Sunday 25 December 2011

NASIB RAKYAT SEJAK DAHULU

Belum lama ini di tahun 2011, tergulinglah presiden Mesir Husni Mubarrak setelah puluhan tahun menjadi penguasa mesir. Untuk menggulingkan presiden Mesir itu bukan sedikit pengorbanan rakyat, banyak yang mati dan luka berat, tidak mustahil mati menjadi korban ketika berdemonstrasi. Setelah Husni Mubarrak jatuh, kembali rakyat menjadi korban lagi oleh penguasa yang menggantikannya. Berbagai media mewartakan sampai tulisan ini diturunkan sudah belasan orang yang kehilangan nyawa. Begitulah nasib rakyat tetap saja tidak enak.

Di zaman silam, rakyat Mesir juga bukannya hidup enak, karena merekalah yang menjadi pekerja, diperas keringatnya untuk kesejahteraan para penguasa mereka yaitu para raja. Bahkan sampai rajanya mati juga rakyat mesir harus banyak yang ikut mati dengan menderita, membuatkan pemakaman raja yang mati itu berupa piramida. Membangun sebuah piramida bukan hal yang ringan, tenaga rakyatlah yang dikerahkan untuk mengangkut bebatuan, tidak sedikit harus menemui ajalnya, dana rakyatlah yang dihimpun untuk biaya pembangunan.

Di negeri ini, rakyat di zaman penjajahan ditindas habis-habisan oleh penjajah. Sebelumnyapun bukan sepenuhnya enak, harus hidup miskin dan membayar upeti kepada raja-raja. Sementara di zaman penjajahan sebagian besar raja-raja bahkan hidup enak menjadi perpanjangan tangan penjajah, atau sengaja dikondisikan oleh penjajah hidup mewah supaya tidak menentang penjajah.

Sebagai puncak penderitaan, rakyat rebut kemerdekaan dengan mengorbankan jiwa dan seluruh kemampuan yang ada, banyak rakyat menderita dan menjadi korban untuk memerdekakan bangsa ini. Setelah merdeka yang namanya rakyat tetap saja kembali menderita. Cotoh terlihat jelas dengan mata dan terdengar keras di telinga misalkan saja kasus perkebunan dan pertambangan. Pemerintah lebih berpihak kepada perusahaan, ketimbang kepada rakyat jelata.

Lahan yang didiami di kelola rakyat sejak turun temurun, kalah oleh izin yang datangnya dari Pusat. Dari Provinsi dan Kabupaten. Apakah benar atau tidak, katanya konon tanah/hutan negeri ini dibagi dari “ATAS”. Pada hal, sudah berabad lamanya tanah di hutan Kalimantan, Sumatera dan Papua dan pulau seluruh nusantara itu dikuasai bersama oleh nenek moyang, untuk memberi hidup turun temurun. Memang sebagian besar mereka tidak punya secarik kertas tanda kepemilikan sesuai aturan administrasi pemerintahan, tapi mereka punya bukti telah pernah menjamah tanah tersebut, telah pernah berladang huma di tanah itu, bahkan ada tumbuhan yang ditanam oleh mereka, pohon nangka, durian cempedak dan aneka tanaman keras lainnya. Bahkan ada pula yang bertanam karet telah disadap untuk mengasapi dapur selama ini. Ada memang hutan yang tidak ditanami dan dihuni, dihutan ini tempat mereka mencari rezeki untuk memenuhi gizi hewani, banyak dapat diburu kijang dan rusa. Kini kawasan itu telah tiada, tak lagi kita mendengar kicauwan burung sedang bercanda, orang hutan bergelantungan melompat dari pohon ke pohon, habitat mereka sudah porak poranda.

Rakyat di desa pada dasarnya patuh, sayangnya mereka kurang punya akses administrasi. Seharusnya sebelum izin diberikan harusnya proses dari bawah, didata dari dusun dan kampung, terus ke kelurahan dan kecamatan baru ke kabupaten dan ke provinsi selanjutnya ke pusat, agar izin untuk perusahaan tidak menyentuh milik warga. Pendataan hendaklah secara jujur jangan berbumbu rekayasa, misalnya secara formal telah didapat persetujuan penduduk desa, tak kurang tanda tangan dan cap jempol, tertera di atas kertas. Mungkin sudah waktunya pendataan dari bawah tersebut (jika hendak dilakukan) melibatkan pihak yang netral tak punya interest, semisalnya pihak mahasiswa melalui kerja sama dengan perguruan tinggi.

Jika pendataan “kepemilikan fakta” tanah dan hutan dilakukan dari bawah dan dilakukan dengan jujur tanpa rekayasa disaksikan pihak yang netral, tentu tidak akan terjadi lagi tempat jemuran di pekarangan rumah warga yang sudah turun temurun berdiam di tanah leluhurnya itu, jadi masuk lahannya perusahaan. Bila sudah sampai begitu, yang dibawa adalah surat izin, rakyat yang nota bene tidak punya surat bukti kepemilikan itu harus dikalahkan. Pihak penguasa membela kepentingan pengusaha dengan alasan investasi. Dengan alasan sesuai ketentuan yang berlaku. Kembali rakyat menderita termiskinkan atau dimiskinkan dengan sebab perusahaan. Sejak sekolah dasar oleh guru kita diingatkan V.O.C. yang akhirnya menjajah, bermula berusaha di Nusantara ini. Kenapa negeri ini kita jual pada perusahaan. Kenapa negeri yang sudah merdeka ini dibiarkan dijajah lagi oleh perusahaan. Kalau perusahaan adalah perusahaan negara, masih mending rakyat yang masih punya nasionalisme tinggi tidaklah terlalu mengurut dada. Yang terjadi perusahaan asing pula yang mengusainya, atau perusahaan yang dikelola bukan penduduk asli bernenek moyang di negeri ini. Sementara negara hanya dapat remah-remahnya saja. Penduduk setempat hanya menjadi penonton menyaksikan tanah leluhur mereka dibangun kebun, hutan mereka dimusnahkan “raksasa besi”.

Terpulang kita menyerah, memang beginilah nasib rakyat dari zaman ke zaman tetap harus susah, harus miskin. Rakyat tidak dapat mencari nafkah di tanah nenek moyangnya sendiri. Untuk mengobat hati yang lara, kita hanya menghibur diri bahwa kita sebagai rakyat tidak sendiri. Rakyat di belahan dunia lainpun, juga selama menjadi rakyat tetap menderita, salah satu contoh rakyat Mesir, seperti terungkap di awal tulisan ini.

Pinjam istilah orang yang asal ngomongKalau ndak mau susah jangan jadi rakyat”. “Kalau takut ombak jangan berumah di tepi pantai”. Si pengomong lupa bahwa jadi rakyat bukan pilihan, sejak lahir langsung jadi rakyat. Kalau jadi pejabat, adalah pilihan. Satu untungnya jadi rakyat ndak pernah dipecat, bila karena sesuatu pejabat dipecat dari jabatannya bisa kembali lagi menjadi rakyat, sedangkan rakyat kalau dipecat dari rakyat lalu jadi apa. Juga pepatah “Kalau takut ombak jangan berumah ditepi pantai”, benar ada pepatah itu, orang tua dulu mem publish itu pepatah sebagai peringatan tentang risiko. Pepatah tak sesuai buat orang pantai yang sedang dilanda musibah. Berumah ditepi pantai juga bukan pilihan utama mereka, sejak lahir nenek moyang sudah di tepi pantai. Begitu juga sudah dari nenek moyang tinggal di pedalaman di dekat hutan, kenapa hutan yang tempat nenek moyang menyimpan sumber penghidupan itu harus dirampas oleh perusahaan.

No comments:

Post a Comment