Monday 19 December 2011

BERBUAT BAIK BELUM TENTU DINILAI BAIK

Yakin saya, bahwa bagaimanapun jelek seseorang pasti di dalam hidup ini pernah berbuat baik. Perbuatan baik itu diantaranya termotivasi oleh keinginan dinilai baik, ada juga ingin mendapatkan pembalasan lebih baik, atau setidaknya setara dengan kebaikan itu. Dari bahasa agama, sering ustadz berpesan “Berbuat baik dengan ikhlas tanpa mengharapkan balasan”. Inipun sesungguhnya tidak sepenuhnya benar, sebab juga mengharapkan balasan yaitu keridhaan Allah atas amal kebaikan itu, dengan demikian mengharapkan juga ganjaran dari Allah. Justru disitu letaknya penting niat, yaitu beramal kebaikan karena Allah semata dan mengharapkan pembalasan dari Allah.

Perbuatan baik yang diiringi ingin balasan sesama, atau orang lain di atas kita maupun di bawah kita sering berujung pada kekecewaan. Sebab pembalasan itu kadang tidak sepadan dengan kebaikan, bahkan mungkin tidak mendapatkan pembalasan kebaikan, tak jarang dapat pembalasan yang tidak menyenangkan. Kenyataan ini membuktikan benar tuntunan agama yang disampaikan ustadz bahwa beramal kebaikan dengan ikhlas hanya mengharapkan balasan dari Allah, mesti tidak akan kecewa, setidaknya tidak kecewa selama masih hidup. Di akhirat kita ndak tau apakah amal baik itu dicatat dan diberi pahala, tergantung kadar keikhlasnnya, tetapi paling tidak jika landasan perbuatan baik itu dengan niat mengharapkan balasan Allah semata, didunia ini tidak akan kecewa, misalnya tidak berbalas atau lebih ekstrim lagi bagaikan memberikan air susu tidak akan kecewa kendati dibalas dengan air tuba.

Contoh-contoh perbuatan baik yang mendapat pembalasan ekstrim seperti misalnya:

Seorang pemuda sedang berjalan kaki, lewat dipinggir jalan dilihatnya sebuah sepeda motor tumbang. Tergerak hatinya ingin berbuat kebaikan. Dihampiri motor tumbang tersebut kemudian diberdirikannya. Yang terjadi adalah, justru dia dituduh pemilik yang kebetulan keluar dari gedung atau bangunan, menunju motornya, bahwa si pemuda tadilah yang menumbangkan motornya. Lebih ekstrim lagi bisa saja malah dituduh sipemuda tadi justru akan mencuri motor. Makanya kalau di kota besar orang sering cuek; itu sebabnya. Misalnya melihat seseorang kena copet, kemudian memberitahukan kepada pihak kecopetan bahwa tadi ada copet, ada dua kemungkinan: Pertama; sipemberi tahu disesali kenapa ketika tadi sedang copet beraksi tidak memberitahukan. Padahal risikonya ia akan ditandai oleh group copet, karena belum ada lembaga perlindungan saksi untuk kasus seperti ini, keamanan diri akan terancam. Kedua; bisa-bisa ia malah dituduh kawanan pencopet. Akhirnya, orang melihat kejahatan memilih diam, dari pada timbul risiko. Di suatu sudut kampung di dalam kota Jakarta, masjid di sekitar lokasi bersabung azan setiap waktu, saking banyaknya masjid di sekeliling. Tak jauh dari sudut kampung tersebut ada pula pemakaman umum, luas sekali, hampir setiap hari ada saja jenazah lewat untuk dimakamkan, kadang lebih dari satu. Sementara itu setiap selepas magrib ada saja masjid di sekitar lingkungan memberikan petuah agama, dengan pengeras suara yang lantang terdengar penduduk setempat. Kontras dengan keadaan itu, walau masjid dekat, sering petunjuk agama didengar, peringatan akan kematian setiap hari dilihat yaitu jenazah lewat, tetapi banyak tempat judi yang terang dapat dilihat oleh orang yang lalu lalang. Ingin berbuat baik, mencegah mereka sedang bermain judi, tentu tidak berani kecuali ada kesaktian seperti kisah para wali. Lapor ke yang berwajib, kadang membahayakan diri bila nanti ketahuan pelapor, oleh group yang suka judi. Sekali lagi perlindungan saksi dan pelapor belum mengcover sampai ke masalah sekecil ini. Sedang masalah besar-besar saja belum terjamah. Akhirnya juga memilih diam, hanya mengutuk di dalam hati, walau itulah wujud selemah-lemah iman. Karena tidak sanggup mengubah dengan tangan dan menegor dengan lisan.

Alenia di atas sekelumit perihal orang kota, takut berbuat baik, karena sering berujung yang tidak baik. Di kota kecil juga demikian, teman saya pernah mengalami, berbuat baik justru dapat pembalasan jelek. Dianya teman saya ini menjadi salah seorang pejabat di suatu institusi di satu daerah. Kebetulan ketika ia mulai pindah ke daerah tersebut, institusinya kurang mobil dinas. Kadang dalam keadaan terpaksa mobil pribadinya dipakaikan ke sopir kantor untuk urusan dinas katakanlah menemui mitra bisnis ke alamatnya. Benar juga suatu ketika mobil pribadi teman saya itu dipakai untuk keperluan dinas, diparkir dipinggir jalan masuk menuju alamat mitra bisnis institusi mereka tersebut. Bos institusi tersebut kebetulan hari itu baru dijemput sopir kantor dari bandara. Kota kecil gampang terlihat dan dihapal mobil-mobil teman sejawat. Kontan saja bos kantor memendam dalam hatinya bahwa, begini rupanya pejabat saya kalau saya tidak di tempat keluyuran begini, sempat terlontar dimulut si bos kepada sopir, “liat tu, ngapain “pak Anu” jam begini ada disini”. Biasa si Bos dari bandara tidak langsung mampir kantor, singgah dulu di rumah makan, kadang hampir tutup kantor baru ke kantor karena ada saja janji bertemu dengan mitra bisnis, mungkin juga di restoran atau kadang di lapangan golf.

Kasihan teman saya itu dinilai jelek oleh atasannya padahal dianya sedang berbuat kebaikan. Sopir serba salah untuk melaporkan hal ini. Bagi si sopir kalau melapor ke si pejabat teman saya itu, bisa saja terjadi hal yang tidak baik, bahkan mendapat penilaian jelek dari bos, misalnya “tukang adu-adu”. Kalau tidak disampaikan, kasihan si pejabat tersebut. Sementara dalam perjalanan ketika bos menggerutu, jika menjelaskan bahwa mobil tersebut dipakai orang lain, untuk keperluan dinas, ya kalau benar, kalau tidak malah celakalah si sopir. Kalau nekad menjelaskan sering mobil pribadi bapak “Anu” dipakai untuk dinas malah nanti si sopir dibentak lagi sama si bos “sok tau kamu”. Susah deh jadi sopir. Akhirnya si sopir memilih diam sampai si bos dan “pak Anu” pindah ke kota lain. Kasihannya “Pak Anu”dapat kondite jelek dari si bos walau sesungguhnya telah berbuat baik.

Begitulah adanya keadilan di dunia ini, tidak ada yang benar-benar adil, orang baik belum tentu mendapat kebaikan, belum tentu berbuat baik dinilai baik.

Petuah orang tua dulu:

Di depan bilik ada beranda

Buat duduk di petang hari

Berbuat baik ber pada-pada

Berbuat jelek jangan sekali

Maksudnya dalam berbuat baik hendaklah diolah pikir (ber pada-pada) jangan sampai, perbuatan baik itu berakibat menjadi tidak baik. Dalam pada itu berbuat kejahatan jangan dilakukan walau hanya sekali.

No comments:

Post a Comment