Sunday 24 July 2011

CECAK DI DINDING DAN KAMBING HITAM

Seorang anak kecil di bawah setahun, mendadak menangis, entah apa sebabnya. Ibu si anak berusaha menenangkan anaknya dengan menunjuk ke dinding sambil menunjuk “tu cecak-cecak-cecak”, guna mengalihkan perhatian si anak agar segera diam.

Di lain keadaan, seorang anak sudah mulai bisa berjalan tidak sengaja kebentur meja, menangis sejadi-jadinya karena bagian dahinya sedikit benjol. Si ayah atau ibu yang kebetulan berdekatan dengan si anak langsung mendekati meja kemudian memukul-mukul meja yang ditabrak si anak, sambil mengatakan “meja nakal-meja nakal”. Inipun juga dimaksudkan untuk anak pembentur meja itu tidak terus menangis.

Dua contoh di atas lazim dipraktekkan dengan tujuan untuk menghentikan tangis si anak, paling tidak sesaat. Tidak disadari bahwa perilaku orang tua seperti itu membenam dalam kelubuk jiwa si anak yang paling dasar dan terjelma sebagai perilaku invidu si anak setelah ia besar. Perilaku individu tersebut kemudian menjadi perilaku keluarga. Perilaku keluarga itu selanjutnya membentuk pribadi masyarakat dan bangsa.

Penunjukkan “Cecak” mengalihkan perhatian anak, menuntun bangsa ini jika ada sesuatu peristiwa yang kurang menyenangkan, segera dialihkan ke peristiwa lain agar peristiwa yang kurang mengenakkan tadi teralih, akhirnya berangsur-angsur sakitnya hilang. Perilaku ini terbawa sampai si anak menjadi pemuda, menjadi orang dewasa dan sampai pula misalnya ia menjadi pejabat negara. Banyak kita temukan kasus-kasus yang tidak mengenakkan di negeri ini, dialihkan dengan kasus lain, sehingga kasus lama hilang tidak diurus lagi, tidak menjadi pembicaraan ramai, tidak lagi jadi berita di koran dan media, kemudian tenggelam ditelan waktu. Begitu mahirnya warga bangsa kita ini mengalihkan isu dengan isu baru sehingga isu lama terkubur sudah.

Ternyata “memukul meja” dengan menyalahkan meja yang nakal walau secara kenyatan anak itu yang menabrak meja. Tindakan yang dilakukan tersebut berdampak kepada bangsa kita secara keseluruhan yaitu bangsa kita terjelma menjadi bangsa yang selalu mencari kambing kitam kalau menghadapi suatu masalah. Giliran melakukan kesalahan tidak mau secara sportif mengakui bahwa itu kesalahan dibuat sendiri, tetapi tetap membela diri untuk tidak menerima salah, tidak pernah salah. Justru kesalahan itu dicarikan pihak yang harus dituding sebagai penyebabnya ia salah. Pribadi bangsa menjadi tidak realistis, karena diajar sejak jiwa mulai tumbuh. Sudah jelas bahwa meja “diam” ditabrak, tetapi justru yang disalahkan adalah meja. Jadilah bangsa ini bangsa yang tak mau salah, tak pernah salah. Jangan heran bila sianak sudah mulai sekolah, jika ia melakukan kesalahan maka ia akan selalu mengelak dan mencari alasan penyebab kesalahan ini meskipun alasan itu harus dicari-cari. Kadang ekstim, jika prestasinya tidak baik di sekolah, tak segan mereka menyalahkan guru, menyalahkan kurang fasilitas menyalahkan tidak dipenuhinya alat belajar dan banyak lagi. Demikianlah bila menjadi dewasa dan kebetulan menjadi orang penting, bila terjadi masalah atau ia melakukan kesalahan, sering kita dengar bahwa yang dikambing hitamkan sekurang-kurangnya “pihak tertentu”.

Agama Islam yang dianut banyak rakyat negeri ini mengajarkan bahwa bila diri yang bersalah adalah dosa yang besar jika mengkambing hitamkan orang lain, seperti ternukil di dalam surat Annisa 112 :

Waman yaksibu khathiiatan auitsman tsumma yarmibihi bariian faqadih tamala buhtanan waitsman mubina(n) (Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata).

Karena bangsa ini penganut Islamnya mayoritas, tidak heran bahwa justru yang melakukan kesalahan mengalihkan isu dan gemar mencari kambing hitam itu adalah banyak orang-orang islam yang agamanya tegas melarang untuk berbuat demikian.

Demikian renungan singkat atas kebiasaan kita dalam mengatasi masalah-masalah keseharian yang terjadi terhadap anak, yang kepada kita diamanahkan Allah untuk memberikan dasar-dasar pola kepribadian mereka. Kepribadian anak terbentuk sejak mulai dari asuhan ibu dan ayah, yang akan membekas ke dalam jiwa sampai ia dewasa, sampai menjadi anggota masyarakat dan bahkan menjadi pejabat negara. Sungguh kepribadian anak akan membentuk kepribadian bangsa.

Adalah mulai harus diubah pola mengendalikan anak menangis, jika ia melakukan tindakan yang mencederai dirinya walaupun dengan sebab tidak sengaja. Jelaskan secara realistis sesuai kemampuan anak untuk memahami selaras dengan usianya. Dalam hal anak menangis yang bukan karena sesuatu sebab, justru dicari penyebabnya, tidak perlu dengan hanya mengalihkan perhatian seperti contoh di atas. Dapat saja anak menangis disebabkan ketidak nyamanan yang dirasakannya, dapat karena kesehatannya terganggu atau sebab-sebab lainnya. Ada seorang anak menangis hanya karena melihat pigura hiasan dinding posisinya miring.

Dalam hal seorang anak menangis karena melakukan kesalahan seperti membentur meja tadi, sebaiknya dijelaskan supaya yang bersangkutan lain kali berjalan hati-hati. Secara tegas dijelaskan bahwa seharusnya meja tidak ditabrak karena meja diam. Sejak kecil dibiasakan anak kita untuk realistis.

Semoga generasi yang akan datang tidak lagi menjadi generasi yang suka mengalihkan isu dan mencari kambing hitam, sehingga sebagai apapun mereka berperan akan menjadi manusia yang bertanggung jawab, tidak mudah melakukan kesalahan sebab mengetahui bila berbuat salah harus dipertanggung jawabkan.

No comments:

Post a Comment