Thursday 15 December 2011

ANDA GENERASI TERJEPIT???

Setiap generasi ada identitas sendiri yang lain dengan generasi sebelum dan juga berbeda dengan sesudahnya, hanya saja jarang orang yang memperhatikan sekat pembatas pertanda antargenerasi tersebut. Kadang orang tua mengarahkan anak mereka kurang memahami berbeda zaman tersebut, masih saja menerapkan teknik mengarahkan anak dengan pola yang diterima ketika ia masih kanak-kanak dulu, warisan orang tuanya. Itu sebabnya tidak jarang antara orang tua dan anaknya jadi “berseteru”.

Salah satu beda zaman generasi kita dengan generasi sekarang, mulai dari pola makan, pola berpakaian, pola tidur dan belajar, pola berkendaraan, nilai menempatkan orang tua menempatkan anak dan anak menempatkan orang tua.

Pola Makan

Sebagaian besar suatu keluarga generasi dahulu, tahun enampuluhan, ayah adalah sebagai pencari nafkah utama, sehingga oleh isterinya (ibunya anak-anak) segala sesuatu yang enak-enak dari makanan dan minuman diutamakan untuk sang ayah. Kemudian barulah didistribusikan untuk anak-anak mereka yang pada umumnya jumlahnya banyak rata-rata di atas lima orang. Sedangkan sekarang pencari nafkah tidak lagi dimonopoli oleh sang ayah, ibu juga ikut berpartisipasi mencari nafkah, tidak jarang justru ibunya anak-anak penghasilannya lebih besar dari si ayahnya anak-anak. Pola makan dan minum, orang tua sekarang mengutamakan anak-anak mereka, termotivasi agar anak-anak tumbuh dengan baik, dengan gizi tinggi agar mereka berprestasi di sekolah dan kelak menjadi anak yang unggul. Anehnya kadang anaknya pula yang enggan makan yang enak-enak, serba ndak suka, tak jarang orang tua mereka harus memperhatikan/mengawasi makanan anaknya. Zaman dulu yang dimakan susah diperoleh, zaman sekarang malah makanan tersedia anaknya pula yang tak berselera, kalau agak dipaksa anak jadi merasa terlalu diatur, merasa tidak membiarkan anak jadi mandiri.

Pola berpakaian

Generasi rumah tangga tahun enam puluhan, seorang anak rata-rata hanya punya pakaian dua jenis pakaian, yaitu satu stel pakaian sekolah dan satu stel lagi pakaian untuk di rumah. Pakaian sekolah begitu pulang sekolah langsung di tukar dengan pakaian rumah untuk dipakai kembali esok, tak jarang sampai lusa atau seminggu. Sekarang pakaian anak-anak sudah selemari, sampai susah untuk menyimpannya. Pakaian layu sedikit sudah ganti, jangankan lagi memakai pakaian yang sedikit agak tambalan atau tisikan seperti zaman anak-anak tahun enam puluhan, sedangkan pakaian terkena noda tinta yang sulit dihapus saja anak sekarang sudah tidak mau memakainya.

Pola tidur dan Belajar

Listrik di era tahun enam puluhan, masih terbatas, keluarga kebanyakan menggunakan penerangan pelita di waktu malam, sehingga rata-rata tidur di bawah pukul sembilan malam, sedangkan anak sekarang, di samping memang banyak tugas dari sekolah, juga adanya TV dan penerangan yang rata-rata sudah pakai listrik, maka tidur di atas pukul sepuluh malam, kadang ada juga yang pergi belajar berkelompok dan pulang sudah jauh malam. Disini orang tua harus ekstra hati-hati memantau anaknya yang belajar di luar rumah, harus ada koordinasi sesama orang tua group anak kita belajar, agar dapat saling mengawasi. Di zaman kini setiap orang tua ingin agar anaknya dapat meneruskan sekolah setinggi-tingginya, anak harus pintar dari ortunya. Dulu sebaliknya ada diantara ortu yang tidak mau anaknya disekolahkan, walau sekolah waktu itu gratis. Guru waktu itu sangat berdedikasi untuk mencerdaskan anak bangsa. Ingat saya waktu masih di kelas empat SR, kawan saya sekelas umurnya sudah enambelas tahun. Pintar anaknya. Suatu hari kelas kami kedatangan tamu, langsung mengajak Jayadi kawan sekelas saya itu pulang. “Kau enak-enak di sini main petelot, ayah setengah mati main cangkul” itu antara lain redaksi si ayah teman saya itu mengajak anaknya pulang. Pak guru kami sungguh arif, langsung si anak dipersilakan pulang. Belakangan setelah selesai musim tanam padi, si Jayadi datang lagi ke sekolah, memang dia anak pintar, akhirnya atas kebijakan sekolah sampai dia di kelas enam SR dan ketika ujian akhir SR (waktu itu sudah nasional juga seperti sekarang), teman saya itu lulus. Selanjutnya entah kemana dia yang jelas kami tidak ketemu lagi di esempe yang hanya satu-satunya di kabupaten kami. Bukan hanya Jayadi yang punya nasib seperti itu, ada lagi teman sekelas agak dua minggu tak muncul. Salut saya guru waktu itu, disuatu hari Minggu ia mendayung sampan menuju ke kediaman si Rozi teman saya itu, dengan ditemani dua orang teman sekelas. Rupanya negosisasi dengan orang tua Rozi agar anaknya tetap disekolahkan. Entah apa isi pembicaraan beliau, beberapa hari kemudian teman saya itu juga bersekolah kembali sampai tamat sekolah SR. Itu sekilas perjuangan pak guru di zaman itu, masih adakah di zaman sekarang?.

Pola berkendaraan

Jauh sekali mobil, sepeda motor saja tahun enampuluhan barang kelewat mewah untuk ukuran kabupaten di kelahiran saya. Punya sepeda kumbang sudah termasuk orang yang berpunya. Sepeda hanya kendaraan ayah, si anak paling disuruh untuk mengelap/membersihkan jika sepeda kena lumpur di jalan becek, waktu itu belum beraspal. Ke sekolah jalan kaki sebagian besar belum beralas kaki. Sepatu mahal benar ukuran daya beli waktu itu, sebab itu tidak terlalu dipentingkan dan sekolah juga tidak mempermasalahkan anak didik mereka ngaki ayam (istilah setempat) nyeker istilah umumnya. Sekarang itu alhamdulillah anak-anak kita punya sepatu lebih dari sepasang. Lain sepatu sekolah, lain sepatu olah raga, lain pula sepatu kalau kondangan, lain sepatu sepak bola. Anak-anak sekarang sepatunya lusuh sedikit saja sudah minta ganti. Sungguh terjadi, apa karena teman saya itu terbiasa hidup hemat semasa kecil, ketika ujian pejabat di institusi saya bekerja dulu, sol sepatu bagian bawahnya sudah lobang aus dimakan jalan. Lulus pula ujian wawancara jadi pejabat dengan pakai sepatu lobang tersebut bahkan ybs sampai jadi pemimpin cabang.

Posisi orang tua dan anak

Anak dulu, orang tua adalah idola mereka, patuh tunduk kepada apa saja yang diarahkan orang tua. Orang tua sekarang memposisikan anak mereka sebagai mitra. Tidak jarang anak diajak tukar pendapat. Konsekwensinya sering juga anak membantah terang-terangan terhadap orang tua mereka. Bila dulu, kalaupun membantah tak berani terang-terangan,

Posisi banyak orang tua kini yang sekitar enampuluhan jadi anak.

Dari kenyataan di atas jelaslah sebagian besar orang tua kini yang pada tahun enampuluhan masih sebagai anak, merupakan generasi terjepit sebab:

1. Ketika masih anak-anak, dari sudut makanan keadaan mengharuskan mengutamakan orang tua, sedang sekarang setelah menjadi orang tua tuntutan zaman mengharuskan mengutamakan anak.

2. Masa kanak-kanak, banyak diantara orang tua sekarang ini, karena perekonomian masa itu pakaian hanya sepersalinan. Kalau punya sepatu sudah hebat punya sepasang. Setelah menjadi oang tua, kalau perlu tidak beli baju asal anak dapat berpakaian baik, dapat setara dengan anak orang lain.

3. Kadang orang tua, ikut masih harus terjaga, kalau anak-anak mereka harus belajar dalam menempuh ujian atau test yang sering di sekolah. Ibu atau ayah ikut membantu menyelesaikan PR anak-anak mereka. Sementara di zaman diri masih anak-anak, malam langsung tertidur karena gelap dan orang tua kebanyakan tak ikut campur urusan belajar anaknya. Bahkan ada diantara orang tua mencegah anaknya sekolah seperti ceritanya dipetik di atas.

4. Bila kebetulan tidak begitu berada, hanya punya sebuah mobil. Kadang si bapak mengalah bila anaknya karena sesuatu ke tempat kuliah harus memakai mobil. Biarlah Bapak naik bis umum. Dulu ketika masih kecil yang boleh makai sepeda hanya ayah, diri ke sekolah jalan kaki.

Posisi terjepit ini ialah ketika masih kecil di posisi yang harus mengalah, sementara ketika sudah jadi orang tua juga kembali dalam posisi yang harus mengalah lagi. Kapan menangnya. Begitulah generasi anak-anak di era enampuluhan yang kini sempat jadi orang tua adalah generasi terjepit.

No comments:

Post a Comment