Wednesday 6 July 2011

DONGENG PENGANTAR TIDUR

Di bawah tahun enampuluhan, di kampungku listrik belum banyak yang berani masuk rumah penduduk, kalau ada hanya di jalan, itupun menyala pukul enam petang sampai pukul lima pagi sudah dipadamkan perusahaan aniem (orang tua dulu menyebut PLN). Maklum listrik digerakkan diesel dengan bahan bakar solar. Sesekali di rumah diterangi dengan lampu strongking istilah lain lampu petromak. Rupanya setelah aku pindah ke jawa “Strongking” itu adalah singkatan dari “Di strum dengan nongkrong dan njengking”.

Apapun julukan buat lampu dengan bahan bakar minyak tanah dan bolanya disebut kaos yang kalau orang tua dulu menservice lampu ini, anak kecil pantang dekat-dekat, sebab si anak paling pengen nyentuh kaos itu, kalau kesentuh itu kaos langsung rontok.

Tetangga di seberang jalan, jika rumah ayahku pasang strongking agak sebentar di pokok malam, besok paginya tanya, “apa dirumah ada tamu malam tadi?. maksudnya tadi malam”. Karena hanya kalau ada tamu saja itu lampu dinyalakan, maklum lumayan makan minyaknya cukup lahap itu lampu.

Kami belajar dengan lampu dinding yaitu lampu yang pakai semprong dari kaca, itulah yang menamatkan kami sampai selesai sekolah esema di kabupaten kami. Tentu kalau anak sekarang lebih cerdas dari kami angkatan “lampu templok” jelas tidak mengherankan. Kalau sebaliknya kalah pandai dengan kami dulu adalah sangat mencengangkan, karena kini lampu cukup mencolek dinding, air hanya memutar kran.

Kami dulu urusan air panjang lagi ceritanya. Jika musin kemarau tiba berburu air kemana-mana. Soal air ini sampai sekitar tahun Sembilan puluhan di Kalimantan Barat masih masalah, sebab sejenis aqua belum sampai kesana. Bila hujan tidak turun agak dua minggu, air PDAM mulai macet. Percuma mengeluh ke PDAM, jawabannya masyarakat sendiri sudah tau. PDAM kan singkatan dari P=Perusahaan D = Daerah A= Air M= Minum. Habis masyarakat sendiri yang salah, disediakan untuk air minum malah disalah gunakan untuk mandi dan nyuci, makanya cepat habis. Alhasil bila sudah sampai hujan tidak turun sebulan, maka penampungan air rumahan sudah mulai habis, giliran berburu air ke penampungan-penampungan gedung besar, seperti RRI, UNTAN dan kantor instansi pemerintah dan swasta yang pada umumnya di bawah bangunan di buat bak-bak penampung air hujan. Itulah sebabnya barangkali di Pontianak bagaimanapun hujan lebat tak akan banjir, karena air hujan ditampung penduduk. Begitulah ketika dinas di BBD sekali tempo ada tunjangan yang disebut “Tunjangan air asin”, sebagai konpensasi tenaga yang dikeluarkan berburu air malam hari dengan teknik “SEPANYOL”, (separo nyolong), karena pihak yang menampung pada dasarnya untuk karyawannya sendiri.

Kembali ke soal listrik yang waktu itu belum masuk di kabupaten kami, tepatnya di selatan ibu kota provinsi yang mendatanginya dari Pontianak harus pakai kapal dagang selama 40 sampai 50 jam, waktu itu belum ada kapal penumpang khusus. Apalagi pesawat terbang. Lantaran tidak ada listrik, maka untuk mendengarkan radio menggunakan batery. Tidak banyak orang yang punya radio, ayahku pegawai Kementerian dengan lambang “Api nan tak kunjung padam” atau Kementerian Penerangan. Walau apinya kini sudah padam ditiup Almarhum Gus Dur. Kementerian ini hapus di era beliau. Sehubungan dengan dinasnya, ayahandaku almarhum punya radio setelah kami hampir tamnat SMA beliau dapat pembagian radio dari kantornya “radio dinas”. tetangga juga ikut sama-sama mendengarkan. Sebelum ada radio, kalau malam demikian sunyi, ada satu kebiasaan orang tua dulu menidurkan anaknya yaitu dengan mendongeng. Ternyata dongeng ini sangat berkesan buat pendidikan dan perilaku, mempengaruhi jiwa anak dan pemuda sampai ia menjadi dewasa. Salah satu contoh dongeng adalah “Si Tikus Gantung dan Burung Cencale”. Burung ini banyak di daerahku, ia bersarang di pematang sawah dan semak-semak belukar. Kucari gambarnya itu burung di internet belum kutemukan. Bulu burung hitam di temboloknya ada wanra putih, perawakannya kurang lebih separo merpati, bunyinya rame di waktu pagi, dia tidak terbang tinggi, nampaknya lebih suka jalan-jalan di pematang sawah.

Tikus gantung dikisahkan adalah pekerja keras, siang dan malam, bilamana musin panen tiba, ia mengumpulkan padi di tempat simpanan disamping dipergunakan untuk makan se-hari hari. Simpanan dibuat cadangan ketika sedang paceklik. sementara burung Cencale, adalah pribadi yang periang, kerjaannya hanya loncat kesana loncat kemari dan satu kegemarannya yang baik suka menyanyi memberikan hiburan kepada sesama mahluk alam ini. Musim panen dia dengan gesitnya memakan padi cuma sayangnya tidak ada simpanan, cukup hanya mengisi temboloknya saja atau membawa pulang ke sarangnya untuk memberi makanan anaknya yang baru menetas.

Ketika musim paceklik, seorang anak cencacle yang baru beranjak dewasa, sedang dalam pertumbuhan perlu makanan yang bergizi sebagaimana kebiasan dimusim panen. tetapi sayangnya hanya ada bijian-bijian lain pengganti padi, tidak begitu mengenyangkan. Lantas usul kepada mamahnya bagaimana kalau mencari padi, walaupun dengan meminjam. usul disetujui mamahnya,, satu satunya tempat meminjam adalah ke “Tikus Gantung”, sebab beliau punya stock padi yang cukup sampai datang panen lagi bahkan mungkin berlebih. Pergilah si remaja burung Cencale menghadap Tikus Gantung, menyatakan maksudnya untuk meminjam padi. “Nek Tikus Gantung, saya disuruh mamah meminjam padi”. demikian tutur si anak Cencale. Pernyataan itu, bukannya disambut dengan baik, malah dengan cemoohan. “Enak saja kalian bangsa Cencale, sekarang musim paceklik mau pinjam padi. Itulah mamahmu itu kalau sudah musim panen berhura-hura, hanya bernyanyi kesana bernyanyi kesini, membanggakan bulu di dada” (kebetulun bulu burung ini ada warna putih yang indah di temboloknya). “Coba contoh aku, kalau musim panen, kerja siang malam, mengumpulkan makanan untuk disimpan dimusim sulit seperti ini”. Mendapat tolakan dan bahkan cercaan terhadap peri laku ibunya itu, menangislah si anak Cencale dan pulang ke sarang sambil masih tetap menangis. “Kenapa menangis nak, mana padinya”, kata si ibu cencale. “Mah bukannya dapat padi malah mamah di kata-katain oleh Tikus Gantung yang bahenol itu”. Setelah anaknya agak jeda menangisnya si Cencale menanyakan. “Bagaimana caranya engkau mgomong untuk meminjam padi ke Tikus Gantung nak”. Si anak menceritakan caranya seperti yang diungkapkannya kepada si Tikus Gantung. Serta merta ibunya bilang “itu caranya kurang tepat. Coba pergi lagi ke sana, didepan sarangnya menyanyilah seperti lagu kebiasaan kita, katakan permisi dan setelah dipersilahkan masuk atau si tikus gantung keluar sarang katakanlah”:

Nek ayu nek ti yang sangat murah hati

Hartanya sangat banyak berpeti-peti

Bulu nenek indah dan ikal bagai dibuti

saya disuruh mamak meminjam padi

Apa yang terjadi, sambutan Tikus gantung bukan main baiknya, sambil tersipu mendapat sanjungan lantas ia menjawab:

Anak Cencale yang suaranya lantang

Nenek ndak keberatan memberi utang

Ambil lah cupak ambilah gantang

Ayo ke gudang padi nenek di pematang

Keterangan istilah:

“Cupak” adalah takaran dengan ukuran empat kaleng susu kental manis “cap junjung”. Sedangkan “Gantang” isinya empat cupak terbuat dari kayu Belian (kayu besi) berbentuk silinder. takaran ini lazim dipergunakan oleh orang melayu menyukat padi.

Singkat dongeng, ternyata dengan diplomasi menggunakan kata-kata indah berupa pantun dengan menyanjung, terbuka hati Tikus gantung mengabulkan permohonan meminjam padi itu.

Sari dongeng pengantar tidur sebelum ada TV ini dapat ditarik beberapa kesimpulan:

1. Bahwa diplomasi adalah sangat penting dalam berkomunikasi

2. Bahwa kata-kata yang indah sanggup meluluhkan perasaan orang yang keras sekalipun. Sebagaimana didongengkan bahwa sebelumnya permohonan pinjam padi telah ditolak.

3. Bahwa gagal bukanlah akhir segalanya, harus dicoba lagi mungkin dengan perubahan teknik.

4. Agar tidak menemukan kesulitan dikemudian hari, terutama dimasa sulit, hendaklah kerja keras dimasa sedang punya kemungkinan untuk menyimpan yang akan dipergunakan diwaktu sulit.

5. Sebaiknya hidup ini jangan dihabiskan untuk berhura-hura dimasa masih kuat dan berjaya, apalagi membangga-banggakan keahlian, kecantikan, kedudukan.

6. Orang tua tidak melepaskan anaknya dalam menyelesaikan masalah harusnya memberikan arah.

7. Sebagai anak, harus senantiasa minta nasehat orang tua sebelum melakukan tindakan-tindakan terutama yang strategis.

Mungkin para pengunjung blog ini ada lagi yang dapat menambahkan kesimpulan dari dongeng tersebut. Sungguh banyak sekali dongeng orang tua dulu yang didongengkan mengantar tidur, ternyata bermakna yang dalam buat budi pekerti anak-anak mereka. Kini anak-anak sekarang tersuguhi dongeng dari negara lain melalui televisi yang kadang tidak seberapa sesuai dengan kepribadian bangsa kita.

No comments:

Post a Comment