Thursday 9 February 2012

Hasad

Entah berapa banyak jumlah jenis penyakit manusia secara phisik, tentu itu ranah para dokter untuk berusaha mencarikan obat penyembuhnya. Walau makin tahun makin banyak saja penyakit baru yang muncul belum diketahui obatnya, sementara banyak jenis penyakit lama yang sampai hari ini belum juga diketahui obatnya.
Manusia tercipta dari phisik dan jiwa, roh dan jasmani. Sebagaimana jasmani, jiwapun adakalanya sakit. Diantara penyakit jiwa yang jelas nampak adalah “hilang ingatan”. Sedangkan sakit jiwa selain “hilang ingatan” itu tadi tidak kalah banyaknya dibandingkan dengan penyakit phisik. Bahkan menurut penelitian di Jerman (Radio Jerman “deutsche welle” bahasa Indonesia pagi 08-02-12) bahwa lebih 50% penyakit phisik bersumber dari jiwa, perasaan dan pikiran.
Pengobatan sakit phisik kebanyakan ke dokter alamatnya, sedangkan penyakit jiwa sebagian terbesar tidak dapat dilimpahkan ke dokter, terutama penyakit jiwa dalam artian rohani penyembuhannya dimungkinkan dengan keyakinan agama.
Salah satu penyakit rohani dalam terminologi agama penyakit hasad, yaitu seseorang yang tidak senang mendengar atau melihat orang lain senang/mendapatkan kebahagiaan. Sangat bahagia/senang bila melihat, mendengar orang lain menderita kerugian, kesusahan.
Untuk menilai apakah diri anda sedang mengidap penyakit hasad silahkan introspeksi apakah diri anda termasuk berperangai dengan kecenderungan:
1. Senang melihat orang lain susah, susah melihat orang senang. Bersyukur kalau orang mendapatkan musibah/kerugian/bencana. Bersedih hati jika orang mendapatkan keberuntungan/kebahagian.
2. Berusaha agar orang lain menjadi susah, berusaha agar kesenangan orang lain menjadi hilang.
3. Berusaha agar orang lain menjadi susah bila perlu mencelakai orang lain itu, merampas kesenangan orang lain agar pindah kesenangan/kebahagiaan itu kepadanya.
4. Berusaha agar orang lain susah, walaupun karena itu ia juga ikut susah dalam bathinnya biar sama-sama susah. Berusaha menghilangkan kesenangan orang lain walaupun dengan hilangnya kesenangan orang lain itu dianya sendiri tidak menjadi senang.

Penyakit ini menghinggapi orang dalam suatu komunitas, orang yang ia hasad kepadanya adalah sesama sekelompok. Hampir tidak perduli dengan komunitas lain, walaupun di komunitas lain itu orang sesukses apapun. Orang sekampung, orang satu perusahaan, orang satu institusi, orang satu profesi, orang yang masih sekeluarga dan hubungan kekeluargaan.

Orang sekampung.
Ia tidak suka menyaksikan orang sekampung dengannya mencapai kesuksesan, dicari cacat celanya, karena dialah katanya yang paling tau mengenai orang yang sukses itu, bagaimana ia dulu. Dari riwayat dan asal usul si sukses itu, seharusnya sangat tidak wajar ia sukses, dulunya begini, dulunya begitu dan lain sebagainya. Pokoknya dia merasa tidak terima atas kesuksesan orang sekampung dengannya.

Orang satu perusahaan/orang satu institusi.
Penyakit hasad sangat mudah hinggap di kalangan orang-orang dalam satu perusahaan. Dalam organisasi perusahaan/insitusi. Promosi dalam karier tidaklah seperti halnya ketika masih sekolah. Siswa /mahasiswa yang satu angkatan naik kelas dan selesai pada umumnya bareng dalam jumlah yang sama, hanya satu dua dalam jumlah yang kecil tidak berhasil. Lain halnya dengan di lapangan pekerjaan. Ada kata-kata bijak diungkapkan untuk mahasiswa ketika selesai kuliah.
“Untuk sukses dan berprestasi ketika kuliah harus jadi mahasiswa yang pandai”
“Untuk sukses dan berprestasi di masyarakat harus jadi orang yang pandai-pandai”

Jadi di masyarakat, di tempat kerja seseorang tidak hanya dituntut “pandai” tetapi rupanya harus dituntut dengan “dua pandai” atau pandai-pandai.
Di masyarakat dan di dunia kerja, orang naik jabatan, meningkat karier tidak lagi sama satu angkatan. Sama-sama masuk dengan pendidikan yang sama, seseorang melejit kariernya, sedangkan yang lain biasa-biasa saja. Orang yang kebetulan bernasib tidak semujur temannya yang melonjak kariernya itu, jika mengidap penyakit hasad, sungguh sangat menderita. Tinggal tergantung tingkat hasad yang bersangkutan pada stadium mana dari 4 (empat) stadium yang tersusun di atas. Makin tinggi stadiumnya makin berat keadaan orang itu, tidak jarang harus mengorbankan apa saja. Di instansi/institusi perusahaan kadang tidak jarang yang bersangkutan, bila juga tidak berhasil mencapai tujuan pemenuhan hasad itu, ia berhenti keluar dari suatu pekerjaan dan pindah ke tempat lain.
Bukan tidak ada setelah yang bersangkutan pindah ke tempat bekerja lain, dapat menyaingi rivalnya di tempat bekerja lama, bahkan lebih berjaya. Tidak pula jarang terjadi, setelah pindah malah terpuruk. Tapi bagi si penyandang hasad walau terpuruk yang penting puas dihati.
Ini yang sering kunasihatkan buat anak-anakku dimeja makan, jangan turutkan perasaan hasad yang ada di hati. Manusia memang berpotensi punya sifat itu dan jika diturutkan akan merusak diri. Jika melihat teman sekerja sukses, syukuri dan ikut berbahagia. Yang penting bekerjalah yang terbaik yang kita bisa, kesuksesan itu, siapa yang bakal melejit kariernya itu adalah sudah dipilih oleh yang menciptakan kita. Kalau kita sudah bekerja yang terbaik yang kita dapat lakukan itu sudah cukup untuk menyelamatkan dunia dan akhirat.

Orang satu profesi.
Hasad sangat mudah hinggap pada kelompok orang seprofesi, sebab dengan profesi yang sama sering terjadi ada yang populer ada yang biasa-biasa saja dan bahkan hampir tidak dikenal. Ambil contoh profesi sebagai seorang ustad. Ada ustad yang bila berceramah, para pendengarnya terkagum kagum, berjam lamanya dia berceramah orang tak ada yang bosan. Kemana mana sering diundang ceramah sampai mendapat julukan penceramah kondang. Sementara itu ada ustad juga yang konon seilmu dan mungkin lebih tinggi ilmunya, tapi memang bakat masing-masing, rupanya cara penyajian beda dan tidak sepopuler si ustad kondang. Tak jarang si ustad ini pun dihinggapi penyakit hasad, tandanya lantas misalnya menyindir “ceramah bukan untuk mendapatkan tepuk tangan seperti sebagian ustad yang memasukkan humor dalam ceramahnya” ujar si ustad dalam suatu ceramahnya. Lanjutnya lagi “Kalau saya tidak, saya sampaikan sesuai apa adanya”. Demikian contoh gaya ustad yang juga terkena penyakit hasad. Jangan dikira penyakit ini hanya diderita oleh orang awam, tak jarang hinggap kepada ustad dan juga imam shalat. Bukan tidak mungkin seorang imam shalat ketika mengimami waktu membaca bacaan shalat dalam hati terbetik perasaan halus “begini membaca yang benar ndak seperti si anu yang sekarang jadi ma’mum kalau dia jadi imam” ini juga karena hasad, sebab si anu rival sesama imam tadi sering ditunjuk jadi imam. “Biar dia mendengar contoh bacaan yang pas”, sambung bathin si imam.
Pedagang sesama pedagang, biasanya pedagang barang sejenis. Tukang cendol biasanya tak akan iri dengan pedagang buah. Menyoal hasad bukan monopoli bangsa kita saja, bukan monopoli bangsa yang agama bukan menjadi dasar/falsafah negara. Tetapi di negara para nabi lebih hebat lagi hasad ini dimunculkan orang. Tahun 2000 saya pernah berkunjung ke Saudi melaksanakan umrah bersama dua anak saya, isteri serta Ibunda dan Adik. Rombongan kami termasuk keluarga saya hanya 17 orang, jadi program ziarah rombongan kami sangat efektif dan santai karena bis besar disediakan untuk kami sungguh leluasa. Di Madinah program tour umrah kami adalah mampir di pasar korma tak jauh dari masjid nabawi. Singkat cerita bis besar yang kami tumpangi itu parkir dilahan parkir diarahkan oleh Mutawwif (pemandu wisata) di depan sebuah toko. Katakanlah misalnya persis di depan toko Blok A4. Namanya rombongan, mereka berkeliaran melihat-lihat korma di beberapa toko dan akhirnya banyak diantaranya yang belanja korma di toko blok A6, A5 dan bahkan ada di A3. Rupanya pemilik toko A4 tidak terima, parkir di depan tokonya belanja di toko lain. Si pemilik dan kerani toko A4 tak segan-segan menyamperi pemilik toko A5, A6 dan A3 marah-marah. Saya baru menyaksikan mereka ribut bertengkar masing-masing seperti kontes urat leher, dada dengan dada sampai bertemu, anehnya kedua tangan mereka di taruh di belakang pinggang. Jadi tidak terjadi saling pukul. Kami tidak paham apa yang mereka pertengkarkan itu, apalagi bertengkar dalam bahasa arab, ngomong perlahan saja sedikit sekali perbendaharaan bahasa arab kami. Yang terpikir buat kami cepat-cepat kembali ke bis dan cabut dari daerah itu, takut juga kalau terjadi apa-apa di negeri orang. Dalam perjalanan Mutawwif kami menjelaskan bahwa yang dipertengkarkan oleh para pemilik toko kurma tadi adalah “parkir di depan tokonya, tapi belanja di toko lain yang jadi sasaran kemarahan pemilik toko tempat belanja, rombongan kami. Dianggap pemilik toko lain menggaet pembeli yang seharusnya belanja ditokonya” Ada satu budaya mereka bahwa berantem hanya pakai mulut dan beradu dada, tangan disimpan dibelakang, sebab kalau sampai memukul hukumannya berat dan yang dipersalahkan siapa yang lebih dulu memukul. Peristiwa ini terjadi karena hasad. Ia kurang yakin bahwa rezeki dari Allah. Hati pembeli tertarik belanja di toko mana yang mereka suka, walau dengan harga, kualitas dan pelayanan yang sama, semuanya hak Allah untuk menggerakkan langkah pembeli. Model hasad di negeri kita belum sampai seperti itu agaknya, kalaupun ada secara halus, lebih ekstrim mungkin tak bertegur sapa.

Orang yang masih sekeluarga
Tetua kami di tanah melayu Kalimantan Barat punya pepatah:
“Kelapa setandan tak sama jatuhnya”.
“Ada yang hanya sampai beluluk”
“Ada yang jadi santan di belanga”
“Ada yang cengkir airnya diteguk”
Kelapa menjadi buah, melalui proses mayang terbungkus mancung kelapa (bungkus bunga kelapa), kemudian mayang terurai terjadi penyerbukan oleh serangga dan angin, jadilah beluluk (pentil calon buah kelapa). Tidak semua mayang menjadi beluluk, tidak semua beluluk menjadi buah kelapa, lebih dulu dimakan tupai. Setelah jadi buah kelapa, tak jarang baru saja ada air di dalamnya belum ada daging kelapa, masih cengkir, sudah dilobangi tupai, atau ada pula orang ngidam ingin minum air kelapa cengkir, diambilkan beberapa buah kelapa cengkir dari tandannya. Setelah buah agak berdaging, ada pula orang yang suka kelapa muda yang baru berdaging sedikit, ada juga yang ingin kalau dagingnya sudah agak tebal (dogan kalai) tapi belum keras. Ada pula kelapa sudah tua baru dipetik untuk diambil santannya dimasak dalam belanga atau dijadikan kelapa kopra. Ada juga yang sampai tua jatuh sendiri, kemudian menjadi bibit. Begitu falsafah setandan buah kelapa.
Tapi tak banyak orang yang menyadari bertamsil kepada alam ciptaan Allah. Kakak adik sekeluarga saling hasad dan iri hati, tidak senang kalau saudaranya sukses, malah berupaya untuk menjatuhkannya dengan tingkatan-tingkatan stadium saya kemukakan di atas. Belum lagi berhasad dengki mengenai pembagian waris. Satunya menganggap pihak dia yang lebih berhak atas warisan yang itu, sedang dia (saudaranya) dulu masih orang tua hidup sudah dapat lebih banyak, disekolahkan sampai keluar negeri, “tidak seharusnya ia dapat juga, karena sudah banyak menghabiskan uang almarhum Papah”. Kata saudara yang ingin pembagian lebih banyak. Banyaklah problem yang membuat kadang adik beradik menjadi tidak akur. Pangkalnya adalah penyakit hasad. Belum lagi bila ada campur tangan suami atau isteri dari mereka yang bersaudara yang menghimbau/ngompori dari belakang, perhasadan semakin seru. Banyak kita dengar kakak adik sampai kemeja hijau lantaran soal warisan, itu masih jauh lebih baik, ada yang saling bermusuhan sampai tua. Naudzubillahi min dzalik.

Hubungan kekeluargaan.
Masyarakat kita di Indonesia, adalah model masyarakat yang masih kental hubungan kekeluargaan. Keluarga dekat adalah anak-anak paman dan tante bahkan sampai garis keturunan keempat kelima, masih dianggap keluarga. Banyak segi positipnya memang, tetapi tak kurang pula sisi negatipnya. Misalkan salah seorang atau sekelompok dari yang masih dianggap keluarga itu kebetulan berada di posisi atas dalam strata sosial, katakanlah jadi pejabat terpandang dan banyak harta. Sanak famili kadang diantaranya ada yang malah menjauh karena menganggap si sukses tadi sombong, tidak perdulian dengan sanak famili. Sebaliknya si sukses disebabkan banyak teman dan handai serta relasi sudah tidak sempat mengambil perhatian untuk sanak famili sendiri. Penyakit hasad yang melekat di hati keluarga yang kurang sukses, kadang sampai mendo’akan “yang kurang baik” kepada si sukses. Kalau kebetulan suatu saat si sukses benar-benar jatuh, maka sanak famili yang merasa dianggap sepi sewaktu si sukses berjaya, sangat bersyukur. Ini bentuk penyakit hasad yag seyogyanya dijauhi. Kalau bukan ada hubungan kekeluargaan dengan mereka, orang lain sukses malah mereka tidak ambil perduli, kalau keluarga sendiri yang sukses justru hasad/irinya setengah mati.

Adalah ikhtiar untuk mengobati penyakit hasad yang berpotensi di dalam diri kita mungkin ada baiknya kita renungkan sejenak peristiwa pada jaman Rasulullah Muhammad s.a.w. masih hidup tentang soal per hasad an ini yaitu:

Dalam suatu majelis Nabi bersama sejumlah sahabatnya, tiba-tiba beliau mengatakan: “Sebentar lagi akan datang ke majelis ini seorang ahli surga”. Tidak lama kemudian seorang lelaki datang masuk ke dalam majelis dan ikut berkumpul dalam majelis Nabi. Kejadian tersebut terulang sampai kali yang ketiga dilain kesempatan diucapkan Nabi, lelaki yang datang juga orang yang sama. Al hasil para sahabat lainnya yang semuanya tentu menginginkan menjadi ahli surga, ingin berguru atau memantau apa gerangan yang diamalkan oleh salah seorang sahabat yang diketahui bernama “Saat bin Abi Waqash” itu.
Disetujui oleh sekumpulan sahabat lainnya mengutus “Ibnu Ummar” menjadi “mata-mata”. Diaturlah situasi sedemikian rupa sehingga Ibnu Umar bermalam di kediaman “Saat bin Abi Waqash”.
Selama tiga malam sampai sengaja malam hari sang mata-mata tidak tidur, untuk mengamati amalan si empunya rumah, tatapi tidak didapatkannya perbuatan istimewa yang dilakukan sahibul bait. Pagi hari ke empat, tamu menyatakan pamit mohon diri. Di dalam pamit itu terus terang dikemukakan maksud dan tujuan sampai bermalam tiga malam, untuk memikul tugas dari sekelompok sahabat yang mendengar sabda Rasulullah dikemukakan di atas. Sahibul bait menyatakan bahwa ia tidak punya amalan istimewa, dan memang kenyataannya seperti yang disaksikan selama tiga malam oleh si tamu. Salah satu yang diamalkannya, adalah tidak pernah merasa hasad atas karunia Allah yang diperoleh orang lain. Itu hanya pelajaran diperoleh Ibnu Umar dari bermalam tiga malam di rumah orang yang dinyatakan Rasulullah sebagai ahli surga. Demikian khutbah Jum’at seorang khatib di salah satu Masjid di bilangan Jakarta Pusat.

Mengambil i’tibar dari peristiwa itu, Insya Allah bila kita jauhkan hasad, di dunia ini hidup akan tenang tentram dan bahagia, terbebas dari beban penyakit jiwa yang cukup mendera, sedangkan di akhirat dijanjikan surga.



No comments:

Post a Comment