Saturday 8 October 2011

GUNA LAIN KAIN BATIK

Wilayah Republik Indonesia ini demikian luasnya, keadaan suatu daerah kadang ekstrim berbeda dengan daerah lain dari berbagai sektor. Mulai dari budaya, bahasa, kegemaran makan, kadang nilai baik dan buruk, kondisi alam, iklim pokoknya beragam perbedaan itu tidak gampang diinventarisir. Oleh sebab itu kebijakan di pusat pemerintahan belum tentu dengan mudah diseragamkan cara penerapannya di daerah, lantaran kendala beragam setiap daerah tersebut. Misalnya saja seorang aparat negara dalam bertugas ke kecamatan dan desa dalam wilayah suatu kabupaten, bila di pulau Jawa dengan mudah menggunakan berbagai alat transportasi. Setibanya di kecamatan atau desa yang dikunjungi bila ternyata harus bermalam tersedia penginapan.

Satu sisi yang diangkat ditulisan ini adalah mengenai transportasi, bagi petugas di daerah terpencil, hanya layak ditempuh dengan kendaraan roda dua. Keadaan ini sampai sekarang pun masih berlaku di daerah terpencil, jika kita membawa kendaraan, kadang sampai 30 menitan belum tentu bertemu kendaraan lain yang berpapasan atau mendahului. Beruntungnya masalah keamanan lebih terjamin ketimbang dikota yang ramai dengan lalu lintas kendaraan.

Adalah seorang petugas mengunjungi daerah dari ibu kota kabupaten, setelah berminggu-minggu bertugas di beberapa desa di suatu kecamatan, tiba waktunya harus pulang ke ibu kota kabupaten. Persiapan perjalanan standar, adalah tas pakaian berisi air minum tak ketinggalan pompa dan alat tambal ban satu set. Tiba-tiba ditengah perjalanan yang lengang tanpa penduduk dan lalu lalang manusia tadi, roda ban depan kempes. Untung masih siang sekitar pukul sembilan, matahari belum begitu menyengat, teduh ternaungi pepohonan dipinggur jalan. Sepeda motor langsung dituntun kepinggir jalan rencana akan dibuka bannya untuk ditambal. Ternyata setelah dibuka angin keluar dari pangkal pentil ban, dengan peralatan yang ada tak memungkinkan untuk ditambal. Perkampungan penduduk, dimana ada tersedia bengkel dan tambal ban kurang lebih delapan belas kilometer lagi. Jika dalam keadaan kempes begini dipaksa dikendarai sejauh itu, disamping akan terjadi goncangan kuat, karena berjalan bukan di atas aspal, juga ban, mungkin roda pun akan binasa. Sambil berpikir dan berdo’a mudah-mudahan ada orang lewat, apa boleh buat diputuskan sepeda motor dituntun sambil mesin dihidupkan dengan porsneling satu supaya tidak berat.

Kira-kira satu setengah kilomoter meter menuntun motor, sampai di jalan yang kiri kanannya tanah tinggi, seperti bukit mungkin lebih sepuluh meter tingginya. Jadi jalan raya ini dulu dibuat nenek moyang ditengah dua dataran tinggi. Terlihat di kanan jalan ada semacam trap-trap tangga yang dibuat dengan memanfaatkan tanah, sehingga tebing yang tinggi itu dapat dinaiki sampai ke atas. Kebetulan capek mendorong sepeda motor, rasa ingin tau dan ingin sejenak istirahat mengusik pikiran ingin menaiki tangga tanah itu. Setelah dinaiki ternyata di atas pada tanah datarnya sekira kurang dari seratus meter dari anak tangga paling atas terdapat sebuah pondok yang belum lama dibangun orang. Harapan mulai timbul, semoga beliau punya kendaraan, misalnya sepeda untuk dapat membawa ban ke bengkel. Atau punya apalah peralatan sehingga memungkinkan untuk menambal ban yang bocor di pentilnya itu. Sebenarnya ada tehnik menambalnya yaitu dengan menempelkan dua lapis karet ban agak besaran dibekas lobang pentil, sementara pentil dimasukkan dulu ke dalam ban. Kemudian setelah tertambal baru pentil ban dikeluarkan melalui lobang dilukai kecil saja, baru sekrupnya dikencangkan. Sayang tidak menduga bakal terjadi bocor dengan kasus seperti ini, sehingga tidak membawa karet ban bekas yang lebar.

Gubug itu agaknya baru, terlihat dari warna dan aroma dinding kajang (semacam dinding daun, dirakit dari daun nipah) masih berwarna dan berbau baru. Segera iapun memberi salam, biasanya sekali saja salam di suasana keheningan hutan langsung didengar orang lain. Di dalam hutan jangankan orang memberi salam, beberapa puluh meter orang lain berada disekitar kita kadang sudah dapat diketahui dengan pendengaran atau penciuman. Ternyata sudah diulang-ulang beberapa kali salam tidak ada yang menyahut, tergerak hati untuk membuka pintu yang hanya ditutup dengan ikatan tali “Kepuak” (semacam tali yang dipintal dari kulit kayu). Setelah dibuka ternyata pondok dalam keadaan tak berpenghuni. Rupanya penghuni pondok pergi ke ladang yang mungkin tidak jauh dari pondok tersebut. Hal ini dibuktikan bahwa di dapur bertengger sebuah periuk yang isinya masih ada sedikit nasi ketan dan keraknya (intip=bahasa Jawa). Kebetulan tenaga yang suduh terkuras mendorong sepeda motor ribuan meter, terasa lapar. Di parak (diatas tungku dapur, parak antara lain tempat menyimpan kayu bakar dan sisa makanan) terdapat panci masih tersisa sayur santan labu merah dengan beberapa potong belulang (kulit rusa yang dikeringkan untuk memasaknya dibakar dipotong kecil-kecil). Kerak ketan dituangi sayur santan labu/belulang, menjadi lembut dan enak sekali disantap pagi menjelang siang itu, sambil melihat kekiri kanan ruangan pondok yang cuma satu ruangan itu. Menggantung di palang kayu yang melintang di pondok selembar kain batik panjang, sepertinya digunakan untuk selimut oleh penghuni pondok, nampak dari warnanya mulai kusam. Kain lain berupa pelekat, pakaian serba guna buat orang lelaki. Sebelum ramuan kerak ketan dan sayur labu selesai disantap belum terpikir banyak terhadap kain batik panjang itu. Terlintas dipikiran kain batik panjang biasanya juga digunakan untuk ayunan menidurkan bayi, dengan diikat masing-masing ujungnya dengan tali, kemudian tali digantungkan ditiang. Tapi tidak ada tanda-tanda bayi dipondok itu. Sedangkan kain pelekat dapat digunakan serba guna oleh kaum lelaki dan perempuan, dapat buat selimut, dapat buat santai di rumah, dapat digunakan pergi ke kamar mandi. Setelah makan selesai, mulai teringat kembali ke sepeda motor yang diparkir di bawah sana, di jalan raya. mulai terpikir ke kain batik, langsung diambil dari sangkutannya di tiang melintang di tengah pondok. Setelah turun dari tangga pondok, terlintas lagi pikiran kenapa tidak sekalian kain pelekat, “sekalian bejahat” pikir petugas tadi. (Sekalian melakukan kejahatan toh dosanya sama, biar banyak sekali). Kain batik tersebut setelah kembali ke sepeda motor, digulung dan dilingkarkan buat mengisi ban, menggantikan ban dalam yang kempes tersebut, Untung sekalian tadi juga mengambil kain pelekat, ternyata ban belum kenyang hanya dengan selembar kain panjang, harus ditambah lagi dengan kurang lebih separo kain pelekat. Ee setelah kain pelekat terlajur digunting untuk dimasukkan ke ban, baru teringat bahwa ia sendiri juga ada membawa kain pelekat di dalam tas. Terlintas juga untuk mengantarkan kain pelekat kepunyaannya ke gubug di atas, tapi diurungkan karena baik motif maupun warnya sangat berdeda.

Menggunakan ban depan yang diisi dengan kain batik panjang dan sebagian kain pelekat, sementara perut sudah kenyang keganjel nasi dan kerak ketan berkuahkan sayur santan labu belulang, sepeda motor dapat dikendarai menyusuri jalan sepanjang tidak kurang enam belas setengah kilometer lagi. Ternyata goncangannya lumayan kuat, apalagi bila ketemu lekak lekuk jalan tanah yang dilalui. Motor dijalankan dengan perlahan, mengingat bannya tidak biasa. Kurang lebih tiga perempat jam sampai juga keperkampungan penduduk dimana tersedia bengkel.

Tanpa pikir panjang sepeda motor diarahkan ke bengkel, sekalian ada warung nasi dan kopi. Langsung saja ngomong ke tukang bengkel, “ban depan bocor”, sementara si pemilik motor pesan makanan dan kopi. Bengkel ini sudah lama dikenal, sebab hampir setiap bertugas di pedesaaan melalui bengkel tersebut selalu singgah, untuk ngopi atau makan, walau tidak kebetulan kebocoran atau kerusakan sepeda motor.

Alangkah tercengangnya tukang bengkel, ketika dibukanya ban berisi perca-perca kain batik dan pelekat. “Bang-bang bagaimana cara meraciknya” tanya tukang bengkel sambil ngeledek. “Udah,... ganti aja ban luar dan ban dalam cepat”, jawab pemilik sepeda motor. Rupanya kain batik tadi hancur menjadi perca-perca halus dan ban luar juga ikut rusak, tapi cara ini ternyata menyelamatkan roda kendaraan, hanya karet pelapis antara ban dan roda bagian dalam ikut putus-putus. Usai makan siang ban roda depan baik kembali, singkatnya perjalanan dapat dilajutkan ke ibu kota kabupetan, tiba di rumah sesudah magrib.

Esok harinya pengalaman tersebut diceritakan kepada rekan sekantor, mendapatkan berbagai komentar dari teman sejawat dan diantaranya juga membalas dengan informasi perjalanan berdinas di wilayah lain, baik sesama melalui jalan darat maupun laut dan sungai. Pengalaman mereka masing-masing tidak kalah serunya.

Hari berjalan, bulan berganti, tiba waktunya akan mengunjungi kembali daerah “ban kain batik panjang dan pelekat”. Si petugas ingat ada hutang sepasang kain di gubug peladangan dimana orangnya belum dikenal, tak lupa sehari sebelumnya sudah membeli kain batik panjang dua lembar dan juga kain pelekat dua helai, seperangkat mukenah berikut baju batik untuk oleh-oleh buat penghuni gubug, tak lupa pula biskuit kalengan. Kini sengaja distel tiba ke pondok menjelang zuhur, diharapkan penghuni pondok datang ke pondok sekurangnya untuk makan siang.

Betul sekali dugaan, sampai di gubug penghuni pondok peladangan sedang berada di dalam pondok mereka, sedang istirahat rupanya. Betapa senang orang berada di tengah hutan bila ada bangsa manusia yang mampir, kayaknya apapun makanan yang ada ingin disuguhkan. Rupanya pemilik pondok peladangan itu adalah sepasang suami isteri yang lumayan lanjut usia terlihat dari gurat-gurat mukanya dan pipi mereka sudah mulai kempes.

Percakapan merekapun terjadi:

Pemilik Pondok yang lelaki: “Anak ni mau kemana, sempat-sempatnya mampir ke pondok kami”,

Petugas: “Biasa pak, saya paling tidak tiga bulan sekali, melalui daerah ini untuk bertugas keliling kecamatan dan desa”.

Pemilik pondok: “Baru kali ini mampir?

Petugas : “Udah dua kali ini mampir, dulu belum pernah mampir ndak keliatan, abis letaknya di atas

Pemilik Pondok : “Perasaan kami baru sekali ini, kapan dulu pernah mampir

Petugas : “Kurang lebih tiga bulan yang lalu

Pemilik Pondok yang perempuan : “Betemu dengan siapa”, sambil melihat ke arah suaminya

Petugas: “Ndak betemu siapa-sapa, pondok ni sedang kosong”, suasa jadi hening sejenak

Petugas : “Ini ade saya bawa oleh-oleh buat bapak/ibu”, sambil dibuka dari dalam tas, dua lembar kain batik panjang, dua lembar kain pelekat dan selembar baju batik, beserta seperangkat mukenah dan sekaleng biskuit.

Penguni pondok yang perempuan: “Untuk apa ini semua”?

Petugas menjelaskan duduk soalnya, seperti telah ditulis di atas. Ibu penghuni pondok menjawab: Biasanya yang berkelauan begitu itu “KERA’” (bahasa lain untuk monyet). Menurut penuturan ibu penghuni pondok, Kera sering memakan sisa nasi di dalam “Kenceng” (istilah lain untuk periuk alat penanak nasi), lanjutnya si ibu: “kadang Kencengnya dibawa sampai keatas kayu (maksudnya pohon). Cuma ndak pernah kera membawa kain batik dan pelekat, kami juga heran”.

Petugas tersebut minta maaf beribu maaf dan minta halal atas kejadian tersebut, kejadian terpaksa harus dilakukan, karena dalam keadaan darurat. Permintaan maaf itu diterima dan dimaklumi oleh kedua orang tua sepuh tadi, dan dengan pesan pula, “kapan bertugas ke kecamatan kami kalau kecapean silakan mampir di pondok kami”.

Kesimpulan dari peristiwa ini antara lain adalah:

1. Bahwa dalam keadaan terpaksa kadang timbul jalan keluar yang tidak biasa

2. Bahwa wilayah Republik Indonesia ini memang luas, dengan aneka perbedaan kadang ekstrim, sehingga kebijakan tidak dapat digeneralisir.

3. Bahwa dalam perjalanan yang seperti itu, perlengkapan ekstra harus dipersiapkan, misalnya petugas tadi, kalaulah ia membawa cadangan ban dalam sepeda motor, pesoalannya akan teratasi dengan lebih baik.

4. Bahwa “Kera atau Monyet” hanya mengambil, apa yang diperlukannya, misalnya makanan atau paling top sekaligus tempat makanan. Manusia tidak bermoral, lebih berkemampuan mengambil bukan hanya sekedar keperluan, kalau perlu untuk persiapan tujuh turunan buktinya para koruptor biasa menggasak uang negara milyaran, padahal umpamanya dimakan sendiri sampai ia umur ratusan tahun juga ndak abis, tapi mereka ingin siapkan untuk tujuh turunan.

Petugas tadi hanya mengambil sesuai keperluan termasuk sepasang kain untuk mengganjal ban. Itupun telah dilakukan penggantian dilain kesempatan. Bertanyalah petugas tadi padaku tentang apa yang diperbuatnya tersebut dari sisi kepatutan aturan agama. Untuk menjawabnya kukemukakan beberapa rujukan ayat-ayat Alqur’an dan perilaku sahabat Nabi Muhammad S.A.W.

Jawaban kepada petugas tadi adalah:

Pertama, memasuki rumah orang lain, perhatikan petunjuk Allah di dalam surat An-Nur ayat 27 sampai 29

Ayat 27. Yaa ayuhalladziina amanuu la tadkhuluu buyuutan ghaira buyuutikum hattaa tasta’nisuu watusallimuu ‘alaa ahlihaa dzaa likum khairullakum la’allakum tadzakkarun. (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat).

Ayat 28, Fainlam tajiduu fihaa ahadan falaa tad khuluuhaa hatta yu’dzanalakum wain qiila lakumurji’u farji’uu huwa azkalakum wallahu bimaa ta’maluu na ‘aliim. (Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan).

Ayat 29, Laisa a’laikum junaahun an tad khuluu buyuutan ghaira maskuunatin fiiha mataau’llakum wallahu ya’lamu maa tubduuna wamaa taktumuun (Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan).

Kedua, langsung menyantap nasi ketan dan sayur santan labu merah rencah belulang, dalam situasi tertentu dapat dibolehkan dan dalam situasi tertentu termasuk tidak diperbolehkan. Dalam keadaan yang sangat memaksa/darurat, makanan haram boleh jadi menjadi halal, misalnya sangat lapar yang akan membahayakan jiwa, sedangkan tidak tersedia makanan lain yang halal. Dalam keadaan yang tidak memaksa/darurat, makanan yang halalpun bila sumbernya tidak jelas, maka sangat dianjurkan untuk tidak disantap. Adalah sahabat utama Nabi Muhammad s.a.w. Abubakar Siddiq, r.a. pernah memasukkan jarinya kedalam mulut beliau agar makanan yang sudah terlanjur termakan dapat dikeluarkannya, setelah diketahui dari cerita pembantunya bahwa sumber makanan tersebut dari hasil yang subhat. Sahabat nabi ini tidak mau memasukkan makanan ke dalam tubuh beliau, makanan berasal dari sumber yang “subhat:”(kurang jelas haram atau halal) apa lagi haram. Tidak seperti sebagian kita sekarang, jangankan yang suhbat, yang jelas haram seperti kasil korupsi saja disikat, malah orang yang tidak pandai korupsi dinilai bodoh.

Ketiga, tentang pengambilan kain, dinilai masih kurang ikhtiar, semestinya masih dapat diusahakan untuk mencari penghuni gubug ke lokasi peladangannya yang semestinya tidak berapa jauh dari gubugnya, sebab model peladangan berpindah seperti ini sudah maklum bahwa peladang membangun gubug baru tidak jauh dari lokasi ladangnya. Gubug dan ladang mereka akan ditinggalkan setelah kurang lebih enam-tujuh bulan sejak dibangun, hingga selesai ladang dipanen. Lagi pula di keheningan hutan, dengan berteriak, maka orang lain akan mendengarnya dan umum sudah di dalam hutan, orang yang mendengar menjawab teriakan itu.

Untunglah usia si petugas masih dipanjangkan Allah sampai tiga bulan mendatang, sehingga masih sempat menyelesaikan permasalahannya dengan penghuni pondok. Bagaimana kalau tidak sampai umur dan lupa berwasiat kepada ahli waris perihal ada sangkutan dengan penghuni pondok gubug peladangan di pelosok terpencil itu, persoalannya akan menjadi beban di yaumil hisab.

No comments:

Post a Comment