Monday 30 January 2012

TETANGGA

“Cari tetangga sebelum berumah”. Demikian sepotong kalimat yang kedengarannya aneh, kalimat hikmah dipesankan orang-orang tua dulu. Bila direnungkan kalimat itu banyak benarnya dan sangat dalam sekali maknanya. Tetangga sangat penting, posisinya melebihi keluarga dekat tetapi jauh rumahnya. Sangat terasa bagi kita-kita yang usia senja dan sesekali dikunjungi sakit.
Hidup saya kebetulan punya dua anak lelaki memilih profesi jadi dokter, kebetulan pula anak menantu saya yang baru satu, juga seorang dokter. Jadi penduduk rumah ada tiga orang dokter. Suatu malam, sejak pukul tujuh malam, sudah mulai terasa kondisi kesehatan menurun. Memang sepuluh tahun terakhir ini, saya mulai menderita penyakit gula, kalau kondisi seperti malam itu, biasanya gula darah bermasalah. Betul juga sekitar pukul tujuh malam gula darah sewaktu ditest pakai “Gluco Dr” angka menunjukkan 70. Atas anjuran anak saya yang tengah di RSCM melalui hp, saya disuruh minum air gula. Berhasil juga sampai menjelang tidur naik gulanya hampir seratus. Tau tau ba’da subuh isteri saya dengan bantuan tetangga mengantarkan saya ke rumah sakit, sementara saya dalam keadaan tidak sadar. Keberadaan di rumah sakit saya ketahui setelah pagi hari dalam keadaan infus melekat di tangan.
Anak dan mantu saya kebetulan malam itu tidak ada di rumah, anak yang tua sedang berada di luar kota, sementara anak yang satu lagi sedang di rumah sakit (RSCM) berada di meja operasi dan tak dapat ditinggalkan, sedangkan anak mantu sedang dinas malam di rumah sakit di bilangan Bekasi yang cukup jauh dari posisi kami di Jakata Pusat. Alhasil kalaulah tidak ada tetangga yang mengurus saya, sulit dibayangkan bagaimana mengangkut saya kerumah sakit. Syukurnya walaupun kami berada di Jakarta Pusat, namun kebetulan kerukunan rukun tetangganya cukup baik. Itulah guna tetangga, dan membenarkan kalimat hikmah di awal tulisan ini. Kalimat hikmah itu terinspirasi dari hadits Rasulullah s.a.w. “Pilihlah tetangga (lihat calon tetangganya atau lingkungannya dulu) sebelum memilih rumah. Pilihlah kawan perjalanan sebelum memilih jalan dan siapkan bekal sebelum berangkat (bepergian). (HR. Al Khatib).
Persolannya adalah, di saat sekarang ini tidak lagi setiap orang dapat menentukan untuk berumah di mana, banyak faktor yang menentukan seseorang bertempat tinggal. Antara lain tempat mencari nafkah/tempat mendapat pekerjaan. Seseorang lahir di suatu kota, orang tua serta seluruh keluarganya dikota kelahirannya, belum tentu ia akan mendapat kerja, mendapat lahan mencari nafkah di kota kelahirannya. Ada lagi sebuah keluarga yang karena instansi tempat ini bekerja, pindah-pindah pekerjaan ke berbagai kota, di setiap kota telah ditetapkan oleh institusinya menempati rumah dinas. Dua contoh di atas bagi yang beruntung, sementara ada keluarga yang kurang beruntung, mencari tempat tinggal sesuai kemampuan, kebetulan masih jadi “kontraktor”, apa boleh buat sesuai ukuran kocek menentukan tempat tinggal.
Di kota seperti Jakarta, kini sudah sempit tanah untuk pemukiman, sekarang banyak dibangun “Apartemen” dan “Rusun”. Bagi yang berkantong tebal menghuni “Apartemen” bahkan ada yang memilki “Apartemen” hanya untuk investasi, tidak dihuni. Sementara bagi yang berkantong agak tipis menghuni “Rusun”. Di Jakarta di tengah kota metropolitan ini banyak sekali penghuni RSSS (Rumah Sangat Sederhana Sekali). Ukuran 2 x 3 meter dihuni puluhan orang. Rumah hanya digunakan untuk nyimpan pakaian, kalau tidur gantian, atau milih tidur di jalan. Yang tersebut terakhir tentu bukan pilihan mereka, pada dasarnya mereka juga tidak kehendaki keadaan itu, tapi apa mau dikata, mereka hidup ini tidak pernah ajukan aplikasi. Mereka telah dilahirkan di ruangan itu, dibesarkan di ruangan itu. Nasiblah yang kelak akan membawa mereka kemana. Sambil menunggu kebijakan pengatur negara ini, bagaimana mengatasi kehidupan sebagian masyarakat ibu kota republik ini. Bicara soal tetangga, mereka bertetangga dekat sesama kawasan yang punya tempat tinggal ukuran yang hampir sama. Kelompok ini mudah tersulut emosi, mungkin penyebabnya protes dengan keadaan sekeliling. Kemewahan terpamer di depan mata, mobil mewah lalu lalang di jalan tak jauh dari hunian mereka, gedung mewah dan kehidupan serba berkecukupan begitu melek mata terlihat jelas. Sementara mereka tak kuasa mengangkat diri keluar dari serba ketidak cukupan.
Soal bertetangga, saya pernah menempati komplek perumahan yang dibangun bank BTN waktu itu disebut PERUMNAS dari masih lajang sampai punya anak satu. Ada seorang teman akrab saya juga ikut sepaham dengan saya mencicil bangunan di perumahan itu. Posisi kami belakang-belakangan. Rumah saya menghadap ke barat sedang rumah rekan saya itu menghadap ke timur. Saya sudah menerapkan “pilih tetangga sebelum berumah”. Teman saya ini teramat baik, ibarat kata, kalau saya kenapa-kenapa dia akan tampil lebih dulu melindungi dan mengatasi masalah saya. Selama saya berteman dengan beliau (lebih tua hampir sepuluh tahunan dari saya), belum pernah mengecewakan. Beliau punya anak tunggal, dengan isterinyapun baik kepada saya dan keluarga sampai setelah saya menikah, sampai kami berpisah karena saya mutasi ke kota lain. Kebetulan kami sekantor, pulang dan pergi ke kantor berbarengan. Ada saatnya kami berdua mendapat kesempatan dari kantor pendidikan bersama-sama dan diinapkan di penginapan. Tidak pulang kerumah selama seminggu. Di kantor kami kalau pendidikan, dapat uang saku. Dasar saya masih saja ingin bercanda, besok paginya setelah pulang ke rumah, dengan suara agak keras saya berteriak dari lantai dua kepada isteri saya yang meringkes celana akan di cuci. “Dek-dek, tolong keluarkan uang dari celana uang saku kursus ada tujuh puluh lima ribu jangan sampai kecuci”. Rupanya isteri Pak Is, juga sedang berada di kamar mandi mereka yang dekat dengan kamar mandi kami hanya di pisahkan jalan cuma liwat sepeda motor. Agaknya teriakan saya dari lantai dua itu terdengar oleh Bu Is. Ketika itu juga sedang mengeluarkan isi kantong-kantong celana Pa Is dari pulang kursus. Beliau juga menemukan uang, tapi hanya Rp 7 ribu lima ratus. Tahun-tahun itu uang masih “gagah”, biaya hidup keluarga kami (belum punya anak) cukup dengan tujuh sampai sepuluh ribu seminggu.
Rupanya teriakan saya itu berpengaruh lumayan buat Pak Is dan Bu Is. Kasihan Pak Is, mendapat perubahan sikap dari Bu Is selama beberapa hari, mungkin lebih seminggu. Akhirnya pak Is tidak tahan melihat perubahan sikap isterinya sepulang kursus, kemudian bertanya. Kenapa kau jadi begini, kira-kira tanya pak Is pada isterinya. Isterinya sambil menangis dengan suara tersendat mengatakan “Papah punya simpanan cewek lain”. “Kau ini ngomong apa, ndak ada ujan dan ada angin, nuduh orang sembarangan, dari siapa kau dapat cerita ngawur ini”. Sela Pak Is dalam perdebatan itu. Kalaulah pak Is bukan lelaki yang bijak, akan bermasalah dengan saya, umpamanyalah pak Is lantas naik pitam setelah mendengar ucapan isterinya langsung ia melabrak saya sebab isterinya bilang dalam dialog: “Itu dari pak Syarif”. Kalau cuma berhenti di kalimat itu, langsung Pak Is tidak tanyakan lagi maka berantakanlah persahabatan kami yang sudah sekian lama. Untung Pak Is tanya lagi, kapan dan apa yang Pak Syarif omongkan. Isterinya menceritakan bahwa: pak Syarif di rumahnya pagi hari ketika isterinya meringkes celana bekas kursus, menyebutkan uang saku sebesar Rp 75 ribu. Sementara dalam saku papah hanya Rp 7.500,-- kemana yang lain, pasti untuk cewek lain. Berderailah tawa Pak Is ditengah isak isterinya, karena tau tabiat saya suka bercanda. Pak Is tau setelah mendengar cerita isterinya bahwa cerita itu di dapat isterinya tidak melalui tatap muka, melainkan hanya dengan “nguping omongan tetangga”. Pak Syarif sengaja ngledek kamu, nanti tanya ke bu Syarif orangnya nggak kan bohong atau nanti kufotokopikan list penerimaan uang saku dari kantor, siapa dapat berapa terlihat disitu....... Itulah bahayanya nguping omongan tetangga.
Dari kisah ini patut jadi pelajaran, di samping jangan begitu percaya saja dengan omongan tetangga, apa lagi dari hasil nguping. Jadi suami juga jangan mudah mengambil kesimpulan dan sikap, bila mendapat informasi dari isteri, harus disaring dulu. Apalagi kalau ada laporan dari isteri di saat capek-capek pulang kantor, jangan langsung di telan, tapi pikir yang baik, saring, kalau perlu endapkan sehari dua, agar terhindar mengambil langkah yang salah. Jadi isteri juga jangan gampang percaya dengan informasi, harus di kros cek. Intinya kalau ada sesuatu berita tentang suami jangan langsung ubah sikap, baiknya secara terbuka dikonfirmasi. Bila suami pulang, jangan langsung dibrondong dengan segala macam laporan terutama yang kurang enak. Barang kali itu pesan dari seorang yang sudah berumah tangga selama 30 tahun utamanya buat pasangan muda. Hidup ini memang tak berhenti belajar, termasuk ketika berumah tangga, semuanya dalam belajar. Benarlah pesan bijak Rasulullah Muhammad s.a.w. “Udlubul ilma mahdi ilal lahdi”. (Menuntut ilmu sejak buaian ibu sampai liang lahat). Bersuami atau beristeri juga harus saling mempelajari sifat masing-masing. Setelah punya anak belajar lagi bagaimana sebagai ortu. Setelah punya mantu belajar lagi bagaimana bermenantu dan berbesan. Giliran mendapat cucu belajar lagi bagaimana bercucu agar sayang ke cucu tak jadi berebut cucu dengan besan misalnya. Dstnya.
Kali lain tentang bertetangga, pernah diri ini hidup disuatu komplek rumah dinas bersama keluarga. Suasananya adalah pada pagi hari di hari kerja, para suami berangkat menuju pekerjaan masing-masing, kebetulan isteri saya juga berangkat kerja ke kantornya. Bagi ibu-ibu yang kebetulan tidak bekerja di kantor, manakala usai mengantar para suami ke depan pintu, sebagian ada yang memanfaatkan waktu senggang itu untuk ngrumpi. Di depan uadience saya di kelas sering saya berkelakar bahwa manusia normal punya kebutuhan ngomong: “Kebutuhan biologis manusia normal soal ngomong, adalah sebanyak 10 ribu kata per hari, kalau kebutuhan itu tidak terpenuhi maka yang bersangkutan kurang sehat”. Jadi bagi ibu-ibu yang kebetulan tidak beraktivitas, butuh ngomong, wajar kalau ngomong disalurkan melalui ngrumpi. Kalau media ngrumpi tidak ketemu, jangan heran kalau ada ibu-ibu yang suka ngomel dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan 10 ribu kata. Para suami harus maklum, jangan juga ikut balas ngomel, dengarkan saja omelannya, dia akan berhenti sendiri kalau sudah cukup 10 ribu kata. Bagi ibu-ibu yang beraktivitas misalnya juga masuk bekerja di kantor, kebutuhan ngomong itu didapat selama bekerja, dengan teman sekerja, dengan mitra usaha dan masyarakat umum yang berinteraksi.
Tetangga punya ajang ngrumpi seperti ini juga semestinya bukan pilihan, tapi apa boleh buat terpaksa dijalani kalau tersedianya kediaman seperti itu. Untung keadaan sedemikian hanya sementara, beberapa tahun. Namun tetap saja harus pandai-pandai mematut diri bertetangga di dalam komplek rumah dinas, arahkan isteri jika kebetulan tidak ikut bekerja di kantor, supaya batasi kumpul-kumpul ngrumpi, tetapi jangan pula dijauhi. Kalau dijauhi lantas jadi objek rumpian, sementara kalau terlalu dekat juga tidak baik, kalau ada masalah sedikit saja akan kentara. Kondisi seperti ini pandai-pandailah membawa diri sebab bila bergaul terlalu dekat bagaikan tali yang dipilin menjadi tambang, kalau terbuka maka tali tidak akan mulus kembali. Bagaimanapun tetangga sangat penting, karena bila terjadi masalah tetanggalah pihak yang pertama akan dapat dimintai tolong, sedangkan keluarga dan famili yang jauh rumahnya tidak dapat segera menolong, apalagi jika sakit mendadak, penyakit-penyakit tertentu menurut perhitungan manusia ada “golden time”, waktu-waktu yang bila terlewat maka kesempatan untuk sembuh akan hilang.
Allah memberikan petunjuk praktis tentang bertetangga di dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 36

Wa’budullaha walaa tusrikuu bihi syaian wabilwaalidaini ikhsaanan wabidzil qurbaa walyataamaa walmasaakiini waljaaridzil qurbaa waljaaril junubi washaahibi biljanbi wabnissabiili wamaa malakat aimaanukum, innallaha laa yukhibbu man kaana mukhtaalan fakhuuran.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
[294]. Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang muslim dan yang bukan muslim.
[295]. Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.

Semoga kita, mempunyai tetangga yang baik, jadikan diri kita pelopor menjadi tetangga yang baik bagi tetangga lainnya. Dapat memahamkan ayat tersebut di atas yaitu diperoleh pesan langsung dari Allah pencipta diri kita ini, agar hidup ini selamat dan aman tentram dunia dan akhirat berbuat baiklah kepada:
• dua orang ibu-bapa,
• karib-kerabat,
• anak-anak yatim,
• orang-orang miskin,
• tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh
• teman sejawat,
• ibnu sabil dan
• hamba sahayamu.
Dengan tambahan syarat “tidak sombong dan suka membanggakan diri”, serta hidup sebagai penyembah Allah semata, tidak mensekutukan Allah.





No comments:

Post a Comment