Sunday 16 June 2013

BANYAKKAN GARPUNYA PAK HAJI

Komunikasi belakangan ini jauh mengalahkan transportasi, daerah pedalaman yang “paling dalam” saat sekarang sudah terjangkau komunikasi dengan telepon seluler, sementara alat transportasi masih sulit menjangkaunya.  Komunikasi yang maju dengan pesat, diiringi dengan informasi melalui saluran media elektronik,  sehingga istilah baru yang dipopulerkan di suatu kota, terutama dari ibu kota dengan mudah dan cepat diketahui oleh daerah lain sampai ke pedalaman.
Beda dengan era di bawah tahun 1960an. Bahasa daerah satu dengan daerah lain kadang tidak dimengerti oleh daerah lainnya. Sekarang hampir tidak terkendala lagi komunikasi antara daerah di nusantara ini, begitu juga dialeg daerah sudah tidak begitu kentara lagi.
Seseorang yang sering berniaga ke kota dari pedalaman, dengan waktu tempuh 48 jam lebih mengikuti arus sungai menggunakan perahu motor. Lantaran sering datang ke kota sebuah kabupaten, biasanya di ibu kota kabupaten nginap dirumah kerabat, maklum belum ada penginapan apa lagi hotel, losmenpun sepertinya belum dikenal. Biasanya peniaga ini datang ke ibukota kapabuten dengan membawa hasil bumi, hasil hutan, dan juga hasil perkebunan dari pedalaman, mereka seperjalan tidak sendirian, sekurangnya tiga orang. Laba niaga tentunya berlipat, disebabkan memanfaatkan jarak dan waktu tersebut.
Kemajuan juga mulai tumbuh di ibukota kabupaten, kalau selama ini biasanya untuk makan siang para peniaga dari pedalaman ini, makan hanya di warung sederhana di pinggir jalan. Suatu ketika telah dibuka restoran oleh pak Haji Makmun pensiuan opas pagar praja. Para peniaga dari pedalaman ini menjelang beberapa hari sebelum mudik menyusuri sungai menuju pedalaman kembali ke kampung halaman, sempat beberapa hari makan di restoran baru dikelola oleh pak haji Makmun. Perlengkapan makan standar ketika menyajikan hidangan nasi pesanan si peniaga tadi ialah nasi lauk pauk berikut sendok dan garpu. Rupanya restoran pak haji Makmun belum mengenal prasmanan, atau tidak pula disajikan seperti rumah makan padang. Tamu restoran minta lauk apa, kemudian pramu sajinya menata didalam piring dilengkapi dengan sendok dan garpu.
Budaya makan di masyarakat waktu itu, setidaknya di daerah yang saya ceritakan ini,  walau sudah mengenal sendok, biasanya sendok hanya untuk mengaut (mengambil) lauk pauk dari wadahnya menuju piring. Sedang dari piring ke mulut tidak lazim menggunakan sendok. Bahkan jika seseorang di suatu majelis kenduri misalnya kemudian makan minta pakai sendok dianggap aneh dan mungkin juga dianggap sombong. Makan di majelis kenduri disediakan kobokan. Bagi orang kurang terbiasa mungkin agak risih sebab sekelompok orang disebut “setalam” misalnya berempat atau berlima kobokannya disediakan satu. Kobokan satu itulah yang di obok-obok bersama-sama orang-orang setalam itu.
Al-hasil makan dengan menggunakan sendok dan garpu adalah sesuatu pengalaman baru bagi para peniaga dari pedalaman tersebut. Naluri kepengin tau dari salah seorang diantara mereka mendorongnya berbisik kepada pramusaji; “Ini apa namanya”, ujarnya sembari berbisik pelahan menunjuk ke GARPU ketika si pramusaji meletakkan piring nasi dan lauk pauk pesanan mereka. Tanpa ekspresi berlebihan dijawab pramusaji “GARPU” bang. Perihal penggunaan itu Garpu tidak masalah, lihat kiri lihat kanan ke meja tamu lainnya, ternyata itu Garpu dipegang dikiri dan sendok dipegang dikanan. Sementara kawan lainnya tak mau ambil pusing ke itu Garpu, dibiarkan saja menggeletak di meja makan atau dibiarkan menjadi hiasan piring, jadi makanan disantap hanya menggunakan sendok. Sedang rekan satunya lagi benar-benar belum yakin makan bersendok, diam-diam permisi ke kamar mandi mencuci tangan dan tetap bersantap dengan secara tradisional. Dimaklumi di restoran itu belum tersedia wastafel.
Sesampainya di kampung halaman, baisalah segala pengalaman baru diceritakanlah kepada pemuda kampung, diceritakan ke para tetangga dan handai taulan dalam kesempatan bersama pergi  ke ladang huma atau sekedar ngobrol di warung kampung. Tukang cerita adalah salah seorang yang ketika di restoran sempat bertanya ke pramusaji. Diantaranya diceritakan bahwa betapa enaknya makan diretoran pak haji Makmun di ibukota kabupaten. Perkara lauk pauk tinggal pilih apa saja ada, ayam dengan macam masakan,  daging juga begitu, ikan laut dan aneka macam sambal tinggal pesan. Disamping itu juga diselipkan bahwa makannya enak sekali antara lain lantaran  pakai GARPU.
Kisah pengalaman membuat pemuda-pemuda yang belum pernah ke kota tertegun kagum sambil ada diantaranya menelan liur, lantaran tergiur dengan betapa enaknya makan di restoran pak haji Makmun. Sebab di kampung pada waktu itu, jarang sekali ketemu menu makanan yang namanya daging. Serba salah memang, di kampung yang penduduknya sedikit, jika ada peternak berinisiatif memotong sapi, niscaya daging sapi tersebut tidak terserap penduduk yang hanya beberapa puluh KK itu.  Jadi hanya kalau ke kota, atau kalau ada penduduk kampung yang berhasil berburu Rusa atau Kijang, barulah menu daging masuk ke piring. Begitu pula menu ikan laut, sukar didapat sebab pedalaman jauh dari laut, teknik pengawetan ikan belum dikenal waktu itu. Itu juga barang kali yang membuat ternganga beberapa pemuda kampung yang belum pernah ke kota, mendengar cerita rekan sebayanya yang pernah ke kota.
Menjadi angan-angan beberapa pemuda, ntar bila ada kesempatan untuk milir ke kota prioritas utama adalah  makan di restoran haji Makmun. Tidak semua pemuda pedalaman waktu itu berkesempatan datang ke ibu kota kabupaten, karena satu-satunya transportasi adalah alur sungai. Untuk melalui alur sungai harus orang mampu yang punya perahu bermotor. Bila tanpa perahu bermotor juga dimungkinkan dengan  rakit, tapi harus cukup perbekalan dan barang-barang niaga yang dibawa. Untuk mengumpulan hasil bumi, hasil hutan dan hasil perkebunan yang akan dibawa ke kota, hanya dapat dilakukan orang yang bermodal.  Dikaitkan dengan kondisi sekarang, kemanjuan negeri kita ini sudah luar biasa. Pedalaman yang saya ceritakan itu sudah terbentang jalan raya, dengan kendaraan sudah dapat ditempuh beberapa jam perjalanan. Walaupun jalannya sebentar saja mulus, kemudian hancur lagi, berlobang disana berlobang disini lagi, karena memang kualitas jalan yang asalan dibangun yang penting terlihat mulus sementara ketika diresmikan untuk mengucurkan anggaran. Konon biaya yang dikeluarkan ibaratnya untuk kualitas yang baik 100 tapi kepakai untuk jalan hanya 50 sampai 60 sisanya jalan-jalan entah kemana, makanya jalan tidak sesuai kualitas yang direncanakan, itu sebabnya cepat hancur. Walaupun hancur masih ada bekasnya dapat dilalui dengan kendaraan sekurangnya roda dua walau dengan susah payah.
Kembali ke pemuda pedalaman ditahun 1960an tadi, diantaranya ada juga yang dapat mengunjungi kota setelah berupaya sedemikian rupa. Ketika sampai dikota, benar saja salah seorang yang lolos ke kota tersebut mampir ke restoran “Nikmat Sedjati” dikelola pak Haji Makmun. Tidak sabar si pemuda memesan makanan yang ada dietalase lauk pauk, dengan menunjuk lauk pauk yang diinginkannya. Tidak lupa dipesannya kepada pelayan dengan kata-kata: “MINTA BANYAKKAN GARPUNYA PAK HAJI”. Si pemuda ini mendengar cerita ketika dikampungnya bahwa restoran adalah milik pak haji. Itu sebabnya kepada pelayanpun dia sapa pak haji dianggapnya pak haji-lah yang melayaninya itu, sebab dia ingat warung dikampungnya bahwa pemiliklah yang selalu melayani pembeli. Sementara dia belum paham rupanya bahwa garpu adalah pasangan sendok, dikiranya garpu adalah termasuk sejenis lauk, atau bumbu masak atau apa saja yang dapat dimakan sehingga menjadi makan lebih enak. Tentu permintaan tidak lazim itu mengagetkan pramusaji restoran. “Untuk apa minta banyak garpu bang”,  tanya pelayan restoran. “Pokoknya banyakkan saja”, jawab si pemuda.  Masih tetap terheran kembali sipelayan tanya “dua cukup bang”. Si pemuda kembali memohon “kalau tambah satu lagi bayar berapa”. “Ndak usah tambah bayar bang”, jawab si pelayan singkat sambil meletakkan 3 buah garpu di piring pemuda tersebut.  Setelah piring ada di meja makan, sipemuda yang pada dasarnya punya potensial diri pemuda yang cerdas, segera melihat  ada apa lauk yang aneh dipiringnya. Sambil melirik ke meja tamu restoran lainnya. Dengan segera dia memahami bahwa ternyata yang lain di piringnya ada tiga buah sendok yang diujungnya berbelah-belah tidak seperti sendok biasanya. Oohh gumamnya di dalam hati ini rupanya yang namanya GARPU. Berkat kecerdasannya itu sipemuda tidak lebih kelihatan keudikannya.

No comments:

Post a Comment