Monday 30 March 2015

Kesaktian “Alu kiwir-kiwir”



Timbangan duduk yang sanggup menimbang ratusan kilo lebih,  belakangan baru dikenal, utamanya di pedalaman tempat perkebunan karet dan kelapa.  Juragan kebun karet suatu ketika menyaksikan pegawainya menimbang karet  yang akan diangkut ke truk untuk dibawa ke kota. Guna mengangkat barang yang akan ditimbang, dacing di hubungkan dengan “Alu”, selanjutnya setelah barang yang akan ditimbang dikaitkan ke dacing, dua orang meninggikan dacing yang dipikul dengan “Alu” di pundak, tadinya posisi agak duduk menjadi berdiri.
Model “Alu”, kedua ujungnya ditumpulkan untuk dapat dipergunakan untuk menumbuk padi. Agar si penumbuk padi mudah memegang “Alu”, di tengah balok kayu bulat yang dibuat “Alu” itu diberi pinggang, lebih kecil dari bagian lain, gunanya untuk memudahkan menggenggam “Alu” tersebut pas sekepalan.
Hari itu, ketika kedua pemikul berdiri meninggikan dacing, “Alu” pemikul tiba-tiba berbunyi kreek. Kontan kedua pemikul reflek menurunkan ketinggian, untuk memeriksa datangnya bunyi. Rupanya bunyi datang dari “Alu”, pas di tengah tempat pegangan, retak hampir patah. Heran juga para buruh yang sudah sekian lama menggunakan  “Alu” dalam kegiatan menimbang, tapi belum pernah sampai membuat patah “Alu”. Apalagi berat barang yang ditimbang, juga biasa sebatas kapasitas timbang dacing yaitu seratusan limapuluh kilogram. Selama inipun mengenakan lingkaran dacing ya di pinggang “Alu” menimbang sekitar seratus kilogram.
Pemilik usaha mendekati “Alu” itu, memang dilihatnya sudah hampir patah, kiwir-kiwir, belum patah benar. Jika dilengkungkan sedikit dengan tangan tanpa bantuan alat, pasti “Alu” itu akan terbagi dua. Kontan dia berpikir,…. sudah, “Alu” ini biar disimpan saja. Untuk menimbang pakai balok biasa saja yang persegi. Pikirannya memberi arah agar “Alu kiwir-kiwir” tadi  disimpan di balik pintu utama rumah.
Pemilik perusahaan kebetulan punya anak gadis ABG sekitar baru empat belas tahunan. Biasalah gadis baru tumbuh itu sering digoda oleh anak muda, katakanlah sebagai bunga kampung. Selain itu pengusaha seperti Pak Ngah Udin yang punya kebun kelapa dan kebun karet yang luas, sering pula di “kompas”, sama “Preman”. Lama kelamaan uang “Keamanan” untuk Preman juga cukup membebani kas usaha Pang Ngah Udin. Belum lagi pusing juga anak gadis masih ABG digoda oknum suatu kelompok kesatuan yang baru berdinas di kampung si pengusaha tersebut. Oknum ini sebetulnya mungkin berniat baik, Cuma Pak Ngah Udin dan istrinya belum hendak punya menantu, karena pengen-nya si anak gadis dapat sekolah lebih tinggi dulu, kalau dapat jadi guru atau bidan kalau mungkin jadi dokter, karena belum seorangpun penduduk kampungnya yang sempat mengenyam pendidikan tinggi.
Suatu hari oknum kesatuan itu datang kerumah Pak Ngah Udin untuk melamar si gadis ABG. Tentu saja Pak Ngah Udin dan keluarga menolak. Dengan bahasa yang halus juru bicara keluarga Pak Ngah Udin menolak, bahwa anak gadis mereka badannya saja yang subur, tapi umurnya masih sedikit, empat belas tahun saja belum nyampai kurang beberapa bulan lagi. Disamping itu dia punya cita-cita untuk melanjutkan sekolah ke kota, sekurangnya entah jadi guru, atau jadi bidan atau kalau mungkin jadi dokter.
Entah bagaimana, karena sudah kadung melamar dan mendapat penolakan, walau penolakan dengan alasan yang logis dan halus pula, bagi yang ditolak kadang tetap saja tidak logis. Jalan pintas sepertinya akan ditempuh. Kelompok kesatuan itu, dengan berombongan disuatu petang  mendekati Magrib datang menyerang ke kediaman Pak Ngah Udin, lengkap dengan senjata yang mereka punya.
Setelah mendengar dari anak buahnya bahwa serombongan kesatuan teman-teman oknum yang pernah lamarannya ditolak datang menyerang. Pak Ngah Udin apa boleh buat harus menghadapinya. Prinsip beliau “Tandang ke gelanggang walau seorang”, “musuh tidak dicari, kalau ketemu berpantang lari”. Rombongan penyerang sudah sampai di halaman rumah yang berpekarangan luas itu, maklum pengusaha kebun ternama di kampung itu. Pak Ngah Udin dengan tenang membuka pintu utama rumahnya, keluar dengan “Alu” yang tadinya tersimpan di balik pintu. Sambil melangkah beberapa tindak kedepan dan dengan suara yang lantang menuju sekelompok anak muda dari kesatuan yang cukup terlatih soal bela diri itu. Pak Ngah Udin katakan “Kalau berani maju biar sekaliguspun saya siap ladeni”. Sambil tangan beliau yang memang kekar itu mematahkan “Alu” ditanganya,….. “kreek”, menjadi dua bagian dan dipegangnya dengan gagah di tangah kiri dan tangan kanannya.
Menyaksikan keperkasaan Pak Ngah Udin yang lumayan sudah berumur itu, ternyata rombongan penyerang ngeper juga. Dalam pikiran mereka tentulah orang ini punya kesaktian yang tinggi, kalau tidak mana mungkin dapat mematahkan sebatang Alu terbuat dari balok kayu Belian (Kayu besi) yang kerasnya nggak tanggung-tanggung.  Kayu belian tak dapat ditembus paku, kecuali dibor dulu. Dengan serta merta mereka bertekuk lutut, mundur kembali ke barak mereka, dan satu diantara utusan mereka malam harinya datang untuk meminta maaf. Pak Ngah Udin nggak tau siapa perutusan itu, apakah komandan dari kesatuan anak-anak muda itu atau siapa,  yang penting jadinya amanlah keluarga mereka dari penggoda anak gadis ABG mereka. Rupanya kejadian itu  berimbas juga, kepada para Preman kampung, sebab ceritanya tersebar luas, tidak lagi mengganggu ketentraman usaha Pak Ngah Udin.
Pak Ngah Udin yang diselamatkan oleh “Alu kiwir-kiwir” itu pun mewanti-wanti kepada anak buahnya yang mengetahui “Alu Kiwir-Kiwir” ketika menimbang karet dan kopra hasil kebun, jangan sampai membuka rahasia “Alu” tersbut.
Ini Cerita Fiksi kalau ada kesamaan nama dan kejadian, hanya kebetulan saja dan tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun.

No comments:

Post a Comment