Monday 20 February 2012

SAKSI

Saksi begitu pentingnya dalam menegakkan keadilan. Sebagian Da’i sering menceramahkan tentang seorang Ali bin Abi Thalib sebagai kepala pemerintahan, suatu saat pernah kalah dalam pengadilan yang digelar justru di era kepemerintahannya. Baju besi kepunyaannya berada ditangan seorang Yahudi. Ketika dibawa ke mahkamah lantaran ia tidak mempunyai saksi “kuat”, walau dapat menunjukkan dengan tepat ciri-ciri itu barang, dan mengajukan dua orang saksi yaitu Qunbur (budak beliau) dan anak beliau Hasan bin Ali, namun hakim bernama Syuraih, memutuskan baju besi itu tetap milik pemegang terakhir. Saksi anak sendiri tidak memenuhi syarat dalam perkara seperti itu. Hikmahnya justru dengan kemenangan berperkara itu si Yahudi pemilik terakhir baju besi itu tertarik dengan keadilan yang tegak oleh pengadilan Islam. Si Yahudi mengakui sesudah pengadilan usai, bahwa baju besi itu memang milik sang Khalifah. Kekagumannya dengan sistem pengadilan Islam yang tidak memihak, betul-betul tegak berdasarkan teknik pemutusan perkara, walaupun yang berperkara antara pembesar dengan rakyat yang beda agama pula, akhirnya ybs. masuk agama Islam. Belakangan memang saya ada membaca bahwa riwayat tersebut dinilai bathil Oleh Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, setelah beliau menelaah kitab Al-Abathil karya Al-Jauzaqani, di mana beliau menyebutkan kisah ini di dalamnya sebagai kisah yang bathil.
Al-Jauzaqani menyebutkan dalam kitab Al-Abathil (2/197), beliau mengatakan, “Ini adalah riwayat yang bathil (tidak benar). Abu Sumair seorang yang haditsnya mungkar, meriwayatkannya seorang diri… dst”. Ibnu Jauzi menyebutkannya dalam Al-Ilalul Mutanahiah (2/388) di mana beliau menyatakan hal yang senada dengan yang ditulis Al-Jauzaqani. Imam Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam Miizanul I’tidal ketika beliau mengemukakan biografi Abu Sumair Hakim bin Khidzam ini –yang dalam Al-Hilyah dan Al-Abathil disebutkan, Hizam (dan bukan Khidzam)- Beliau juga mengatakan bahwa Abu Hatim berkata, “Sesungguhnya Abu Sumair ditinggalkan haditsnya”. Dengan demikian diketahui bahwa kisah ini sangat dha’if (lemah, tidak kuat) ditinjau dari jalur Abu Sumair Hakim bin Khidzam.
Terlepas dari dha’if atau shahih riwayat tersebut, yang jelas ini bukan terjadi di zaman Rasulullah Muhammad s.a.w. masih hidup, sudah periode khalifah yang ke empat. Filosofi yang dapat diambil dari kisah ini adalah bahwa penerus-penerus risalah Islam sesudah para khalifah berupaya untuk memberikan motivasi kepada penegak hukum, bahwa hukum Islam harus ditegakkan dengan adil, tidak memihak kepada yang berkuasa sekalipun. Mungkin ini latar belakang riwayat ini dirilis, guna diteladani penegak hukum dan saksi. Di riwayat, contoh ekstrim seorang kepala pemerintahan kalah dalam berperkara hanya tidak punya saksi yang sesuai “aturan kesaksian memutuskan perkara dalam Islam”. Untuk perkara seperti di atas harus dua orang saksi laki-laki, saksi perempuan harus empat orang atau seorang lelaki dua orang perempuan, tidak diterima saksi dari anak sendiri. Untuk perkara perzinahan harus empat orang saksi.
Saksi haruslah adil dan berkata sebenarnya bahkan untuk perihal kesaksian Allah s.w.t. mengajarkan langsung dengan ayat Al-qur’an diantaranya di dalam surat Annisa ayat 135.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
Pada pengadilan di negeri ini yang dipertontonkan belakangan, sering terlihat bahwa saksi memutar balikkan keadaan yang sebenarnya, tidak sejujurnya bersaksi. Beberapa hakim dan penegak hukum juga dikabarkan oleh media ada oknum yang menyalah gunakan wewenang mereka. Apakah bangsa ini harus impor penegak hukum dari luar negeri, seperti halnya kita impor garam, impor kedele dan bahkan terakhir impor ikan. Dulu pernah ada film seorang penegak hukum di China namanya Judge Bow, mungkin yang macam itu perlu di impor.
Kembali ke soal saksi. Nabi Muhammad s.a.w. pernah berkata: “Barangsiapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya (yang dusta), maka sesungguhnya Allah mewajibkan baginya masuk neraka dan mengharamkan baginya syurga.” Seseorang bertanya: “Sekalipun terhadap sesuatu yang remeh ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “(Ya), sekalipun sebatang kayu arak (yang digunakan untuk bersiwak).” (HR. Muslim).
Dalam ayat lain Allah s.w.t. memberitahukan di dalam Alqur’an: “Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu diantaramu yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya dan kamu rasakan kemelaratan (didunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan bagimu azab yang besar.” (QS. An-Nahl :94).
Himbauan buat para saksi, bersaksilah dengan benar, sadarilah bahwa hukum di dunia jauh lebih ringan dibanding hukum akhirat. Anda dapat berlindung di dunia ini dengan berbagai teknik termasuk kebohongan, tetapi di akhirat tidak ada yang dapat berbohong lagi sebab yang menjadi saksi adalah seluruh anggota badan sendiri, kita banyak dapatkan informasi tentang hal itu di dalam ayat-ayat kitab suci berbagai agama. Hukuman di dunia terukur relatif singkat, sesingkat hidup ini, sedangkan hukuman akhirat kekal tak berkesudahan. Coba contoh negara lain, seorang Presiden saja mengakui kesalahannya ketika tersiar tentang dirinya berselingkuh. Baru-baru ini Persiden Jerman undur diri karena ditenggarai melakukan sesuatu yang tidak patut menurut norma negara pemeran utama perang dunia kedua itu.
Cobalah renungkan yang agak mendalam, akan kehidupan ini benar-benar hanya sebentar, tidak ada orang yang akan hidup di dunia ini di atas seabad. Kalaulah hidup di atas seabad kondisi sudah tidak lagi menyenangkan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang yang melihat. Diri sendiri sudah serba kepayahan sedang yang melihat (anak cucu kita) merasa iba dan kasihan. Sebab sudah serba salah, banyak makan sakit, sedikit makan sakit, tidak jalan repot kalau jalan-jalan takut tak dapat pulang (karena lupa alamat), ketawa, menangis dan meringis sudah hampir sama. Pokoknya serba sulitlah. Maka nabi Muhammad s.a.w. mengajarkan do’a, mengenai “usia” lafaznya begini: “Allahumma inni audzubika minal azzi, wal kasali wal buhli wal harami” maknanya kurang lebih “Ya Allah hindarkan aku dari malas, dan bahil (kikir) serta usia pikun (tidak berdaya)”. Beberapa waktu lalu (15-06-2011) pernah kutulis dalam blogspot ini dengan judul “Harta Kita Kumpulkan ternyata untuk orang lain”.
Semoga tulisan ini terbaca oleh orang yang sedang menjadi saksi, atau setidaknya orang yang dapat menasihati orang yang sedang jadi saksi perkara korupsi di negeri ini.



No comments:

Post a Comment