Sunday 24 July 2016

AKANkah Anda Korupsi???



Termasuk diriku sudah sering membuat tulisan mengenai koruptor, dengan berbagai persi. Semuanya merupakan kekecewaan atas perbuatan tercela tersebut, yang melumpuhkan sendi-sendi kehidupan Masyarakat. Tak kurang dalam tulisan orang-orang mengenai sindiran terhadap koruptor, membandingkan kehidupan mereka (koruptor) yang penuh kecukupan tetapi masih juga merasa kurang puas dan menimbun kekayaaan dengan jalan tak halal tersebut.
Pertanyaan, apakah anda para penulis cercaan terhadap koruptor termasuk saya, bila punya kesempatan korupsi, misalnya jadi pejabat, akan bersih dari perbuatan itu. Jawabnya mungkin ada tiga:
Pertama;  Kapan lagi kesempatan tak akan terulang, untuk jadi pejabat atau berkedudukan berpeluang korupsi, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan. Tentu tahun-tahun pertama sekurangnya mengembalikan modal, tahun-tahun kedua memetik keuntungan. Tahun-tahun ketiga sampai kelima menumpuk modal lagi untuk bertahan.
Kedua; Ketika ingin merebut tempat tersebut kan harus menebar janji, nanti tidak korupsi. Kalau ketahuan korupsi apa kata dunia yang sudah mencatat tebaran janji. Yaaah bilapun korupsi jangan sampai menyolok. Kata orang bijak “pandai makan pandai pula menyuci piring”.
Ketiga: Sejak semula bertekad untuk tidak korupsi, ketika mencalonkan diri jadi pejabat, kalaupun berbiaya, biaya sendiri dan memang sudah diniatkan, biar habis juga ndak apa-apa agar terjaga nama sampai keanak cucu. Motif jadi pejabat bukan untuk mencari harta, tapi benar-benar untuk mengharumkan nama keluarga, supaya tercatat pernah menduduki jabatan prestisius, alasan dunianya. Alasan akhiratnya lebih dari itu, untuk mencari keredhaan Allah.
Ulasan jawaban pertama:
Benar, bahwa kesempatan untuk jadi pejabat publik (yang dipilih rakyat) di Indonesia, tidak mungkin gratis, sekurangnya biaya-biaya kampanye, mulai dari beli kaos, pasang umbul-umbul dan balego, spanduk, penggandaan brosur, konsumsi setidaknya buat tim sukses. Belum lagi menyewa “perahu”, yang akan ditumpangi mengantarkan ke pencalonan. Kalau tak punya modal, keinginan menjadi pajabat publik tersebut biarkan tetap menjadi mimpi.  
Modal, sesuai kelaziman dalam niaga, dapat berwujud modal sendiri dan juga dimungkinkan modal asing. Modal asing dapat berupa pinjaman, juga tak mustahil ada pihak yang siap jadi sponsor. Manusiawi jika modal sendiri harus kembali berikut untung yang mengikutinya. Nah kalau modal asing tentu benar-benar harus kembali berikut jasanya. Itulah sebabnya wajar dan manusiawi jika sebagian pejabat yang menjabat karena dipilih rakyat, berikhtiar untuk mengembalikannya. Sayangnya biaya itu dalam kalkulasi dari penghasilan legal (gaji resmi) sepertinya tak masuk akal akan pulang modal. Itulah sebabnya jalur illegal, terpaksa digunakan untuk mengembalikan modal, baik modal sendiri apalagi modal asing. Khawatir kalau pengembalian modal sendiri dan modal asing itu bila hanya sepriode hanya sedikit diatas breakeven, maka diupayakan sekuat tenaga untuk sepriode lagi dalam rangka cari untung.
Ulasan jawaban kedua:
Kelompok ini, korupsi mungkin ada juga sikit-sikit, sekedarnya untuk nutup ongkos jabatan, untuk nutup ongkos mendapatkan jabatan. diakui atau tidak bahwa untuk mendapatkan jabatan paling tidak harus mendapatkan beberapa “TANGAN”:
·         Uluran TANGAN, para pemilih, agar mau menusuk tanda gambar ybs.
·         Agar pemilih mau memberikan suaranya diperlukan Buah TANGAN kepada mereka
·         Untuk legal menjadi pejabat publik harus diangkat dengan keputusan memerlukan tanda TANGAN
Jadi bagaimanapun tetap melalui TANGAN-TANGAN yang memerlukan buah TANGAN yang harus dipersiapkan, untuk mempersiapkannya diperlukan biaya buat ongkos jabatan.
Pihak dengan alasan ini, melakukan korupsi ala kadarnya sesuai keperluan, supaya biaya-biaya jabatan dalam berjalan menjalankan jabatan tidak mengorbankan hasil jabatan legal. Semboyan mereka bahwa korupsi adalah “uang setan”, lantas tak apalah kalau disalurkan kepada “Iblis”, yang menggerogoti minta upeti atau minta sangu selama dia jadi pejabat. “Uang setan” biar “Iblis yang makan”, asal “uang setan” itu tidak dinafkahkan buat diri dan keluarga.
Komentar jawaban ketiga:
Semula niat baik, belum pasti dapat dilaksanakan dengan baik. Sebagai referensi kita bahwa:
Manusia memang berpotensi untuk menjadi baik dan buruk, seperti diinformasikan pencipta manusia dalam Al-Qur’an surat  Asy-Syams  ayat 8
 maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”
Semula si “manusia” memang berniat baik, akan tetapi dalam perjalanan, kerena memang manusia sudah di disian pencipta manusia berpontensi untuk menjadi fasik atau kelakuan yang tidak baik, perilaku tidak terpuji, perilaku serakah, perilaku tamak, perilaku angkara murka, bengis tak kunjung puas. Sementara manusia juga berpotensi untuk menjadi jujur, menjadi berperilaku terpuji, berperilaku jujur, dan segala macam perilaku kebaikan atau takwa.
Sementara itu memang Syaitan selalu mengintai dari berbagai jurusan, dari atas, dari bawah dari samping dari dalam dan dari luar. Kerena memang Syaitan mendapat wewenang untuk menggoda manusia sampai waktu yang ditentukan, kecuali orang yang muhlisin. Surat Shaad ayat 83
kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka”.
Jika tidak kerena bantuan Allah tak seorangpun dapat terhindar dari godaaan Syaitan. Surat An-Nur ayat 20.
“Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar)”.
Konsep Islam, untuk menghindari segala bentuk keburukan, maka harus ada system yang mampu untuk mencegah terjerumusnya manusia ke lembah nista menjadi koruptor sebelum apa boleh buat harus korupsi.
Disekitar 2003 saya pernah menlusuri perjalanan kayu di sebuah sungai di Indonesia. Usai memberikan pelatihan ekspor di suatu daerah, seorang pengusaha penggergajian kayu memberitahukan bahwa nanti sore akan pergi ke lokasi dihulu sungai untuk mengurus rakit kayu mereka karena tertahan di suatu kawasan kabupaten. Saya ikut dalam rombongan pengusaha tersebut dengan speed boat kecepatan tinggi. Sampailah kami di suatu Kabupaten tepian sungai  alur ketiga dilalui perjalan kayu. Rupanya 17 rakit kayu yang berasal dari kabupaten A. itu telah lolos dari dua Kabupaten. Kini nyangkut di Kabupaten D. Al hasil nyangkutnya itu karena memang pihak pengusahapun salah. Mereka membahwa 17 rakit kayu, hanya dilengkapi dokumen (dengan demikian bayar rettribusi untuk pemasukan negara), kurang dari sepertiga Jumlah kayu.
Petugas di Kabupaten-Kabupaten yang dilalui, mau meloloskan rakit-rakit itu asalkan bagi untung dari Jumlah rettribusi yang kurang dibayar. Sementara menurut pihak pengusaha, kalau jujur-jujuran mendokumeni semua rakit, bukannya untung malah mereka buntung, sebab toh setiap lewat juga “di pak Ogahi”. Jadi biar sekalian, untung-untungan bayar rettribusi dibawah tangan. Cuma kadang negosiasi rettribusi bawah tangan ini ada yang alot.  Kealotan ini dikerenakan rupanya Kabupaten D minta Jumlah yang cukup besar. Kalau dituruti, maka untung akan tipis sekali, mungkin bahkan rugi karena sudah membayar “Pak Ogah” di Kabupaten A. B dan C.
Keadaan itulah maka suruhan BOS harus menghadap pembesar yang berwenang di Kabupaten D malam itu dan kebetulan mengajak saya. Sesampainya di Kab. D. saya diajak untuk ke daratan kira-kira 2 KM dari tepian sungai untuk menghadap “pejabat”. terjadi negosiasi besaran sekian juta.  Oleh suruhan Bos, setelah tawar menawar disepakati suatu Jumlah, tetapi tidak dapat dalam bentuk cash, dalam selembar cek. 
Sementara ojek di ujung malam itu mengantar suruhan Bos ke tepian sungai, saya masih harus menunggu di ruangan “pejabat”. Pejabat menanyakan identitas dan asal saya. Saya jelaskan bahwa hubungan saya dengan pengusaha, adalah karena saya diundang untuk memberikan pelatihan, asal dari Jakarta. Beliau menceritakan bahwa mereka tidak mau kalah dengan Kebupaten lainnya yang dilalui sungainya oleh kayu tak bayar rettribusi yang benar itu. Mereka mendapatkan bagian, kami juga harus dapat. Yang menarik tidak secercahpun anggapan para pelaku penerima hasil “transaksi” bahwa perilaku mereka itu menyimpang. Sepertinya apa yang dilakukan itu sah-sah saja.
Sementara menunggu kadatangan penjemputku dari daratan ke pinggir sungai tempat bertambat speed boat kami, seorang yang masih muda belia, mempersilahkan saya keruangannya. Mungkin dia ingin juga curhat kepada saya, setelah atasannya sekilas ngobrol dengan saya. Pemuda ini rupanya baru limatahun terakhir lulus universitas menyandang gelar S1. Dianya adalah diterima sebagai pegawai di instansi atasannya itu. Ini pemuda mengaku terus terang, bahwa keterlibatannya adalah “apa boleh buat, mau bagaimana lagi” , sebab kalau tidak mau ikut, kelangsungan kariernya akan terhenti, mungkin dipecat, sedang dia sudah beranak beristri. Lebih jauh pemuda ini mengatakan, bahwa selama dia masih menjadi mahasiswa, dia paling depan dibarisan kalau ada demonstrasi mengecam korupsi. Tapi setelah masuk ke dalam sistem dianya terikut dalam pusaran korupsi tak mungkin untuk keluar, kalau masih mau kerja.
Menyadari  sifat manusia yang berpotensi dua tersebut di atas, yaitu berponsi menjadi takwa dan berpotensi fujur atau curang, koruptor, maka Konsep Islam ialah jangan mendekati lokasi tempat terjadinya kejahatan misalnya perzinahan terkenal dengan  “La Takrabu Zinna”. Ini bukan berarti si pemuda tadi jangan masuk jadi pegawai tempat korupsi, tetapi ialah bagaimana pihak penguasa membuat suatu sistem agar tidak mungkin dilakukan korupsi. Gaji besar bukan solusi tetapi gaji kecil pemancing korupsi. Bagaimana sistem dibuat agar orang tidak mungkin dapat berlaku curang.
Contoh konkrit.
Pengurusan surat-surat, kalau memang hasus ditentukan biayanya tetapkan menurut peraturan dan diawasi, tidak boleh ada calo, misalnya sistem pebayaran melalui atm atau bank. Cara pembayaran selain cara itu didak dilayani. Petugas tidak beleh bertemu tatap muka dengan pihak berkepentingan. Kalau sampai ada peretmuan, ditetapkan sebagai pelanggaran berat dengan hukuman dan denda yang berat, baik bagi yang ngurus surat-surat maupun yang melayani. Jadi loket-leket pengurusan dibuka dengan kaca baur, dimana pihak yang dilayani tidak dapat melihat siapa yang melayani dan sebaliknya. menggunakan nomer antrian dan setelah berkas dimasukkan, ada tanda terima yang distandarisir dengan TIDAK bertanda tangan, sehingga tidak deiketahui nama pejabat yang mengurus. Setelah surat-surat selesai atau yang bersangkutan mengambil surat yang sudah selesai, dengan membawa resi tanda terima berkas.
penyelesaian perkara di pengadilan
Pengadalin digelar baik yang terbuka maupun yang tertutup, wajah para hakim berada dibalik kaca yang tak tembus pandang oleh Terdakwa, Pengacara dan Jagsa. Sehingga tidak ada kemungkinan untuk berhubungan diluar sidang.  Jika sampai terjadi hubungan diluar sidang, baik  melalui Perantara apalagi langsung, maka si Hakim dikenakan sanksi pemecatan. Atau mendatangkan hakim impor, dapat direferensikan seorang hakim dalam senetron seri china kalau ndak salah nama hakimnya Judge Bow. Hakim ini boleh kita impor untuk memberi teladan bagi hakim-hakim kita yang “nakal”. Hakim-hakim kita yang jujur juga masih banyak mereka dapat membantu hakim Judge Bow.
Pusat pelayanan publik, semua dilakukan dengan tanpa berhubungannya antara pihak yang berkepentingan dengan pelayan publik. Hal ini sudah banyak dapat dilakukan, misalnya sekarang pembelian tiket penjalan kereta apa dan pesawat terbang. Dengan model on line ini sudah tidak Nampak lagi adanya kong kalikong petugas dengan calo.
Dengan cara ini, maka bila kita jadi orang yang berperan sabagai pejabat, atau sebagai apapun yang melayani hajat hidup atau kepentingan orang banyak akan terjauh dari mendekati kemudahan untuk melakukan korupsi atau perilaku yang tidak terpuji. Sebab sistem dibuat sedemikian rupa sehingga kita tidak mendekati perbuatan keji itu. Barakallu fikum, wallahu a’lam bishawab.

No comments:

Post a Comment