Monday 1 July 2013

SELISIH PAHAM NENEK-KAKEK DI USIA SENJA

Adalah baik, do’a ketika hadir di kondangan pernikahan “semoga bahagia,  rukun sampai kakek-kakek nenek-nenek”.  Ucapan itu disampaikan oleh tamu kondangan dan juga diminta oleh pengarah acara pernikahan.  Itulah mungkin keinginan setiap orang dalam membina rumah tangga, apalagi nanti benar-benar kesampaian sampai diusia senja.
Usia senja banyak pihak menterjemahkan apabila sudah diatas tujuh puluh tahunan. Kala itu biasanya banyak keluarga yang kebetulan beruntung sudah punya anak-anak yang mapan dalam bidang perekonomian, sudah punya cucu berbilang orang. Seiring dengan itu kebanyakan pasangan Nenek dan Kakek ini tidak lagi bekerja aktif. Kalau kebetulan mereka tadinya adalah pegawai perusahaan atau pegawai negeri biasanya sudah pensiun. Jika sebelumnya sebagai pengusaha, perusahaan sudah dilegalisasikan pengelolaannya kepada orang lain, atau anak-anak keturunannya.
Dikondisi tersebut Kakek dan Nenek umumnya sudah lebih banyak di rumah, ketimbang di luar rumah, kesehatanpun umumnya sudah mulai menurun. Kadang logika berpikir juga sudah mulai berubah dari ketika masih masa-masa energik dulu. Masalah-masalah kecil yang semestinya tidak perlu diperpanjang, tidak jarang menjadikan sepasang manula tersebut berselisih paham sampai merepotkan anak-anak meng “islahkan” mereka.
Seorang kakek, entah dengar dari siapa untuk menjaga kebugaran, memulai kebiasan baru, suka jalan pagi. Sepasang sepatu olah raga dipesan dari anaknya. Pagi itu hari pertamanya jalan pagi setelah sholat subuh. Dikenakan celana pendek diantara yang dimilkinya, dipilihnya yang agak di atas lutut. Si Nenek melihat hal itu, rupanya kurang setuju dan berkomentar, “kayak anak muda aja, mbok pakai yang agak panjang, di bawah lutut”. Komentar nenek  tidak digubris si kakek. Realisasi ketidak setujuan si Nenek, ketika mencuci celana pendek yang pendek itu, langsung disembunyikan si Nenek, disediakannya yang agak panjang di bawah lutut. Si kakek kemudian keesokan harinya sibuk mencari celana-celana olahraganya yang pendek dalam lemari, tapi tidak satupun ditemukannya. Keadaan itu mengundang pertengkaran sepasang manusia diujung usia itu. Pertengkaran berujung beberapa hari tidak tegur sapa, si Kakek akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah anaknya untuk beberapa hari. Tentu si anak berusaha mencari tau penyebab orang tua lelakinya itu meninggalkan bunda sendirian dirumah. Terkagetlah mendengar kabar perselisihan disebabkan “celana pendek yang pendek”. Cerita itu menjadi cerita lucu bagi mereka kakak beradik enam orang yang masing masing sudah punya istri atau suami itu. Disepakati hari Minggu depan, empat orang anak yang sekota dengan ayah bunda mereka akan kumpul di rumah kelahiran mereka mengantarkan ayahanda bersama anak-anak, untuk makan bersama. Perdamaianpun terjadi berkat islah yang dilakukan oleh anak-anak.
Si Kakek suatu hari dapat gangguan pencernaan, menurut dokter agar mengurangi makanan yang pedas-pedas. Rasa kasih sayang Nenek kepada Kakek, membuatnya mengurangi jumlah cabe dalam sambal yang diuleknya. Tentu pedasnya akan berkurang walau warnanya cukup merah lantaran ditambah tomat. Lain halnya dengan Kakek, citarasa sambal itu, membuat  omelanpun meluncur deras dari mulutnya yang mengakibatkan hati si Nenek bagaikan di iris iris, sebab dalam omelan sampai menyebut-nyebut “apa kurang uang pensiun sehingga tidak lagi mau membuatkan sambal seperti baiasanya”, akhirnya si Nenek ngambek, pertengkaranpun tidak terelakkan. Nenek nelpon anak perempuannya minta dijemput ntar sore. Si anak perempuan petang harinya datang ke rumah sesudah maghrib. Nenek sudah tak dapat menahan kesal, sambil nangis minta dibawa ke rumah si anak, tidak dapat ditanya apa sebabnya. Setelah komunikasi dengan saudara lain melalui seluler, sepakat untuk sementara dituruti kemauan si Ibu ikut sementara nginap di rumah anak perempuannya. “Nanti kita atur lagi islah mereka”, isi kesepakatan sesaudara. Setelah memutar otak enam bersaudara itu dapat mengislahkan mereka melalui rekreasi diakhir pekan, selesai rekreasi kedua orang tua mereka  itu diantarkan ke kediaman mereka, tanpa mengungkit lagi masalah sambal. Pada dasarnya mereka sama-sama ingin damai, tapi kadang gengsi membuat mereka saling bertahan.
Ketika masih kerja dulu, untuk membesarkan anak-anak, si Kakeklah kebetulan menjadi tulang punggung keluarga, mencari nafkah. Hasil yang diterima disetorkan semua ke si Nenek sebagai bendahara yang mengatur pendapatan untuk menyiasati perbelanjaan sehingga dapat menyelesaikan enam bersaudara menyelesaikan pendidikan masing-masing. Alhamdulillah kini mereka semua sudah mapan dalam bekerja. Dua diantara anaknya berada di luar daerah tidak sama sekota dengan ayah bunda, mengikuti panggilan nasib mencari penghidupan.  Pernah terjadi ketika si anak mereka pertama kali di luar kota mengirimkan uang kepada ORTU mereka. Untuk praktisnya menurut alam pikiran si anak, kiriman uang itu dialamatkan ke ibunda. Pertimbangan ini diambil karena memang selama ini ibundalah sebagai bendahara menyimpan uang penghasilan ayahanda ketika mereka masih serumah dulu. Si anak sama sekali tidak mengetahui, ternyata ORTU mereka sudah berubah, tidak lagi seperti dulu.
Kiriman sejumlah limaratus ribu itu begitu diterima si Nenek, semestinya sudah dilaporkan ke Kakek, tapi kakek tidak terima, karena kenapa yang dikirimi uang cuma Ibunya, anak tidak adil pilih kasih komentarnya dalam hati. Tidak cukup di dalam hati berita ini jadi bahan omongan di warung dekat rumah yang kemudian sampai juga ke telinga Nenek. Begitu mendengar berita itu, nenek cukup bijak, ia bersedia membagi uang itu separo kepada Kakek. Tapi Kakek sudah kadung tersinggung tidak mau terima. Berita tersebut sampai juga ke anak-anak yang se kota, selanjutnya diinformasikan ke pengirim uang. Minggu depan entah bagiamana apakah karena terjadi bias informasi, si pengirim mengirim lagi uang, kini di alamatkan ke ayahanda dengan jumlah 250 ribu. Mungkin si pengirim menangkap informasi bahwa si ayah minta kirim 250 ribu. Kiriman itu menambah persoalan menjadi lebih pelik lagi, bahkan sianak oleh ayahandanya dianggap  membedakan ibu dan ayah. Ibu dikirimi 500 ribu sementara si ayah hanya 250 ribu.  Untuk selanjutnya mengacu pengalaman tersebut, anak-anak di luar kota, mengirim kepada ORTU mereka dengan dua kiriman masing-masing dengan alamat ayah dan satunya dengan alamat ibunya, dengan jumlah yang sama.
Bagi para rekan-rekanku sesama pensiuan yang terhormat, apakah diantara kita sudah sampai mengalami seperti Kakek dan Nenek tercinta di atas. Semoga cerita ini dapat jadi acuan, untuk dapat berupaya menghindari terjadinya selisih paham diusia senja tersebut.
Bagi kawula muda mungkin cerita ini dapat menjadi bahan untuk memahami bahwa manusia itu apabila sudah menua, kecenderungannya kembali kepada kejadian semula (seperti anak-anak lagi). Oleh sebab itulah barangkali makanya setiap agama melarang anak-anak durhaka kepada orang tuanya. Sungguh cobaan untuk tidak durhaka itu tidaklah ringan, cerita ini sebagian kecil keadaan sebagaian orang diusia lanjut.

No comments:

Post a Comment