudah bingung harus bagaimana. Suatu harapan setelah dilihatnya dari kaca jendela ada taxi yang ditumpangi tadi supirnya turun dan berdialog dengan pembantunya. Dengan bahasa Indonesia yang cukup baik dipersilahkannya supir taxi itu masuk ke rumah.

Tanpa basa-basi si abang taxi menceritakan bahwa ditemukannya amplop, singkatnya si bule juga langsung menyebutkan itu amplop berisi uang persis seperti yang telah dihitung oleh abang taxi dengan isterinya lengkap dengan rincian pecahannya.

Amploppun diserahkan dan oleh si bule dicek kembali, dan kemudian menarik dua lembar pecahan USD 100, diberikan ke abang taxi sebagai ucapan terima kasih, tak lupa ia minta si abang taxi menuliskan nama dan alamatnya (waktu itu belum era HP).

Dalam perjalanan pulang si supir taxi masih saja membayangkan kalau uang itu tidak dikembalikan sudah punya uang sekitar seratus juta, dapat beli rumah dan tidak jadi “kontraktor” tiap tahun. Tapi sudahlah sudah terlanjur, ini yang terbaik dan juga sudah keputusan bulat dibuat bersama isteri. Jadi kontraktor tiap tahunpun tidak apalah, kesempatan dibuang sudah sepersetujuan isteri dan justru dia yang paling getol suruh mengembalikan. Setidaknya kalau isteri menyesali jika tidak punya rumah sendiri, ini dapat jadi senjata pamungkas, “habis kau si dulu ada kesempatan tidak diambil”. Kesempatan jarang terjadi dua kali.

Tiga bulan kemudian setelah peristiwa pengembalian amplop berisi uang itu, suatu hari isteri pak supir dikagetkan ada sebuah surat masuk ke rumah kontrakan mereka. Sore harinya surat disampaikan ke sang suami ternyata isinya memanggil pak supir taxi untuk dapat ke bilangan perkantoran di Jl. Sudirman Jakarta menghadap pada Mr ....... (disebutkan namanya), pada hari Selasa pagi tanggal .....antara pukul 09.00 sampai pukul 11.00.

Semalaman terganggu juga tidur pak supir karena apa tujuan surat panggilan ini, tidak pernah merasa melamar pekerjaan. Untuk menghilangkah ke was-wasan pada hari ditentukan tepat pukul sembilan iapun datang ke gedung dimaksud dan langsung naik lift menuju lantai perusahaan yang disebutkan dalam surat. Singkatnya surat ditunjukkan ke resepsionis yang berada di mulut area kantor dimaksud. Setelah beberapa saat menunggu dipersilahkan menghadap nama yang disebutkan di dalam surat dan ternyata dianya adalah penumpang taxi yang ketinggalan amplop kurang lebih tiga bulan lalu.

Melalui penterjemah diperoleh kesimpulan si supir taxi ditawari sebagai karyawan di perusahaan asing tersebut, dengan tawaran gaji yang jauh lebih tinggi tiga kali dari penghasilan pengemudi taxi. Rupanya penumpang taxi tersebut adalah pejabat perusahaan swasta asing yang empat bulan lalu baru pindah ke Jakarta. Akan hal kejujuran si supir taxi diwartakannya pada kelompok pimpinan perusahaan, sehingga direkomendasikan untuk direkrut jadi pegawai. Kebetulan abang supir ini secara formal mengantongi ijazah sekolah teknik mesin. Walau di perusahaan asing itu tidak mempersoalkan ijazah tapi paling tidak yang bersangkutan akan gampang adaptasi dengan tugas apapun yang diberikan oleh perusahaan. Kelanjutannya mantan abang taxi itu betah bekerja diperusahaan tersebut dan tiga tahun kemudian sudah sanggup mencicil rumah untuk dimiliki sendiri di komplek perumahan sederhana di sekitar DKI Jakarta.

Masalah ketinggalan bawaan di dalam taxi pernah kami alami sendiri, waktu itu saya menjemput isteri pulang dari haji tahun 1992, saya menjemput dari Pondok Gede bersama saudara sepupu saya. Salah satu tas tentengan diminta oleh sepupu saya agar ia yang membawanya, dia duduk di samping sopir sedang bagasi lainnya satu  dipegang sendiri oleh isteri dan koper pakaian saya pangku (tidak masuk bagasi mobil) agar gampang begitu nyampai langsung keluar taxi. Benar saja begitu keluar kami pun membayar ongkos taxi dan langsung menuju rumah, kebetulan rumah ini rumah dinas baru,  ketika isteri saya berangkat haji dari kota lain. Saya dimutasi ke Jakarta ketika isteri berangkat haji. Entah karena perhatian ke hunian baru kami itu atau bagaimana, kamipun langsung masuk rumah dan sepupu saya itu masuk dengan tangan kosong, tidak membawa tas yang diletakkan dekat kakinya duduk di kursi depan taxi tadi. Begitu menyadari hal itu, langsung menelpon ke kantor pusat taxi yang bersangkutan, kami kebetulan tidak mencatat nomor lambung taxi. Sampai sekarang tas berisi pakaian lembab/kotor dan ada uang USD 300 disisipkan di alas/dasar tas, tidak diperoleh kembali. Uang tersebut disimpan di kain dasar tas dengan dilobangi kecil kemudian ditutup dengan rapi, jadi kalau bukan orang yang memasukkannya tidak mengetahui kalau didalamnya ada uang. Isi tas yang terlihat  hanya pakaian bekas beberapa helai yaitu pakaian dalam yang nilainya tidak seberapa, itu saja tidak dikembalikan oleh sopir taxi. Coba kalau ia mengembalikan mungkin kami akan menghadiahi ybs bisa-bisa selembar pecahan USD 100 atau sekurangnya ongkos beberapa kali naik taxi.

Itulah salah satu model kejujuran, yang kadang diawal terasa kurang nyaman, kurang menguntungkan tetapi dalam banyak hal berujung kenikmatan. Setidaknya bagi orang beragama ujung yang paling diharapkan adalah kehidupan sesudah hidup ini, buah kejujuran akan dipetik di alam nanti.

Kejujuran manusia dipengaruhi oleh dorongan dari dalam, yaitu dorongan rohani. Manusia memang mempunyai potensi untuk curang, berbuat tidak adil, tidak jujur, berbuat kejahatan. Dibalik itu manusia sekaligus berpotensi untuk jujur, berbuat baik, berlaku adil. Kadang manusia harus berada dipersimpangan jalan dari sifat baik dan sifat buruk itu. Kemana arah potensi itu dipengaruhi oleh nafsu yang ada di kalbu manusia yang bersangkutan.

Nafsu manusia oleh banyak ustadz dikelompokkan menjadi tujuh yaitu: (1) nafsu amarah, (2) nafsu lawwamah, (3) nafsu sawwalat, (4) nafsu muthmainah,  (5) nafsu radhiyah, (6) nafsu mardhiyah dan (7) nafsu sawwiyah. Dari sekelompok nafsu tersebut energi penggerak nafsu tersebut sehingga terwujud dalam sikap dan perbuatan dipengaruhi oleh sifat manusia yang terbentuk dari sifat hewani, sifat insani dan sifat nurani.

Sifat hewani; serakah, tidak pernah puas, tidak perduli punya siapa saja yang penting dapat diambil. Sifat hewan ini bila masih melekat pada hewan belum seberapa rusaknya, sebab hewan memang serakah tetapi hanya sebatas pemenuhan kebutuhannya sesaat, contoh se buas-buasnya harimau bila ia sudah memangsa seekor rusa ia akan makan rusa itu sampai habis baru ia berburu lagi. Kalau dia serombongan sedang menyantap seekor rusa, biar rusa-rusa lainnya bersileweran tidak ia ganggu. Lain hal bila sifat hewani diadopsi manusia, kalau berburu misalnya rusanya ada tujuh ekor kalau mungkin dibunuh semua, dagingnya di buat dendeng. Begitulah uang triliunan dikorupsi,  kalau dipikir buat apa, sebab bila dipakai sendiri sampai mati tak habis, tapi tetap diembat juga.

Sifat insani; sifat ini juga akan berusaha mendapatkan kepuasan dunia sebanyak-banyaknya berupa harta benda dan kekayaan serta jabatan, akan tetapi sudah ada pembatas,  harus sesuai dengan logika, sesuai norma, sesuai ketentuan yang berlaku. Kadang bagaimanapun caranya dilaksanakan asal tidak diketahui orang, asal tidak terkena hukuman dunia, hukuman masyarakat, tidak melangar norma. Seperti misalnya pak supir yang menemukan amplop tadi bila hanya menggunakan sifat insani, ia tidak akan kembalikan. Sebab tidak ada tuntutan dari yang punya, kalaupun sampai dapat ditelusuri, juga masih dapat menggunakan dalih-dalih logika untuk tetap tidak mengembalikan uang tersebut. Begitu pula supir taxi yang menjemput kami dari Pondok Gede, sifat insani mungkin yang menahan dia untuk mengantarkan tas ketinggalan di taxinya karena mungkin pikirnya atas dasar logika tidak materiil hanya sebuah tas tentengan isinyapun hanya pakaian kotor. Besar kemungkinan ia tidak mengetahui bahwa di dalamnya ada uang USD 300,-

Sifat nurani; sifat ini membentuk pribadi manusia menjadi berahlak mulia, bertutur kata lembut tidak ada orang yang terluka karena lidahnya. Mereka berpikir sebelum berkata, bukan berkata baru mikir. Segala tindakan dipekirakan sedalam-dalamnya sejauh jauhnya agar tidak merugikan orang lain. Segala tindakan harus bermanfaat tidak akan berkata dan berbuat sia-sia. Usianya diisi dengan penuh perbuatan kebaikan. Tidak lagi materiil yang menjadi ukuran dan tujuan, tidak mau mengambil hak orang lain, tidak akan memakan makanan yang haram.  Baik haram  dari unsur kimiawinya, haram dari cara mengolahnya maupun haram dari  proses memperolehnya. Ujian bathin itulah yang dimenangkan oleh sepasang suami isteri mantan pengemudi taxi tersebut kisah di atas. Mereka tidak bersedia memakan harta yang haram dari proses memperolehnya. Orang yang sifat nuraninya dominan menguasai dirinya jangankan harta yang haram, harta yang subhat (ragu-ragu antara halal dan haram) pun dihindarinya.

Semogalah sebagian besar anak bangsa ini banyak yang mengasah sifat nuraninya sehingga menjadi pendorong perilaku berbuat bertindak dalam posisi apapun ia berada, baik penguasa maupun rakyat. Dengan demikian Insya Allah keberkahan akan dibukakan Allah dari langit dan dari bumi. Sebab seluruh manusia Indonesia tidak ada lagi yang korupsi dan kemakmuran untuk seluruh rakyat akan terealisasi. Seperti janji Allah dalam Alqur’an surat Al A’raf ayat 96:
 
Walau anna ahlalquraa amanuu wattaqau lafatahna a’laihim barakatin minassamaa iwalardhi walakin kadzabuu fa akhadznaahum bimaa kanuu yaksibuuna (Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya).

Pengasah sifat nurani tersebut adalah salah satu ikhtiarnya dengan memperdalam/memperlajari ajaran agama. Walaupun seorang yang mengerti agama belum tentu nuraninya terasah, banyak kita saksikan orang yang mengerti agama tapi masih juga suka makan yang haram.  Kita tidak boleh mengatakan bahwa orang beragama banyak yang korupsi, tapi kita boleh menyimpulkan bahwa orang yang korupsi tidak mematuhi agamanya. Wallahu a’lam bishshawab.






No comments:

Post a Comment