Tuesday 9 August 2011

DIHORMATI BERKAT BANTAL TUA

Garis tangan seseorang tidak sama, demikian ungkapan singkat untuk mewakili maksud bahwa nasib seseorang tidak sama dengan orang lainnya. Kadang orang sesama merantau meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang, diantara mereka ada yang sukses dan ada juga diantara mereka yang kurang beruntung.

Tersebutlah kisah seorang yang dipanggil “Pak Tua” di kampung kami. Sosok ini dipanggil “Pak Tua” ka rena pemuda sekampung kami taunya kehadiran beliau ini sudah tua, tidak tau mudanya. Konon menurut cerita kakek-kakek kami pantaran (sebaya) mereka, beliau semasa mudanya meninggalkan kampung kami merantau entah kemana. Sudah sekian lama rupanya pulang ke kampung sesudah masuk usia senja dan biasa kadang sakit-sakitan.

Pak tua tidak punya anak isteri dikampung kami, kabarnya pernah juga ia menikah dinegeri orang tapi entah bagaimana ceritanya tidak ada kabar punya keturunan, maka hari tua akhirnya beliau memilih pulang ke kampung halaman. Kurang beruntungnya lagi saudara kandungnyapun sudah tidak ada semua, harapan hanya digantungkan pada kemenakan yaitu anak-anak dari saudara beliau.

Para kemenakan tentu yang perempuan sudah punya suami, yang lelaki sudah punya isteri, belum tentu semua pihak berkenan menampung pak tua dirumahnya. Selain itu masing-masing kemenakan punya tanggungan dan kesibukan sendiri. Dapat dimengerti paman yang tidak dikenal dari kecil itu, kalau masing-masing menyantuninya ala kadarnya saja, kalaulah ketika datang pertama masuk kerumah peninggalan mendiang ayahnya yang kini sudah direnovasi dan jadi milik salah seorang kemenakannya, apa boleh buat itu mungkin karena historis. Selang berapa lama juga agaknya dirumah warisan itu tidak kerasan baik pak tua maupun yang punya rumah. Apalagi kedatangan pak tua dari rantau hanya membawa sebuah koper dari besi buatan tahun 30an barang kali. Koper tersebut punya anak kunci dua, kiri kanan, kokoh memang kopor itu, kini tak beredar lagi. Selain itu sebuah bantal yang selalu di bawa kemanapun pergi. Mungkin pikirnya kalau kemalaman dimana saja tak repot cari bantal sebagai penopang kepala ketika tidur.

Disebabkan suasana tidak nyaman dirumah mendiang orang tuanya yang kini sudah pindah tangan ke kemenakannya itu, akhirnya pak tua memilih untuk pindah tidur ke serambi masjid. Semula hanya bantalnya saja yang dibawanya, lama kelamaan kopor besinyapun ikut pindah ke masjid. Sekalian juga menjadi penjaga masjid nemani “Doja” (di Jakarta penjaga Masjid disebut “Marbot”, di kampung kami dIpanggil “Doja”, mungkin singkatan dari kerjanya “berdo’a saja”).

Begitulah hari ke hari pak tua tinggal di masjid, ikut juga bersih-bersih lantai masjid sebisanya. Tua, memang tidak bisa ditahan, semakin tua kemampuan tenaga semakin menurun seiring dengan itu kesehatanpun semakin menurun. Sering kali pak tua sakit di serambi masjid hanya ditemai oleh “Doja”. Suatu ketika sakit beliu agak payah, demam tinggi. Orang dalam keadaan demikian biasanya condong untuk mimpi atau ngomong diluar kontrol (ngigau bahasa setempat). Doja melihat keadaan demikian dengan barat hati menghubungi juga kemenakan pak tua. Berdatanganlah lebih dari seorang kemenakannya untuk menjenguk, agaknya bagaimanapun malu juga mereka dengan seisi kampung kalau tidak menunjukkan ada perhatian kepada paman kandung. Di seantero kampung sudah lama tersebar isu bahwa pak tua tidak diurus oleh kemenakannya, padahal mereka jumlahnya lebih selusin, kehidupannyapun lumayan. Dulu waktu angkatan bapak/ibu kemenakannya berbagi waris, pak tua rupanya sudah tidak mendapat bagian, sebab dikira sudah hilang entah kemana sebab lebih dari 40 tahun merantau tak ada kabar berita, maklum masa itu komunikasi belum selancar sekarang, orang merantau kadang tak ada kabar berita entah berapa lama.

Dalam ngigaunya pak tua berwasiat tentang bantalnya kepada sohibnya “Doja”, agar kalau dia meninggal tolong amankan bantalnya yang akan diwariskannya kepada orang yang merawatnya. Karena yang dianggap teman yang setia menemani dalam keadaan sakit bigini adalah “Doja”, maka agaknya dia lah yang paling berhak mewarisi bantal tersebut. Itu saja pesan pak tua di dalam ngigaunya, kebetulan didengar oleh beberapa orang kemenakannya, termasuk kemenakan yang menampung beliau pertama kali pulang dari rantau.

Ingatan kemenakannya kembali terfokus kepada itu bantal, ketika baru menginap di rumahnya, bantal tersebut sangat dihati-hati beliau, sampai kalau kebetulan ada tamu yang berkunjung kerumah, maklum orang sudah lama meninggalkan kampung kalau pulang kampung, banyak orang pengin bertemu. Menemui tamu di ruang tengah sambil bersila di atas tikar, pak tua tidak meninggalkan bantalnya di dalam kamar, bantal tetap dibawa sambil menemui tamu, bantal dipangku. Ketika mulai sesekali bermalam ke masjid, pulang pergi bantal tersebut tetap dibawa serta, walau kopor besinya sementara tinggal dirumah pertama ia masuk ketika datang dari rantau. Analisis kemenakan-kemenakan, tentu demikian tinggi nilai bantal itu, tentulah bantal tersebut berisi barang berharga. Ada lagi yang berfikir mustahil merantau lebih dari 40 tahunan tidak memperoleh harta, mungkin harta tersebut terbungkus di dalam bantal.

Berita bantal bernilai itu akhirnya sampai ke telinga seluruh kemenakan, bahkan seisi kampung. Itulah sebabnya terjadi negosiasi antara kemenakan pak tua dengan “Doja”. Jika sampai umur pak tua, mereka juga punya hak mewaris bantal tersebut. Dasar “Doja” orang yang tidak begitu bersemangat dengan harta dunia, tentu saja tidak keberatan dan bahkan “tenang saja”, ujarnya, “kalau beliau meninggal segera saya serahkan bantal tersebut kepada kalian”. Statemen ini rupanya mengejutkan sesaudara kemenakan pak tua, lantas hampir-hampir saja ada salah seorang yang beranggapan dialah paling berhak. Kemenakan yang pertama ketempatan merasa paling berhak, sebab ke rumah dialah pak tua pertama menginap dan rasanya tak pernah mengusirnya, kepindahannya ke masjid maunya sendiri. Sementara kemenakan yang lain tidak menerima dengan alasan itu, “beliau datang ke kampung masuk rumahmu karena ingat rumah orang tuanya ada disitu” kilah kemenakan yang lain. Kesepakatan untungnya diperoleh juga bahwa nanti setelah pak tua meninggal, bantalnya sesama dioperasi di masjid disaksikan seluruh kemenakan dan “Doja”

Pasca berita bantal bernilai sebetulnya ada kemenakan yang sudah dengan sopannya merayu pak tua agar sudi tinggal saja dirumahnya, “tak baik di masjid begini seperti tak punya sanak saudara saja”, begitu tawaran kemenakan-kemenakannya. Pak tua giliran tidak berkenan, dengan alasan sudah kerasan tinggal bersama “Doja”, selain dapat mendampingi karena tidak ada kesibukan lain kecuali mengurus dan menjaga masjid. “Kalian kan banyak urusan, saya tidak ingin merepotkan kalian”. tangkis pak tua kepada majelis kemenakannya.

Dampak bantal bernilai ini, cukup besar bagi pak tua dan berimbas juga kepada “Doja”, hampir setiap hari datang komsumsi dari kemenakan pak tua, silih berganti rupanya, demikian juga hampir tiap hari ada saja kemenakan yang datang membesuk, menanyakan dan memantau kesehatan pak tua. Pak tuapun menjalani kehidupan selang beberapa lama sebelum ajal datang menjemput dengan perlakuan yang lumayan baik dari kemenakan-kemenakannya, satu dan lain berkat bantal kesayangannya.

Hari itupun akhirnya tiba juga, pak tua sampai janji ajalnya dan syukurlah seluruh kemenakan menyelenggarakan pemakaman dengan sebaik-baiknya sebagaimana kebanyakan orang. Sementara “Doja” merasa kehilangan, sebab teman yang sudah lumayan akrab tutup usia. Sepulang dari makam bantal yang disimpan di almari masjid ketika jenazah tengah diurus itupun langsung dibuka bersama seluruh kemenakan dan juga keluarga serta disaksikan pengurus masjid. Ternyata bantal itu hanyalah bantal biasa yang isinya kapuk yang sudah lumayan tua, tidak begitu ngeper lagi karena sudah cukup lama bersatu terbungkus bersama kain.

Kisah ini antara lain dapat dipetik pelajaran:

· Bahwa semasa muda kalau boleh diikhtiarkan agar punya persiapan menghadapi masa tua, kalau dapat punya anak keturunan langsung darah daging sendiri. Walaupun anak sendiri juga bila nasib kurang baik, antara lain salah memberikan bimbingan semasa ia masih anak-anak kadang membuat orang tua yang bersangkutan tidak beruntung dimasa tuanya. Apalagi dengan budaya materialistis sekarang, semua serba dinilai benda. Unsur norma kepatutan kadang sudah tidak dihiraukan lagi. Bukan sedikit anak yang memasukkan orang tuanya ke panti jompo karena sudah tak sanggup merawat orang tuanya karena kesibukan mereka. Oleh karena itulah dianjurkan oleh Nabi kita berdo’a: Allahuma inni a’u’zdubika minal adzi wal kasali walbuhli wal harami wa a’zdabil qabri (Ya Allah lindungi aku dari kemalasan, kekikiran, ketidak berdayaan (karena tua) dan azab kubur). Hadits Riwayat Imam Muslim melalui Zaid ibn Arqam r.a dipetik dari Mukhtarul Ahaadiits, Sayyid Ahmad Al-Hasyimi. Halaman 1070

· Bahwa banyak kalangan manusia menilai sesuatu dengan materi semata, kalaulah bersandar kepada kepatutan di dalam Islam seharusnyalah menyantuni orang dalam kesulitan, apatah lagi masih ada hubungan kekerabatan. Wa atalmala a’la hubbihi dzawilkurbaa wal yatama wal masakina wabnassabiili wassaailiina (bahwa antara lain kebaikan itu adalah:memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta (Q: 2:177). Adalah tindakan tidak terpuji tidak menyantuni orang tua yang sudah lemah apalagi kerabat pula, hanya karena yang bersangkutan tidak berharta.

Semoga, anak cucu dan sanak keluarga kita adalah manusia yang santun, bilamana kita masuk ke usia senja, apapun keadaan kita tetap memperlakukan kita dengan baik. Semoga dilindungi Allah dari usia tua yang sudah tidak berdaya (pikun). Amiin...

No comments:

Post a Comment