Sunday 2 June 2013

PARTAI ALMARHUM UYUT

Sidang pembaca yang usianya kepala enam mendekati tujuh, tentu tidak banyak lagi yang punya ayah. Kalaulah ada yang masih punya ayah tentu ayahnyapun sudah begitu renta mungkin nyaris sudah tidak begitu berdaya lagi. Tapi bagaimanapun mereka tidak berdaya, kebanyakan mereka ikut andil dalam memperjuangkan republik ini. Kalau mereka masih normal ngomong dan normal berpikir dan dapat berbuat, tentu mereka tidak akan rela melihat, mendengar dan merasakan suasana sebuah negara yang semasa mudanya dicita-citakannya “adil makmur aman sentausa” semakin menjauh dari pelupuk mata. Masih saja sama dengan zaman penjajah dulu, rakyat masih tetap menjadi kelompok yang harus dikalahkan oleh kompeni. Bedanya cuma kini kompeni bukan lagi berisi bule tetapi sudah berujud perusahaan. Banyak ditayangkan di TV bahwa rakyat direbut/disrobot tanahnya oleh perusahaan, sementara si rakyat karena tanahnya diambil perusahaan menjadi melarat. Setelah diproses, dalam banyak hal rakyat tetap saja kalah, sebab secara ketentuan rakyat tidak memiliki bukti yang menguatkan hak atas tanah yang dipunyai sejak nenek moyang itu.
Memang jadi rakyat dari zaman ke zaman sepertinya harus tetap menderita. Sebagai contoh di tanah air, kita melihat betapa hebatnya bangunan-bangunan peninggalan sejarah, semuanya itu tentu rakyatlah yang dengan susah payah membangunnya dipekerjakan untuk memenuhi hasrat pihak yang berkuasa, kadang dengan kerja paksa. Kalau kita melihat ke peninggalan mesir kuno, piramid yang dibangun zaman Fir’aun mengesankan rakyatlah yang dipaksa untuk mengerjakan bangunan tersebut dengan pengorbanan dan penderitaan. Pokoknya yang namanya rakyat dari masa ke masa tetap saja susah dan menderita.
Kepada cucuku penerus hidup ini kuceritakan dalam tulisanku ini bahwa di negeri ini pernah terjadi era DEMOKRASI. Di era demokrasi rakyat didudukkan ditempat yang tinggi, karena suara rakyat akan menentukan seseorang menjadi pejabat negeri. Namun setelah suara terkumpul dalam keranjang partai. Suara tersebut hanya sebagai landasan untuk melangkah jadi anggota parlemen, suara hanya digunakan sebagai jembatan lewat, untuk menjadi orang berkuasa. Setelah itu  landasan, jembatan tidak perlu diurus lagi selama sekurangnya lima  tahun. Kembali lagi rakyat dengan nasibnya semula dikondisikan agar miskin, lahan usahanya diambil oleh kompeni baik dengan cara terpaksa atau dipaksa. Terpaksa karena ketiadaan, kemiskinan dan kebodohan sehingga lahan nenek moyang diserahkan kepada kompeni. Atau dipaksa dimana tanah nenek moyang mereka diberikan ke kompeni yang lebih sanggup mengurus surat-surat ke pusat penerbit surat-surat itu. Sementara rakyat tidak punya akses untuk berurusan dengan birokrasi dan tidak punya ongkos/biaya pat gulipat dengan aparat mengurus seberkas surat-surat untuk tanah enek moyang mereka (tanah wilayat).
Selanjutnya menjelang lima tahun kemudian acara menebar janjipun serempak dimulai lagi oleh partai-partai. Untuk menebar janji itu diperlukan banyak biaya yang harus dihimpun dengan berbagai sumber dari mulai yang halal maupun yang antara halal dan tidak. Begitu banyaknya biaya menyebar janji itu tentu tidak cukup dengan iuran anggota, sementara partai bukan perusahaan. Konon kabarnya dana digalang dari elit-elit partai yang mencalonkan diri istilah populernya disebut CALEG. Konon untuk menjadi caleg tersebut ada tarifnya sampai menyebut miliaran rupiah. Nah bagaimana jadinya si caleg setelah berhasil menjadi entah anggota parlemen atau menduduki jabatan negara, tentu harus pulangkan modal, kebanyakan harus cari untung untuk persiapan menebar janji lima tahun mendatang agar tetap dapat mempertahankan kedudukan. Itulah sebabnya harus cari jalan “ya apa carane” diantaranya disebut dengan “korupsi”, disebut dengan “pencucian uang” disebut dengan mencari proyek untuk dapat “suapan”. Pokoknya apapun dilakukan untuk mendapatkan biaya mempertahankan kedudukan dan kekuasaan itu.
Di zaman cucuku telah dewasa nanti perilaku rakus kolega Datuknya sudah tidak ada lagi. Negara diurus oleh aparat yang bersih dan bahkan kata-kata “korupsi”  sudah tidak ada lagi dalam kamus bahasa yang mereka pelajari di sekolah, mereka akan bertanya kalau Datuknya masih hidup, “apa sih Datuk yang dimaksud korupsi?”.  Di zaman cucuku nanti partai-partai politik dibangun oleh orang-orang yang berdedikasi tinggi buat negeri, mereka yang berpolitik bukan lagi “ketimbang nggak ada kerjaan”. Tetapi benar-benar berpolitik untuk berjuang memajukan kehidupan bangsa, mereka sudah mapan kehidupannya. Orang berpolitik bukan lagi mencari hidup di politik tetapi menghidupi partai politik.
Cucu-cucuku!!! lain lagi model partai almarhum UYUT-mu. Mereka dulu berpartai dalam keadaan masih serba kekurangan, tetapi sejarah Indonesia mencatat bahwa pemilu tahun 1955, pemilu pertama negeri ini sejak merdeka. Dalam pemilu pertama itu adalah pemilu yang paling demokratis. Mereka berpartai sangat sederhana, tidak punya gedung partai yang mewah, partai dibiayai sendiri oleh anggota partai dari usaha mereka, iuran anggota. Yang kutahu untuk tingkat daerah (kabupaten). Kalau mereka rapat,  untuk konsumsi rapat masing masing peserta membawa makanan apa yang mereka dapat bawa. Gaya hidup orang berpartai sampai yang sedang dipercaya duduk di legislatif dan pemerintahanpun sangat sederhana. Bahkan pernah terjadi seorang Bupati dan anggota-anggota DPRD dikampungku tidak bersedia menerima inventaris sepeda motor. Bupati dan anggota-anggota DPRD tersebut lebih memilih mengayuh sepeda pergi pulang ke/dari kantor mereka. Mereka beralasan masih banyak rakyat yang susah, kenapa anggaran dihamburkan buat beli Honda (waktu itu sepeda motor pertama Honda).  Ini fakta cucuku; kalau ingin cross check tanyakan ke kampung Datuk-mu, era Uyut-mu. Itulah sebabnya mungkin, para pejabat dari partai politik, para anggota legislatif dari partai politik tidak merasakan perlu korupsi, karena tidak ada kewajiban untuk mengumpulkan dana mengembalikan modal menduduki jabatan. Tidak punya kewajiban untuk mengumpulkan dana guna menebar janji lima-tahunan.
Cucuku yang kutuliskan cerita ini, mungkin baru dapat membaca cerita ini belasan tahun yang akan datang, karena sampai hari ini cucuku belum lahir. Menurut perkiraan dokter, cucu pertamaku baru akan lahir pertengahan bulan Juni 2013. Namun telah kusiapkan sebuah cerita buatnya tentang Partai politik Almarhum Uyut-nya. Uyut adalah ayahnya (orang tua lelaki) Datuk si Cucu. Datuk adalah ayahanda (orang tua lelaki) dari  Ayahanda si Cucu. Jadi tiga generasi ke atas. Supaya cucuku mengetahui bahwa ada perbedaan mendasar pola berpartai politik antara angkatan “Uyut” nya, angkatan “Datuk” nya dan angkatan “Ayah” nya dan mungkin tidak dikenal serta asing pada zamannya nanti.

No comments:

Post a Comment