Monday 13 May 2013

MENANGPUN MALU

Jika seorang kakak usia belasan tahun berselisih paham dengan adiknya yang  masih balita, sampai berantem, seru sekali, dan hampir dapat dipastikan bahwa si adik mesti akan kalah. Sebab secara phisik dan secara akal si adik jauh ketinggalan. Biasanya kalau persoalannya sampai ditengahi orang tua, si adik dalam posisi yang dilindungi, adik selalu dimenangkan.
Seorang dokter wanita baru lulus dua tahun, dapat tugas di desa sangat terpencil. Sudah biasa, perawat senior yang juga wanita, kadang merasa bahwa pengetahuannya dan pengalamannya mempunyai nilai lebih dari dokter yang baru lulus. Keadaan ini kalau kedua pihak kurang arif menyikapinya timbul konflik. Sebab si dokter baru lulus merasa membawa ilmu baru yang masih fresh dan merasa telah berbekal banyak teori dan pengalaman praktek yang cukup lama ketika KOAS. Kondisi persaingan pengaruh ini kadang akan berlangsung terus sejak mulai bertemu sampai kemudian berpisah (ketika salah satu mengakhiri tugas). Benar juga perasaan tidak enak dari hari ke hari menumpuk terakumulasi, sehingga suatu pagi si dokter satu-satunya di Puskesmas ibu kota Kabupaten itu menjemur pakaian di tempat jemuran di belakang rumah dinasnya yang bertambiran tanpa pagar dengan Puskesmas. Kontan si kepala perawat, ibu-ibu setengah baya telah berdinas lima belas tahun lebih itu menegur si dokter. Entah bagaimana redaksi teguran itu, si dokter merasa tersinggung, perang mulutpun tak terhindarkan. Akhirnya begitu kesalnya sampai menangis. Untunglah segera dipisah para perawat dan pegawai Puskesmas yang ada, sehingga tidak terjadi cakar-cakaran. Kalau di review redaksi teguran itu sebenarnya tidak begitu menyakitkan, tetapi karena memang telah terakumulasi rasa tidak “sebulu”, maka sedikit saja pemicu cukup menjadi sumbu pembakar. Demikian juga pihak kepala perawat, sebenarnya masalahnya sepele, cuma jemuran, tapi dasar ingin mematengkan konflik, masalah kecil itupun sudah cukup untuk memulai perseteruan. Bak kata pepatah “retak mencari belah”.
Persoalan dibawa sampai ke kepala kesehatan di Kabupaten, berhasil didamaikan.  Peristiwa itu juga jadi buah tutur para dokter baru di Puskesmas-Puskesmas se Kabupaten tidak kurang dari sembilan Puskesmas. Ketika ada libur para dokter-dokter  Puskesmas biasanya kumpul rekreasi, masak-masak dan makan bersama. Tentu peristiwa itu jadi pembicaraan hangat, dengan berbagai komentar dari kolega para dokter senasib di daerah sangat terpencil di pedalaman Republik sedang PTT itu.  Ada komentar yang paling menggigit dari salah seorang kolega dokter yang sesama dapat tugas di daerah sangat terpencil itu yaitu “Menurutku menangpun malu” demikian komentarnya. Dokter satu ini berpandangan bila seorang dokter berselisih sampai berkelahi dengan seorang perawat, apalagi sudah termasuk tua, apalagi kalau ternyata kemudian kalah, umpamanya menangpun masih malu. Sebab menurutnya tidak sebanding. Samalah halnya dengan seorang kakak berkelahi dengan adik contoh di atas, ibu saya mengistilahkan “melawani lutut”.  Maksud ibu saya memberikan perbandingan antara diri kita sendiri dengan lutut kita sendiri yang tak mungkin dapat melakukan perlawanan.
Dalam kenyataan kejadian seperti itu banyak terjadi di kantor-kantor, seorang atasan bertengkar kadang sampai berkelahi dengan bawahannya yang jauh levelnya. Seorang pemimpin kantor misalnya ribut  dengan Satpam kantor. Akhirnya memang si Satpam dipecat, tapi pinjam istilah di atas “Menangpun Malu”.
Di dalam masyarakat juga tidak jarang kita menemukan masalah harus berselisih paham dengan anggota masyarakat lainnya. Nampaknya kata-kata bijak “Menangpun malu” ini perlu jadi acuan yang harus diingat agar kita tidak sembarangan berselisih paham sampai berantem dengan anggota masyarakat. Rupanya dalam hidup ini bukan saja kawan yang arus dipilih. Lawanpun juga harus dipilih. Kalau dapat jangan mencari-cari lawan, sebab sekecil apapun lawan sudah cukup membuat kehidupan kita menjadi tertawan, rejeki yang harusnya diperoleh jadi tertahan.


No comments:

Post a Comment