Wednesday 28 December 2011

ASU’ DI KETITIAN

Ketitian, adalah alat menghubungkan dua pinggir daratan yang terputus. Dapat berupa balok kayu, atau batang pohon kayu, atau bambu yang digandengkan, atau bahan apa saja yang kuat dilalui orang. Disebut “Ketitian”, apabila lebarnya terbatas hanya dapat dilewati oleh orang seorang. Kalau sudah dapat dilewati dengan berjalan berdampingan/seiring dua orang itu sudah berubah nama jadi jembatan kecil. Apalagi bila sudah dapat dilalui kendaraan roda dua itu sudah disebut “Geretak” (bukan berarti menakut-nakuti atau mengancam, pinjam bahasa daerah penutur sebagian penduduk Kalimantan bagian Barat). Dua daratan yang terputus yang mungkin dihubungkan dengan “Ketitian”, tidaklah terlalu lebar, misalnya sebesar parit, paling banter sekitar 3 sampai 5 meter. Atau tadinya ada jalan raya, terputus oleh bencana alam, tergerus erosi banjir, dibuat “Ketitian” untuk dapat dilewati orang berjalan kaki.

Asu, kata ganti untuk hewan yang oleh bahasa Indonesia juga disebut Anjing. Hewan ini adalah hewan yang sering dipelihara orang, dianya sangat setia kepada orang yang memeliharanya, memberi makan dan memberikan tempat tinggal padanya. Pengingatannya kepada tuannya sangat kuat ia mengenal suara tuannya, aroma tuannya tidak akan ketukar dengan orang lain. Asu bahkan mengerti bahasa tuannya, sehingga patuh menuruti perintah tuannya.

Di daerah-daerah, populasi Asu ini kadang melebihi dari banyaknya jumlah rumah penduduk. Rupanya si Asu betina kalau beranak kadang sesuai jumlah puting susunya yaitu delapan. Ingat saya masih kecil dulu, ada tukang obat sambil bersulap berkata begini:

“Sulap sulip susu anjing ada delapan.

Sekali mata berkedip, tukang sulap tidak kelihatan”.

Karena banyaknya Asu/Anjing, akhirnya banyak juga yang dibuang orang ke jalan, tidak ada yang memelihara, jadilah mereka Asu tunawisma, Asu tak bertuan (tunatuan), berkeliaran di jalan dan untuk mencari makan ia juga masuk ke hutan-hutan kecil dipinggir perkampungan.

Masuk kampung keluar kampung, masuk hutan keluar hutan, Asu sering melalui “Ketitian” untuk meneruskan pengembaraannya. Jika kebetulan dua anjing berlawan arah, dimana mereka ketemu di “Ketitian”, bukan main serunya. Salah satu anjing tidak mau mengalah, keduanya sama-sama adu galak menyalak/menggonggong. Dari kejadian inilah timbul pepatah “Bagaikan Asu di Ketitian”. Sebab mereka sama-sama ingin maju, sedangkan berpapasan tidak mungkin, sebab “Ketitian” kecil, berputar arah juga tidak dapat dilakukan, karena kalau berputar arah, jatuh ke bawah “Ketitian”. Biasanya di bawah “Ketitian” ada parit atau cekungan daratan yang tak nyaman dilalui. Itulah sebabnya tak ada penyelesaian yang baik kecuali adu gertak dengan menyalak/menggonggong.

Tamsil pepatah ini disindirkan kepada suami isteri yang kurang harmonis, hari-hari bawaannya tidak cocok melulu, sering cekcok, sering bertengkar. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi terus menerus bertengkar. Ada saja bahan pertengkaran mereka. Kok dapat bertahan rumah tangga kaya’ begitu?. Buktinya banyak kita dapatkan, mereka baru berpisah setelah umur salah seorang diantara mereka sampai habis, dan ternyata punya anak pinak cucu dan bahkan cicit.

Orang tua dulu dalam menerima lamaran atau mau melamar sering mempertimbangkan Bibit, Bebet dan Bobot. Faktor tersebut untuk menganalisis:

1. Apakah calon pasangan anaknya itu berasal dari keturunan orang suka bertengkar, kalau ngomong tak mau kalah.

2. Apakah calon pasangan anaknya orang yang terpandang dalam masyarakat, kalau orang terlalu amat terpandang sedangkan pihak anaknya kurang terpandang, dikhawatirkan akan disepelekan.

3. Apakah calon pasangan anaknya keturunan orang baik-baik tingkah lakunya, apakah punya masa lalu yang suram dalam ihwal tindakan tidak terpuji.

Urusan ketidak sepahaman yang sering membuat pertengkaran tak berujung itu, kadang sulit juga diserasikan, mungkin juga sulit dilogikakan. Sebab dapat terjadi kalau si “A” dengan si “B” sering tak sepaham, belum tentu salah di salah satu pihak. Banyak kasus “A” dan “B” selalu bertengkar. Bila berhubungan dengan “C” baik si “A” maupun si “B” akur-akur saja. Jadi bukan berarti “A” atau “B” pemicunya pertengkaran.

Pernah ada keluarga yang curhat mengenai kondisi “Bagaikan Asu di Ketitian”, ternyata ingin juga ia berbagi rasa dan kalau boleh keluar dari keadaan itu. Telah dicobanya untuk mengalah ketika mulai diacarakan pasangannya untuk bertengkar, tetapi lama kelamaan juga ia tidak dapat menahan gejolak hatinya ingin menangkis, terutama bila diri disalahkan. Al hasil pertengkaran terjadi lagi, kalau sudah begitu bagaikan api kesiram bensin, terus berkobar menyala-nyala. Baru selesai kalau salah satu undur dari gelanggang, ibarat terjatuh ke bawah “Ketitian”, istilah pepatah di atas.

Apa boleh buat kalau sudah begitu, rupanya pasangan anda dari sananya sudah terancang untuk suka bertengkar, sudah peruntungan anda “Bagaikan Asu di ketitian”. Apakah keluarga anda termasuk golongan ini?. Mudah-mudahan tidak. Kalaupun termasuk, sudahlah nikmati saja.

Sebagai pengobat hati mungkin perlu direnung nasihat Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah 216,

“.................................................................................... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

No comments:

Post a Comment