Sunday 21 August 2011

BILA MARAH JAUHKAN KERTAS DAN PENA

Sore itu sekitar pukul setengahlima, suasana di kantor kami sudah sepi sebab sebagian pegawai ada yang sudah pulang sebab jam kantor hanya sampai pukul empat petang. Pegawai kantor kami jarang tepat pukul empat pulang kalau tidak kebetulan ada urusan penting, sekitar seperempatjaman mereka masih berkemas-kemas merapikan sisa pekerjaaan, maklum di daerah belum mengenal macet seperti Jakarta. Tiba-tiba terdengar seperti ada jeritan suara seorang wanita, melengking menggema, sehingga jelas terdegar ke lantai tiga tempat meja kerja saya. Kontan saja pegawai yang masih tersisa berhamburan mencari sumber suara. Rupanya sumber suara itu ada di lantai dasar, suara seorang Ibu kepala bagian .

Saya juga ikut ke lokasi, terlihat sumber suara sudah duduk di kursinya dikelilingi anak buahnya, sementara beberapa meter dari si ibu, seorang kepala bagian juga dikerubungi anak buahnya duduk di kursi kerjanya. Kami yang tidak menyaksikan langsung peristwa tentu bertanya-tanya apa yang terjadi sementara begitu melihat saya datang perhatian orang tertuju kepada saya kebetulan ketika itu sebagai kepala bagian personalia. Satpam mnghampiri saya, “pak anu dan bu anu bekelai” katanya dengan dialeg daerah maksudnya BERKELAHI di Jakarta istilah prokemnya “BERANTEM”.

Kejadian itu terpicu karena Ibu kepala bagian tidak terima dengan ucapan dari Pak Kepala bagian, yang dirasanya sangat menyinggung, sehingga secara spontan menggingit tangan pak kepala bagian. Malah setelah menggigit dengan keras partner berantemnya, justru yang menjerit histeris adalah si ibu, mungkin lantaran menggigit saja belum puas menumpahkan kekesalannya.

Hampir bersamaan waktunya dengan saya datang ke lokasi, seluruh kepala bagian dan karyawan yang tersisa memadati lantai satu, termasuk kepala kantor yang diinstansi kami disebut pemimpin cabang, dengan beberapa wakil pemimpinnya.

Tidak bijaksana kalau kami masuk menanyakan ke salah satu kelompok, satu-satunya nara sumber yang harus kami dengar adalah satpam, sedangkan kedua kubu untuk sementara tidak kami datangi, kebetulan ketika kami tiba, kejadian sudah berlalu dan tidak ada tanda-tanda akan bergolak lagi. Bagaikan sudah ada “police line”, hidup oleh anak buah masing-masing.

Pemimpin cabang memanggil saya keruangannya kemudian “buat telex laporan ke kantor pusat, usulkan mereka dimutasikan”, begitu instruksi beliau dihadapan wakil-wakil pemimpin kepada saya selaku kepala bagian personalia, “baik pak”. Jawab saya sambil langsung permisi meninggalkan ruang kerja beliau. Saya tidak punya pilihan jawaban selain “baik pak” itu, karena suasana sedang hangat dan tatapan wajah dari para wakil pemimpin tertuju kepada saya seolah merekomendasi perintah pemimpin tersebut.

Selang beberapa lama redaksi telex telah dimuat dalam formulir untuk diteruskan ke operator, prosedurnya karena telex ini menyangkut mutasi adalah wewenang pemimpin cabang untuk membubuhkan persetujuan di dalam naskah telex, disamping saya sebagai kepala bagian sekurangnya membubuhkan paraf. Saya sengaja tidak membubuhkan paraf di atas naskah telex itu. Saya sengaja mengulur waktu untuk keruangan pemimpin membawa naskah telex, sambil menunggu bapak-bapak wapin keluar dari ruangan pemimpin. Untunglah para wakil pemimpin cepat keluar dan kini tinggal bos sendirian diruangannya. Saya bawa naskah telex yang sudah siap itu, saya lekatkan di map tetapi tidak langsung saya letakkan di hadapan beliau.

Memang persoalan seperti ini langka terjadi di kantor, untunglah tamu dan nasabah sudah tidak ada lagi, pintu utama kantor sudah di kunci. Pemimpin cabang merasa risau dengan kejadian ini, sebab dikhawatirkan dampak selanjutnya terhadap pekerjaan, sebab kebetulan kedua bagian yang dikepalai oleh si Pak anu dan Bu anu itu urutan kerjanya berhubungan langsung. Selain itu memberikan tuntunan yang kurang baik buat karyawan.

Setelah dengan berbasa basi sejenak memberi informasi yang saya tau tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Saya usulkan agar telex ke kantor pusat tidak usah diteruskan. Kebetulan pemimpin saya juga termasuk penganut agama yang baik, saya sering mendengar ustadz mengatakan “jangan membuat keputusan diwaktu marah”. Ungkapan ustadz itu yang saya kemukakan kepada beliau.

Beruntung beliau tidak malah marah kepada saya dan bahkan akhirnya menyetujui usul saya itu. Sebab kalau terlanjur dikirim telex ke kantor pusat, persoalannya tidak akan berhenti sampai disitu. Kantor pusat ingin lebih dalam mengetahui permasalahannya, maklum bahasa telex tidak cukup jelas rinciannya. Selain itu juga akan berdampak yang sangat kurang baik bagi karier mereka berdua, waktu itu masing-masing masih punya peluang sebab usia masih di bawah empatpuluhan.

Kebetulan cabang kami punya cabang pembantu sekota lokasinya dengan kantor cabang induk, atas jalan keluar yang saya usulkan, esoknya si Bapak kepala bagian dimutasikan ke cabang pembantu. Mutasi dari cabang induk ke cabang pembantu wewenang pemimpin cabang. Begitulah sementara persoalan tersebut teratasi, meskipun suasana tetap tidak nyaman kalau ada pertemuan rapat antar pejabat di mana cabang induk dan cabang pembantu ketemu, atau ada hajatan salah seorang karyawan atau ada even olahraga yang mana di daerah selalu terjadi.

Adalah merupakan kelaziman di instansi kami, pemimpin cabang dan pejabat mulai pembantu kepala bagian, tidak akan berlama-lama di suatu cabang, mesti dimutasi ke cabang lain, atau ke kantor pusat. Harapan saya sepasang pejabat yang pernah berantem ini, dalam waktu dekat mendapatkan mutasi wajar dari kantor pusat. Yang terjadi justru yang mendapat mutasi lebih dahulu adalah pemimpin cabang kami.

Seterimanya telex mutasi, pemimpin cabang minta kepada saya agar dapat menyelesaikan persoalan kedua kepala bagian ini, supaya mereka dapat berdamai. “Saya malu dengan pengganti saya, bila ini tidak terselesaikan”, ujar bos saya.

Pendek cerita, saya terpaksa berbohong ke masing-masing pihak, ke yang satu saya katakan bahwa pihak yang satunya menyesali perbuatannya dan ingin mohon maaf, hal yang sama saya kemukakan juga kepada yang lainnya. Kesimpulanya bahwa, sebenarnya kedua belah pihak cukup tidak nyaman dengan suasana perseteruan itu, dan ingin juga segera mengakhirinya, cuma menunggu saat yang tepat dan alasan yang tepat dan mediator tentunya. Buktinya keduanya menyambut tawaran saya agar mereka mengadakan islah dihadapan pemimpin cabang. Alhamduliilah di saat yang sudah dijanjikan kedua kepala bagian yang pernah digigit dan menggigit itu, bersalaman di ruangan pemimpin cabang. Pasca islah mereka betul-betul menjadi akur dan pemimpin cabang kami yang baru sama sekali tidak pernah mengetahui bahwa anak buah mereka itu pernah berantem.

Setelah pensiun dari instansi tersebut, barulah saya dapatkan referensi yang saya jadikan acuan untuk mengusulkan “jangan mengambil keputusan dalam keadaan marah dulu saya hanya mendengar kata ustadz dan ibu saya pernah memberikan kata-kata hikmah “Bila engkau dalam keadaan marah jauhkan kertas dan pena”. Betul pesan hikmah Ibu saya itu, kalau dalam keadaan marah, kemudian kita tumpahkan kemarahan kita itu di dalam tulisan dan tulisan itu diteruskan kepada orang ke mana marah kita alamatkan, tentu sudah sukar untuk diralat lagi. Ketika telex sudah di ketik oleh anak buah saya, kata hikmah ibu saya sempat terngiang, itu pula agaknya yang mendorong saya memberanikan diri menyampaikan masukkan kepada Bos saya yang Alhamdulillah berujung baik.

Referensi pesan nabi supaya jangan mengambil keputusan kalau sedang marah sebagai berikut:

Hadis riwayat Abu Bakrah, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Seseorang tidak boleh memutuskan perkara antara dua orang ketika ia sedang marah"

Sedangkan berbohong untuk kebaikan boleh dilakukan dengan menyandarkan diri kepada hadits antara lain sebagai berikut ini:

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِى الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ ». وَقَالَ مَحْمُودٌ فِى حَدِيثِهِ « لاَ يَصْلُحُ الْكَذِبُ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ لاَ نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَسْمَاءَ إِلاَّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ خُثَيْمٍ

Artinya:

Dari Asma’ binti Yazid dia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Bohong itu tidak halal kecuali dalam tiga hal (yaitu) suami pada istrinya agar mendapat ridho istrinya, bohong dalam perang, dan bohong untuk mendamaikan diantara manusia”.

Bila pembaca yang budiman terbaca ke blog saya ini dan kebetulan ikut dalam peristiwa tersebut, kini saya buka agar mengetahui yang melatar belakangi kebijakan kami waktu itu, karena mungkin ada yang berkata “kok tindakannya cuma begitu” . Bapak ibu yang kejadiannya mirip dengan cerita ini anggaplah ini sebagai nostalgia, mungkin kebetulan mirip saja kejadiannya, tetapi bukan bapak atau ibu, sebab tulisan ini tidak menyebut nama diri dan nama tempat, dengan maksud tidak membuka aib, semoga dapat menjadi inspirasi bagi generasi penerus.

Dari tulisan ini dapat dipetik antara lain:

· Usahakan mengendalikan lisan dan emosi di dalam pergaulan di masyarakat, baik di tetangga, keluarga apalagi di kantor. Semasa masih bekerja, kehidupan kantor menyedot hidup kita lebih dari duapertiga. Karena itu peliharalah hubungan baik dengan sesama kolega, atasan/bawahan dan manusia di dalam tempat bekerja.

· Bahwa pesan moral dan agama adalah jalan terbaik dalam menyelesaikan masalah, sekalipun kelihatannya pelik.

· Bahwa sabagai bawahan usah takut mengusulkan pemecahan masalah kepada atasan, asalkan pilih waktu yang tepat dan bahasa yang santun.

· Ternyata atasan memerlukan bawahan yang tidak serta merta melaksanakan instrusksi tanpa reserve. Buktinya di dalam kasus ini atasan menerima usul anak buahnya dan setelah dilaksanakan justru berujung kepada kebaikan.

Semoga generasi muda kita lebih baik dari generasi kami-kami yang lalu, karena apa yang kami alami yang baik dapat dijadikan acuan untuk diikuti dan apa yang kami alami yang kurang baik segera anak-anak muda dapat menghindari.

Hidup ini ternyata singkat, seluruh kejadian yang sudah berbilang tahun ternyata seperti baru saja terjadi kemarin, maha benar Allah dengan firman-Nya di surat Al-Mu’minuun ayat 113:

Qaaluu labitsnaa yauman au ba’dha yaumin fas alil ’aaddiin (Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." )

Seluruh peristiwa amal kita di dunia ini rupanya dicatat di dalam kitab yang akan menuturkan sendiri segala perbuatan kita di dunia, di hari perhitungan seperti terungkap pada surat Jatsiah ayat 29

Hadzaa kitaabunaa yanthiku ‘alaikum bilhaqqi innaa kunnaa nastansikhu maa kuntum ta’maluun (Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan."

Tulisan ini kumuat di blogspot Rhamadan 1432 H, semoga ada manfaatnya buat pengunjung semua, sebagai kilas balik amal bagi yang tua, untuk yang muda mudah-mudahan dapat buat panduan.

No comments:

Post a Comment