Thursday 20 October 2011

KONSISTEN

Tiap tahun, beberapa tahun terakhir ini bangsa Indonesia mengirimkan jamaah haji tidak kurang dari 200 ribu orang per musim haji. Belakangan ini untuk menunaikan ibadah haji harus antri berbilang tahun, tidak seperti belasan tahun yang lalu siapa punya uang cukup dan sehat dapat langsung mendaftar dan berangkat.

Andaikanlah semua orang yang sudah pergi haji, menjiwai apa artinya haji, konsisten menjalankan perilaku seharusnya bagaimana seorang yang sudah menjalankan haji, tentu bangsa ini sudah lama makmurnya. Sudah lama korupsi dipandang sebagai perbuatan tabu yang menggugurkan makna haji.

Kalau begitu gerangan apa yang menyebabkan bangsa ini masih saja terpuruk, walau jumlah orang-orang yang melaksanakan ibadah haji sudah demikian banyaknya, dan kebetulan kebanyakan pula yang menyandang predikat koruptor adalah pak Haji atau Bu Haji.

Rupanya persoalannya adalah para haji kita banyak yang tidak konsisten dengan kehajiannya. Konsisten saya terjemahkan bebas dari bahasa agama “Istiqamah” Bukankah haji adalah rukun Islam yang kelima, sekedar mengingatkan kita semua:

Rukun Islam yang pertama adalah “Dua kalimah syahadat mengucapkan dengan lisan mengikutinya dengan hati yang tulus dan ikhlas bahwa hanya bertuhan kepada Allah dan mengakui Muhammad adalah Rasul utusan Allah. Konsekwensinya adalah; di dalam hidup seorang Islam tidak lagi mempertuhankan selain Allah seperti antara lain: benda/materi, duit, atasan, jabatan dan segala macam, hanya tunduk dan patuh dengan apa yang digariskan oleh Allah. Garis aturan Allah itu diketahui melalui Rasul utusan Allah yaitu Muhammad s.a.w. Konsekwensinya segala yang diajarkan oleh Rasulullah secara keseluruhan diikuti. Dari sini saja sudah aman bangsa ini jika semua orang Islam konsisten dengan syahadatnya.

Rukun Islam yang kedua Shalat, sekurangnya 5 waktu dalam sehari semalam, jika setiap orang Islam konsisten melaksanakan ibadah shalat ini, sekurangnya setiap waktu yang ditentukan, tidak terjadi kemungkaran. Ketika akan melakukan korupsi misalnya; dipagi hari ingat bahwa tadi sewaktu subuh sudah bermunajad kepada Allah minta rezeki yang halal, insya Allah Pejabat negara terjauh dari korupsi, pedagang tidak akan berbohong, tidak akan mengurangi sukatan atau timbangan, pemuda pemudi yang masih bergelora dapat mengendalikan diri dari godaan nafsu. Karyawan akan bekerja penuh disiplin dan sungguh-sungguh karena bekerja adalah ibadah untuk mendapatlkan rezeki yang halal. Begitu selanjutnya ketika zuhur tiba diperbaharui lagi komitmen kepada Allah dan seterusnya sampai subuh kembali. Tentu orang Islam terhindar dari perbuatan tercela sekecil apapun.

Rukun Islam ketiga, berpuasa dibulan Ramadhan, mendidik jiwa orang Islam menjadi memahami penderitaan orang lain, sehingga tidak akan menyusahkan orang dalam hidup ini, karena betul-betul bagaimanapun kayanya seseorang, ia mempraktekkan diri bagaimana jadi orang tidak makan. Melatih diri memahami orang lain, tidak gampang tepancing emosi. sehingga tercipta manusia-manusia yang berbudi luhur dan berpenampilan tenang tidak gampang tersulut perselisihan paham/ribut yang hanya melahirkan kerusakan. Orang yang sukses puasanya tidak akan serakah, dapat menahan diri, karena sudah terlatih menahan diri dari rezeki yang halal saja tidak dimakan, apalagi rezeki yang tidak halal. Lagi menjadikan bangsa ini bila puasanya sukses akan aman dari orang yang memakan harta orang lain.

Rukun Islam keempat, menunaikan zakat, bilamana konsisten semua orang Islam melaksanakan Zakat, tentu semua harkat masyarakat akan terangkat. Lembah yang dalam antara sikaya dan simiskin dapat terurug. Setiap orang Islam menyadari bahwa dalam kekayaannya terdapat milik orang lain. Akan timbul kebersamaan antara orang berpunya dan orang papa.

Barulah rukun kelima yaitu menunaikan ibadah haji bagi orang Islam yang sudah mampu untuk menyiapkan diri dari segi biaya dan kesehatan. Haji diletakkan sebagai rukun kelima ini juga mengandung makna bahwa orang berangkat menunaikan ibadah haji sudah melaksanakan dan konsisten rukun-rukun Islam yang mendahuluinya. dengan demikian apabila orang sudah haji sepulangnya ke tanah air kembali lagi tidak melaksanakan rukum-rukun Islam empat lainnya, itu pertanda haji yang tidak konsisten.

Paling kurang ada tiga pertanyaan penting seharusnya direnungkan oleh seorang yang selesai menunaikan ibadah haji:

Pertama: Apakah haji yang dilaksanakan itu diterima oleh Allah. Dirunut antara lain dari mana diperoleh pembiayaan perjalanan haji.

Kedua : Apakah semua ibadah telah dilaksanakan dengan hanya mengharap redha Allah atau ada motifasi lainnya.

Ketiga: sepulang haji apakah sanggup mengemban/memelihara predikat haji, yaitu secara konsekwen dan konsisten menjalani semua perintah Allah dan Rasul Allah secara keseluruhan.
Pertanyaan pertama, agaknya dengan mudah ditelusuri oleh diri sendiri, bahkan orang lain yang kadang sok usil dapat membaca dari mana diperoleh harta untuk biaya berangkat haji. Kalau harta berangkat haji dari hasil korupsi, banyak ustadz yang mengi’tibarkannya seperti mandi dengan air kotor, berwudhu dengan najis. Soal diterima atau tidak ibadah haji ybs. wallahu alam bissawab. Tak berani pula awak memfonishnya itu urusan Allah.
Walau sumber rezeki dijamin halal, untuk modal pergi haji, tetapi dipertanyaan kedua harus dapat dijawab bahwa betulkah hajinya lillahi ta’ala (semata karena Allah). Jika ada motif lain, umpamanya sering kita dengar orang berkata “ndak enak saya udah begini tua belum berangkat haji, orang sering manggil pak haji, pada hal saya belum haji udah sekalian sekarang berangkat”. Ada lagi ungkapan “di kampung saya orang sebaya saya udah haji semua, masak saya belum juga haji udah apa yang ada dijual, yang penting berangkat haji”. Atau ada lagi yang berpikir “Pak anu bisnisnya sekarang maju semenjak pulang dari haji, rupanya patner bisnisnya dan orang-orang lebih percaya padanya karena beliau sudah haji, saya ikut berangkat haji juga, semoga title haji menambah kepercayaan orang”. Kadang haji yang begini ini sepulangnya masih tetap seperti yang dulu.

Bila jawaban kedua pertanyaan tersebut di atas hasilnya negatif, diiringi pula tidak konsisten menjalankan rukun Islam lainnya, maka terjawablah pertanyaan ketiga negatif pula yaitu tidak sanggup mengemban/memelihara predikat haji. Bila ia seorang pejabat yang punya Peluang korupsi, maka korupsinya makin menjadi-jadi. Bila ia seorang pedagang yang selama ini ia selalu berbohong untuk memperoleh untung, iapun dengan bernaung pada predikat hajinya lebih leluasa berbohong. Bila sebelum haji punya kegemaran judi maka sepulangnya masih tergoda untuk bejudi dan seterusnya, justru makin hebat karena terlindungi oleh haji. Bahwasanya syaitan menggoda tergantung strata orang yang digoda. Orang berilmu setan penggoda juga berilmu lebih tinggi, orang yang sudah berpredikat haji setan penggota juga bukan lagi setan sembarangan, iapun mungkin berpredikat haji pula.

Ada anekdot, seorang yang tadinya penyabung ayam, ketika pulang haji diberi kehormatan menjadi imam di Langgar (Surau) di kampungnya. Surau di kampung itu bangunan panggung, lantainya dari papan. Kebetulan papan Surau dari bahan kayu yang kalau musim panas agak renggang. Sedang terik matahari di waktu Zuhur pak “haji baru” jadi iman bersajadah tipis, kampung ini agaknya penduduknya pas-pasan. Pada sujud di rakaat terakhir, di bawah Surau (kolong Surau) dua ekor ayam tiba-tiba tarung persis di bawah kesujudan sang imam. Ayam berwarna hitam dan ayam berwarna putih jelas terlihat dari sela lantai. Rupanya pertarungan agaknya akan dimenangkan si putih. Si imam berhenti lama sekali dalam sujudnya menikmati sabung ayam kebiasaan lamanya, sambil dalam hatinya berguman “pukul putih, pukul putih, pukul putih” baru ia bangkit dari sujud setelah si hitam keok. Kontan jamaah lainnya merasa lama menunggu, apa boleh buat, bahwa tidak boleh gerakan mendahului imam. Setelah selesai shalat, ayam dikolong Surau terdengar selesai berantem dan si hitam lari terbitit-birit, seluruh jamaah mengetahui keributan sabung ayam di bawah bangunan Surau itu sejak mulai sampai akhir. Terlepas dari benar atau tidak anekdot ini, begitulah tamsil seorang yang sudah melaksanakan ibadah haji, kalau kurang-kurang bertekad bertaubat, maka tergoda kembali untuk menekuni perilaku kurang baik yang pernah dikerjakan. Untuk memelihara ke hajian itu maka haruslah konsisten dalam melaksanakan rukun Islam yang lain agar tertutup kesempatan syaitan untuk masuk melancarkan godaannya.

Allah telah memberikan petunjuk di dalam Alqur’an surat Hud 112

Fastaqim kamaa umirta waman taaba ma-‘aka wala tathghaw innahu bimaa ta’maluu na bashiir. (Maka tetaplah ( istiqamahlah) kamu, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan). Bentuk sikap istiqamah ini dalam amal adalah dengan mengerjakannya secara terus-menerus, ….bukan kadang-kadang.


إِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ

Inna ahabbal a’mala illahi maa daama waa in qalla
Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus (kontinyu) meskipun sedikit (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka amal-amal dibiasakan ketika ditanah suci, hendaklah secara konsisten dipertahankan setelah di tanah air, contoh shalat berjamaah tepat pada waktunya. Betapa di Mekah dan di Madinah, jamaah haji dengan rajin mengikuti shalat berjamaah di masjid, tiada waktu tanpa shalat berjamaah. Setelah sampai di Indonesia hendaknya kebiasaan itu dengan konsisten tetap dilaksanakan. Di Mekah dan di Madinah jamaah haji, gampang tergugah untuk membantu sesama, dibuktikan dalam berbagai akitifitas semua berusaha membantu orang lain, termasuk bersadakah, kenapa setelah sampai di tanah air kebiasaan baik itu justru tidak konsisten di teruskan. Adalah merupakan larangan haji berbuat fasik, berbantah-bantah, membicarakan hal-hal yang tidak pada tempatnya, bila secara konsisten setiap haji dan hajah melakukan ini, maka betapa aman dan damainya pergaulan hidup.

Konsisten melaksanakan semua rukun Islam, terutama bagi haji dan hajah yang seharusnya Islamnya sudah lebih lengkap ketimbang orang yang belum melaksanakan haji. Maka seharusnyalah bangsa yang banyak penduduknya sudah haji ini lebih aman dan makmur.

Para Haji dan Bu Hajah jangan sampai terjadi pada diri kita seperti apa yang diisyaratkan Allah dalam Alqur’an surat An Nahl 92 :

walaa takuunuu kallatii naqadhat ghazlahaa min ba’di quwwatin ankaatsan.(Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali).

Diibaratkan bahwa orang yang sudah melaksanakan ibadah termasuk haji, seperti sudah memintal hubungan yang kuat dengan Allah, terjalin terkelindan, bagaikan benang yang dipintal. Masing-masing orang yang sudah pergi haji merasakan pengalaman rohani betapa kedekatan diri kepada Allah ketika ritual haji dilaksanakan. Jangan sampai hubungan erat dengan Allah itu justru setelah kembali ke tanah air diurai kembali, menjadi tercerai berai bagaikan benang sudah dipintal terurai. Perbuatan ini adalah sia-sia, bagi bangsa kita yang lumayan jauh dari Makkah kota tempat dilaksanakan haji dan menghabiskan biaya yang lumayan banyak, apalagi beberapa tahun belakangan ini, meskipun punya uang harus menunggu beberapa tahun baru dapat melaksanakan ibadah haji.

Semoga Allah menjadikan para Haji dan Hajah semua menyadari akan hal pentingnya peningkatan ibadah sesudah menjalankan haji dan menjadikan mereka Istiqamah dalam ibadah.

Ketahuilah bahwa jika Istiqamah menjalankan perintah Allah, maka Allah menjanjikan di dalam surat Fusilat ayat 30:

Innalladziina qaluu rabbunallahu tsummastaqaamuu tatanazzalu ‘alaihimulmalaaikatu alla takhafu wala tahzanuu wa absyiruu biljannatillatii kuntum tuu ‘aduuna. (Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (konsisten), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.")

Dilanjutkan Allah dengan firman-Nya Jika kita istiqamah, maka Allah SWT menjanjikan di dalam kelanjutan surat Fusilat yaitu di ayat ke 31:

Nahnu auliyaa ukum filhayaatiddunyaa wafil akhirati walakum fiihaa ma tasytahii anfusukum walakum fiihaa maa tadda’uuna.(Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta).

Tulisan ini kuturunkan ketika hadir pada kesempatan syukuran di Pontianak untuk mengantarkan adikku Rosnani Arbi, Spd., Mpd., berangkat menunaikan ibadah haji jamaah Pontinak Kalimantan Barat dari embarkasi Batam 20 Oktober 2011. Jadilah hajah yang mabrur adikku.

No comments:

Post a Comment